Memahami dan Memelihara Syariat Agama di Era Pandemi

Oleh: Toufik Imtikhani

NU CILACAP ONLINE – Kehadiran virus corona secara sadar telah merubah hampir seluruh tatanan kehidupan, tak terkecuali dalam hal syariat agaam dan beragama, lantas bagaimana kita memahami dan memelihara syariat agama di era pandemi ini ? Berikut adalah hasil renungan Taufik Imtihani.

Setahun lebih telah berlalu sejak virus covid-19 melanda berbagai negara di belahan dunia, tak terkecuali Negara Indonesia. Virus yang mewabah menjadi pandemi berkepanjangan yang entah kapan akan berakhir.

TUJUAN syariat, atau maqoshidus syariat, adalah untuk kebaikan manusia, bahkan seluruh alam, sebagaimana Al-Qur’an menyebutkan:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

Al-Qur’an Surat Al Anbiya ayat 7 itu mengisyaratkan bahwa tujuan risalah dan misi profetik para Nabi adalah untuk kebaikan manusia, yang menjadi ruh kehidupan alam raya ini. Manusia adalah subjek alam yang dapat menentukan kebaikan atau keburukan alam semesta.

Karena risalah itu untuk manusia, dengan kadar kemampuan sebatas manusia, maka agama bukan untuk memberatkan manusia. Taklif agama sesuai dengan kadar objek hukum yang dikenai aturan hukum, yaitu manusia.

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Jadi, ini hal yang berkorelasi, antara maksud dan tujuan syariat untuk kesejahteraan manusia, dengan suatu cara dan keadaan yang mudah dan memungkinkan manusia untuk melaksanakan syariat itu untuk mencapai tujuan.

يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر

Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran ( Al Baqoroh:185 ).

Memang harus demikian. Antara tujuan dan alat untuk mencapai tujuan, harus satu paket yang saling menunjang. Tujuan syariat memang tidak mudah. Kesejahteraan jasmani-rohani, dunia-akherat adalah tujuan ideal. Namun pepatah mengatakan, jer basuki mawa bea.

Suatu tujuan yang baik, perlu suatu perangkat alat yang baik. Suatu kemuliaan, tidak mungkin dicapai dengan cara yang mudah, namun syariat tetap hal yang mungkin dilakukan manusia dalam menempuh cita-cita.

Syariat, mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana juga aqidah, cabang-cabang syariat mempunyai cabang-cabang lagi. Jika dalam hal aqidah ada istilah furu’iyah, maka dalam hal syariat ada istilah khilafiah, yaitu suatu keadaan dalam syariat yang menjadi perselisihan di kalangan umat.

Tapi ini bukan pokok-pokok syariat, yang biasanya berputar-putar kepada kaidah ahkamul khomsah (hukum yang lima: wajib, sunat, halal, haram, makruf). Nah, ikhtilaf dalam persoalan yang terkait dengan syariat, berputar masalah bid’ah, apakah bid’ah dlolalah, ataukah khasanah.

Nah, itu semua tentu dalam keadaan situasi yang normal, semua bisa dilakukan tolok ukur dan skala prioritas dalam implementasinya. Dari hal wajibah hingga hal yang mubah dan bid’ah. Tetapi dalam situasi pandemi saat ini, bagaimana kita menjalankan pokok-pokok syariat dan bagaimana pula dengan perkara-perkara bid’ah?

Wabah covid ini adalah bencana, musibah, yang melanda seluruh umat manusia. Artinya, ini sebuah kesulitan. Islam memberikan harapan-harapan kepada umatnya tentang masa depan yang lebih baik, setelah menghadapi kesulitan. Ini untuk memupuk optimisme, menghidupkan roja’ akan rahmat Allah:

فَاِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۙ

اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۗ –

Banyak hikmah di balik bencana ini. Istinbath atau penggalian hukum-hukum islam dilakukan banyak kalangan ulama. Hadist-hadist dan dalil Al-Qur’an terkait dengan pandemi yang selama ini, katakanlah, tersembunyi, dibuka dan dipelajari kembali.

Sehingga menambah juriprudensi hukum islam, yang di masa mendatang jika ada kejadian serupa diharapkan sudah ada ijtima di kalangan ulama, terkait ibadah di saat pandemi dan terhadap keeradaan pandemi itu sendiri.

Baca Juga >> Hukum, Syarat, Rukun, Sunah Khutbah Jumat dan Adab Khatib

Saat ini masih berseliweran pendapat-pendapat yang kontraproduktif, dan bisa menjebak umat dalam kesesatan dan kehancuran. Masih banyak ulama yang menyepelekan wabah covid, dan membiarkan umat untuk beribadah sebagaimana biasa. Padahal telah jelas pentunjuk dalam ibadah.

Hal-hal yang terkait dengan keadaan sulit, tentu dihukumi rukhsoh, atau keringanan, dan daruroh, darurat, sebab situasinya mengancam keselamatan jiwa manusia, yang justru menjadi tujuan pemeliharaan syariat. Dengan demikian, pembiaran beribadah dalam situasi pandemi justru menentang syariat itu sendiri, bukan hanya tujuannya.

Apalagi untuk perkara yang sunah, sampai mubah dan bid’ah, tentu tidak penting untuk dilakukan, jika membahayakan jiwa umat. Perkara yang wajib saja bisa ditunda, atau ditinggalkan, apalagi yang bukan wajib.

Namun dalam kenyataannya, akibat fatwa dan pandangan yang kurang konprehensif tentang pandemi dan syariat, fiqh, dll, maka umat pun banyak terjebak. Akibatnya mata rantai penularan covid terus terjadi. Dan (sebagian) syariat agama, menjadi sumber klaster penyebaran virus itu. Dalam hal ini, agama bisa disalahkan orang, akibat ulah oknum pemuka agama yang tidak bertanggung jawab.*

Penyunting : Naeli Rokhmah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button