Aswaja Sebagai Literatur Keislaman Generasi Milenial

Azis Muhsin, Ketua PC IPNU Cilacap
Azis Muhsin, Ketua PC IPNU Kabupaten Cilacap

NU CILACAP ONLINE – Artikel Aswaja sebagai Literatur Keislaman Generasi Milenial ini ditulis oleh Azis Muhsin, Ketua PC IPNU Kabupaten Cilacap. Ada ide baik ketika Menyebarkan Aswaja sebagai bagian dari tema Harlah NU 95. Lalu bagaimana tawaran Aswaja sebagai literatur keislaman untuk pada generasi milenial?

Sejarah panjang menghiasi perjalanan Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi berbasis masa Islam tradisional ini merupakan wadah perkumpulan dengan jama’ah terbesar di Nusantara. Lahir sebagai respons kondisi Indonesia di zaman penjajahan Belanda. Belanda saat itu membutuhkan tenaga klerk untuk memudahkan mencari SDM membantu hal-hal administratif. Mereka yang awalnya dikhususkan bagi anak – anak bangsawan.

Pendidikan selain mengajarkan pengetahuan, mau tidak mau juga mengajarkan cara berpikir, transformasi budaya, dan doktrin. Sebagai penjajah tentu saja ada banyak doktrin ketaatan pada sistem kolonial yang disuntikan kepada anak didik. Sementara itu, rakyat jelata belum tersentuh dengan sistem pendidikan Belanda Tingkat literasi rakyat pun terdegradasi ke level yang sangat rendah.

Di Harlah NU ke 95 ini, ada baiknya kita melihat fakta bahwa NU berhasil menciptakan komitmen kepada masyarakat untuk meneguhkan Keaswajaan dan Kebangsaan. Lalu bagaimana kepada segmen genersi Milenial?

Tentunya di era milenial ini masyarakat sangat membutuhkan Informasi dan pengetahuan terkait keislaman yang moderat dan yang membudaya. Di kalangan masyarakat, faktanya NU sangat dibutuhkan untuk mengembangkan literatur Keislaman melalui strategi kebudayaan.

Namun demikian di era milenial ini banyak problem dan masalah tentang pemikiran-pemikiran yang muncul di media yang itu menjadikan masyarakat resah. Contoh tentang Jihad dan Berjihad dengan pemikiran-pemikiran keras di sebarkan di masyarakat.

Dalam situasi serba tidak pasti generasi milenial harus berhadapan langsung dengan ekspansi ideologi Islamis (Islamisme-Ekstrim-Utopis) yang datang menawarkan harapan dan mimpi tentang perubahan. Dibangun di atas narasi yang menekankan pentingnya semangat kembali kepada dasar – dasar fundamental Islam dan keteladanan generasi awal. Mereka berusaha membuat jarak dan demarkasi antara Islam dengan dunia terbuka (open society), yang digambarkan penuh dosa, bid’ah, syirik dan kekafiran.

Kegagalan melakukan hal ini dipandang sebagai hal utama yang bertanggung jawab dibalik keterpurukan umat Islam berhadapan dengan dominasi politik, ekonomi dan budaya sekular barat. Khilafah didengungkan sebagai kunci untuk mengembalikan kejayaan islam. Meskipun bersifat utopis, ideologi islamis ternyata memiliki daya tarik terutama karena kemampuannya menawarkan pembacaan yang “koheren” dan “solutif” atas berbagai persoalan kekinian serta mengartikulasi rasa ketidakadilan dan membingkai semangat perlawanan terhadap kemapanan.

Bahaya ideologi Islamisme atau kelompok-kelompok Islam Transnasional di indonesia sesungguhnya tidak sebesar yang sering di “alarm”kan sebagaian kalangan. Kendati demikian, penetrasi literatur-literatur itu memperoleh ruang publik yang luas sejak era reformasi, secara umum sekolah dan universitas yang ada di kota-kota yang diteliti, memiliki ketahanan dan daya tolak yang memadai terhadap penetrasi islamisme. Namun kota-kota itu memiliki ketahanan dan ketentraman yang berbeda.

Sebagai contoh, Surabaya sebagai kota basis Nahdlatul Ulama dan kota peneguhan kebangsaan yang tercermin dalam perang 10 November, memiliki ketahanan yang lebih kuat terhadap tekanan islamisme dibadingkan kota Bogor yang merupakan kota yang rentan terhadap penetrasi islamisme.

3 Literatur Keislaman

Sebagai upaya pemetaan awal, literatur-literatur yang memberi harapan terhadap masa depan Islam Indonesia itu dapat dipetakan kedalam tiga varian besar, yaitu literatur Islam tradisional, literatur Islam Moderat dan progresif, dan literatur Islam Deradikalisasi. Literatur-literatur itu dikemas secara kreatif sesuai dengan kecenderungan generasi milenial, hal itu akan memberi pengaruh penting terhadap jalannya Keislaman generasi milenial di Indonesia dalam beberapa kurun waktu mendatang.

Peran Literatur Keislamaan dalam persemaian ideologi Islamis dikalangan generasi milenial sangatlah signifikan. Target utamanya tentulah pelajar dan mahasiswa yang di anggap potensial untuk direkrut menjadi kader baru yang menopang keberlangsungan dan penyebaran lebih lanjut ideologi tersebut.

Penting menggarisbawahi bahwa, sekalipun literatur keislaman sebagaimana digambarkan diatas terus bermunculan dengan berbagai kecenderungan ideologis dan dalam beragam genre, teks-teks keislaman moderat yang berbasis Aswaja ternyata masih mampu bertahan bahkan mengalami perkembangan.

Merespon serbuan literatur Islamisme, Muslim Indonesia rupanya berusaha memproduksi buku-buku keislaman alternatif. Oleh karenanya harapan terhadap masa depan Islam Indonesia yang moderat, berkomitmen kuat terhadap keindonesiaan, dan ramah terhadap keberagaman, masih cukup besar. Setidaknya dari indikasi masih kuatnya penyebaran keislaman alternatif di tengah tekanan literatur-literatur Islamis yang membanjiri ruang publik Indonesia yang terbuka saat ini.

Di Harlah NU ini tentunya terbeersit harapan sangat besar. Kelahiran NU didasari pada sikap moderat untuk membiarkan berbagai aliran pemikiran hidup dalam islam, sekaligus juga sebagai wadah untuk terus menanamkan kecintaan rakyat pada Bangsanya. Tampaknya sampai sekarang kondisi umat Islam tidak juga bergeser. Ekspansi ajaran Islam puritan terus menerus mendesakan tafsir tunggalnya.

Sementara itu, jama’ah NU tetap mempertahankan pemikiran moderatnya yakni bukan hanya terbuka dan menerima berbagai aliran pemikiran dalam islam. NU juga tetap mempertahankan budaya lokal Nusantara sebagai bagian utuh dari tradisi umat Islam Indonesia. Inilah perspektif inti dari Aswaja sebagai literatur Keislaman generasi Milenial. Menyebarkan aswaja kepada generasi milenial menjadi bagian dari tugas organisasi NU.

Akhirnya Kita berharap, santri di pensantren, kader IPNU IPPNU, dan pelajar-pelajar NU di sekolah madrasah dan perguruan tinggi, kepada mereka Aswaja harus selalu disemaikan; generasi milenial saat ini adalah penentu masa depan, termasuk masa depan Islam di Indonesia.

Baca juga Agama dan Pancasila Bukanlah Sesuatu yang Bertentangan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button