Bahaya Ideologi Trans Nasional (Embrio Radikalisme)

NU CILACAP ONLINE – Bahaya Ideologi Trans Nasional dan Pentingnya Deradikalisasi Paham Keagamaan. Gejala radikalisme di dunia Islam bukan fenomena yang datang tiba-tiba.Ia lahir dalam situasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang dianggap sangat merugikan umat Islam.

Dalam kondisi seperti itulah Islam radikal mencoba melakukan perlawanan. Perlawanan itu muncul dalam bentuk melawan kembali kelompok yang mengancam eksistensinya. Radikalisme dan terorisme selalu diidentikkan dengan Islam. Pers Barat menuduh bahwa Islam mengajarkan radikalisme. Tentu saja persepsi negatif ini dibantah umat Islam di dunia bahkan pemikir Barat yang mendalami Islam menyalahkan pengidentikan Islam dengan kekerasan. Persepsi negatif ini muncul dari ulah sebagian umat Islam yang melakukan kekerasan atas nama agama.

Sikap radikalisme dan terorisme merupakan reaksi terhadap strategi asing yang ingin membangun pendapat umum dengan menggunakan sentimen agama, ideologi, kemudian dibenturkan dengan realitas sosial, ekonomi dan sebagainya. Akumulasi itu kemudian diperparah dengan berbagai faktor yang bersifat lokal, seperti tersumbatnya partisipasi politik, ketidakadilan ekonomi, ketimpangan sosial, lemahnya penegakan hukum, maraknya korupsi, dan kegagalan para elite Muslim dalam menerjemahkan ajaran Islam.

Sikap ini dapat disebabkan oleh kebencian terhadap hegemoni dan arogansi AS serta sikap dan tindakannya yang tidak adil. Ketidakadilan global akan menimbulkan perlawanan dari kelompok yang mengalami frustasi sehingga menggunakan teror. Hal itu kemudian melahirkan gerakan militansi berlebihan sehingga dalam melihat sesuatu selalu hitam putih yang mengklaim kebenaran (truth claim). Tindakan radikalisme cenderung menggunakan aksi-aksi kekerasan yang menimbulkan korban di kalangan warga sipil. Karakter gerakannya sangat brutal dan tidak menghargai nilai-nilai kemanusiaan secara universal.

Pada perkembangan selanjutnya, untuk melaksanakan cita-citanya, mereka membentuk kelompok sendiri yang menyempal dari mayoritas umat Islam seperti jaringan Al-Qaedah, JI, NII , ISIS (Islamic Stase 0f Irak and Syira) sebagainya dengan ketentuan hukum sendiri yang sesuai dengan ijtihadnya dengan mengusung simbol-simbol penegakan syariah, jihad fi sabilillah, daulah Islamiyyah, dan khilafah.

Artikel Terkait

Faktor-Faktor Pendukung Radikalisme dan Terorisme

Wacana radikalisme tidak lepas dari pengaruh tesis Huntington yang menyatakan bahwa pasca runtuhnya Komunisme dunia akan disusul dengan konflik peradaban antara Islam dan Kapitalisme Barat yang Kristen. Namun untuk memahami lebih mendalam tentang fundamentalisme dan radikalisme ini, perlu kiranya mengidentifikasi faktor-faktor signifikan yang menyebabkan munculnya kekerasan dengan membawa bendera agama, sehingga mendapatkan pemahaman yang lebih lengkap tentang hal tersebut. Di antara faktor-faktor itu adalah:

Pertama, faktor kultural. Munculnya ketidakadilan global dan tindakan sewenang-wenang negara yang kuat secara politik, militer, dan ekonomi terhadap umat Islam menjadi pemicu utama lahirnya tindak kekerasan.
Kedua, faktor sosial dan politik. Gejala radikalisme di dunia Islam lahir dalam situasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang oleh pendukung gerakan Islam radikal dianggap sangat merugikan umat Islam. Intinya Radikalisme dan terorisme timbul sebagai bentuk perlawanan terhadap imperialisme global.

Pemojokan seperti ini akan timbul antitesis yang berupaya melawan hegemoni dan ketidakadilan Amerika Serikat, Israel, dan Barat. Namun, karena kekuatan mereka yang besar dirasa tidak dapat ditandingi maka banyak cara dilakukan untuk melawannya, antara lain dengan aksi radikalisme dan terorisme yang ditunjukan kepada AS dan sekutu-sekutunya. Semua itu disebabkan oleh kemarahan terhadap hegemoni dan arogansi AS serta sikap dan tindakannya yang tidak adil. Ketidakadilan global akan menimbulkan perlawanan dalam bentuk teror.

Adapun gejala Islam Radikal di Indonesia mempunyai ikatan historis yang kuat dengan perjuangan Umat Islam misalnya akibat kekecewaan politik pada persoalan “Piagam Jakarta” yang tidak berhasil dijadikan sebagai dasar negara Indonesia. Sebagai akibatnya, banyak gerakan-gerakan Islam sayap ekstrim di Indonesia melakukan demonstrasi, dan menentang pemerintah berkuasa.

Ditambah lagi sikap keras, tegas, dan represif (diciduk, diadili, dipenjarakan) yang dilakukan Orde Baru terhadap umat yang bersikap ketika umat Islam mulai memperlihatkan tanda-tanda sebagai kekuatan politik yang menentang kehendak penguasa seperti cara-cara keras yang dilakukan pemerintah terhadap umat Islam yang menentang asas tunggal Pancasila.

Ketiga, faktor solidaritas dan sentimen agama. Dalam ajaran Islam, semua umat Islam adalah saudara di mana pun berada, baik satu negara maupun lain negara. Mereka diikat oleh satu keyakinan dan satu Iman tanpa membeda-bedakan suku, bangsa, bahasa ataupun kulit. Rasulallah menggambarkan bahwa umat Islam itu seperti satu tubuh yang apabila salah satunya sakit maka tubuh yang lainnya juga akan merasa sakit. Artinya bila seorang atau kelompok Muslim disakiti oleh sesama muslim maka harus dihentikan dan didamaikan. Bila mereka disakiti oleh non muslim maka mereka harus dibela kapan pun dan di mana pun. Realita ini bisa dilihat ketika umat Islam dizalimi oleh Israel yang Yahudi seperti yang terjadi di Palestina atau umat Islam di Irak dan Afganistan yang dizalimi Amerika dan sekutunya yang Kristen. Hal tersebut memunculkan sikap sentimen dan solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan non Islam. Sentimen keagamaan dengan memposisikan Islam versus Yahudi atau Islam versus Kristen atau versus non muslim melahirkan persepsi terjadinya perang berlabel agama.

Dalam Islam, seorang Muslim dilarang keras melakukan pembunuhan terhadap orang yang tidak berdosa. Namun demikian, Islam juga memerintahkan umatnya untuk teguh membela hak milik dan tanah airnya. Pembelaan terhadap tanah air dan hak milik juga diakui secara resmi oleh undang-undang internasional. Dengan kata lain, pembelaan terhadap tanah air dan hak milik bukanlah sebuah bentuk radikalisme dan terorisme.

Mengaitkan isu terorisme dengan agama akan mendeskriditkan pemeluk agama tertentu. Bahkan, ajaran agama tersebut selalu dicurigai. Memang, aksi kekerasan bisa saja bermotifkan agama. Sentimen agama sering menjadi salah satu penyebab radikalisme dan terorisme (Whittaker, 2000). Meski demikian, bukan berarti hal ini muncul dari ajaran agama itu sendiri. Karena interpretasi yang kurang tepat terhadap teks agama oleh kelompok tertentu dan kemudian dijadikan alat untuk menjustifisi tindakan mereka.

Keempat, dangkalnya pemahaman terhadap agama. Tindakan radikalisme yang berlatar belakang agama dan sebagai impact dan bahaya Ideologi Trans Nasional, banyak dilakukan oleh orang atau kelompok yang memiliki pemahaman agama yang dangkal. Beberapa oknum yang melakukan kegiatan radikalisme dan terorisme diketahui sebagai orang yang memiliki latar belakang pendidikan sekular, seperti Osama bin Laden, Aiman Al-Zawahry, Azhari, Noordin M. Top.

Faktor-faktor yang mendorong terjadinya sikap radikalisme dan ekstrimisme adalah kurangnya pengetahuan agama dan salah dalam memahami teks-teks agama serta kekacauan akidah, kedangkalan berpikir dan emosional. Indikator dari ekstremisme beragama, menurut Yusuf al-Qardhawi (1981) antara lain fanatisisme dan intoleransi sebagai akibat dari prasangka (prejudice), kekakuan (rigidity), dan kepicikan pandangan (lack of insight) sehingga mudah sekali menghakimi orang yang berbeda pandangannya dengan sebutan penganut bid’ah, kafir, fasik, murtad dan sebagainya.

Kelima, pengaruh penyebaran wacana dan gerakan Islam di Timur Tengah yang lebih dikenal sebagai organisasi transnasional juga menyuburkan gerakan-gerakan radikalisme.

Keenam, pemahaman yang salah terhadap jihad. Sikap radikalisme, ektrimisme, dan terorisme di Indonesia adalah sebuah pemahaman salah tentang jihad. Banyak pemahaman yang keliru tentang jihad sehingga melahirkan stigma dan citra yang menakutkan tentang Islam.

Ketujuh, faktor kemiskinan. Radikalisme yang berbasis kelompok agama terkait erat dengan kemiskinan. Hal ini didukung fakta bahwa radikalisme banyak terjadi di negara-negara berkembang dan negara-negara miskin.

Kedelapan, kebijakan pemerintah yang merugikan umat Islam. Kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepentingan umat Islam juga menjadi salah satu timbulnya sikap radikalisme dan terorisme. Faktor tersebut memiliki kaitan dengan historis umat Islam di Indonesia yang selalu berperan aktif dan menjadi ujung tombak perjuangan dalam setiap revolusi dari jaman penjajahan sampai sekarang tetapi terbelakang dalam menikmati hasil perjuangannya

Kesembilan, faktor anti Barat. Setelah Uni Soviet hancur dan paham Komunisme pun dapat dipadamkan maka paham Kapitalisme yang dipimpin Amerika Serikat sekarang mempunyai rival baru yang ditakuti yaitu paham ideologi Islam, ajaran yang dibawa oleh NabiMuhammadSAW.

Baca juga  NU, Organisasi Keagamaan & Kemasyarakatan Islam Aswaja

Deradikalisasi Paham Keagamaan

Pola penanganan radikalisme dan terorisme juga Bahaya Ideologi Trans Nasional, dimulai dengan menghilangkan potensinya dengan pembinaan terhadap beberapa kelompok atau organisasi masyarakat yang diidentifikasi memiliki potensi menjadi radikal. Radikalisme tidak dapat dilawan dengan kekerasan.

Baca juga Paham Keagamaan NU (Nahdlatul Ulama)

Radikalisme yang dilakukan oleh sekelompok Muslim memiliki ideologi politik dan ideologi keagamaan juga ditopang oleh emosi dan solidaritas keagamaan yang sangat kuat. Karenanya maka diperlukan upaya persuasif dan rasa persaudaraan dari para penguasa negeri-negeri Muslim agar gerakan yang lebih radikal lagi bisa dicegah. Solusi alternatif dan langkah-langkah yang perlu ditempuh pemerintah untuk memberantas radikalisme dan terorisme itu di antaranya:

Pertama, pemerintah perlu mengadakan dialog yang penuh keakraban dan persahabatan dengan para anggota dan kelompok-kelompok teroris.

Kedua, Pihak pemerintah, tokoh masyarakat, dan warga negara perlu mensosialisasikan dan memberikan penjelasan yang benar terhadap masyarakat luas di berbagai kesempatan tentang bahaya radikalisme dan terorisme.

Ketiga, memberikan pemahaman agama yang benar terutama tentang makna jihad dan Mengenalkan Islam yang ramah dengan mengenal Prinsip Tawassut, Tawazun, i’tidal juga Tasamuh.

Keempat, Pemerintah juga harus dapat menutup ruang gerak para teroris dan membendung akses mereka dari dalam maupun luar Indonesia.

Kelima, menjalin kerja sama dan kordinasi

Keenam, Pemerintah hendaknya miliki peran tersendiri dalam melakukan deradikalisasi dengan melakukan pemberdayaan potensi para anggota terorisme sehingga mereka mau mengakui kesalahannya dan kembali berbaur dengan masyarakat hidup normal seperti biasa.

Kesimpulan dan Saran
Untuk mencegah tindakan radikalisme dan terorisme, dan mengantisipasi Bahaya Ideologi Trans Nasional, banyak cara yang bisa dilakukan pemerintah misalnya meningkatkan program pendidikan, memerangi kemiskinan dialog antar agama, etnis atau kelompok lain dan sebagainya sebab jika pemerintah kurang berperan dalam mengatasi kesenjangan ekonomi, keadilan, partisipasi politik dan lainnya tidak dilakukan, ancaman terorisme akan tetap menghadang. Selanjutnya pemerintah harus mengubah orientasi politiknya dari orientasi well-having (kepemilikan atau penguasaan) menjadi well being (kesejahteraan). Dengan begitu, umat Islam akan percaya pada komitmen demokrasi dan penegakan hak-hak asasi manusia yang sering mereka gembar gemborkan.

Kunci mencegah terorisme di Indonesia adalah melakukan deradikalisasi secara sistematis dan intensif dengan melibatkan banyak pihak lalu dibarengi dengan penegakan hukum yang tegas. Pemerintah perlu merubah paradigma penanganan terorisme dari pendekatan yang bersifat hard power atau kekerasan bersenjata menjadi pendekatan secara soft power dan human security atau keamanan manusia dengan kerja sama global. Pemerintah juga perlu membentuk badan anti terorisme yang beranggotakan aparat kepolisian dan juga anggota masyarakat sehingga dapat mencegah masuknya ideologi negatif di masyarakat. Pola penanganan radikalisme dan terorisme itu baik soft power maupun hard power harus berjalan bersamaan dan simultan, tidak bisa salah satu berjalan sendiri.

Pola soft power akan dilakukan bertahap di masyarakat sehingga mereka lebih waspada dan proaktif mengantisipasi ancaman terorisme dan cara menghadapinya. Pendekatan persuasif juga dapat dilakukan melalui lembaga-lembaga keagamaan termasuk pondok pesantren untuk dapat memberikan pemahaman yang benar tentang agama dan jihad kepada masyarakat. Dengan pendekatan soft power ini diharapkan pelaku terorisme bersedia bekerja sama dengan aparat kemanan sehingga dapat diperoleh informasi bagi penyidikan selanjutnya, dan dapat membongkar jaringan yang lebih luas sebab pengalaman fakta telah membuktikan bahwa metode kekerasan kepada pelaku teroris tidak memberikan hasil yang diharapkan.

Adapun hard power dilakukan dengan memperbaiki kinerja intelijen baik di TNI maupun Polri agar mampu melakukan pendeteksian lebih dini terhadap ancaman terorisme karena radikalisme dan terorisme tidak bisa ditangani dari satu aspek saja melainkan banyak aspek ekonomi, sosial dan budaya sehingga penanganannya juga harus komprehensif.

Untuk menanggulangi tindakan radikalisme dan terorisme, pemerintah juga perlu menggunakan pendekatan budaya. Karena, motivasi tindakan para pelaku berlatar belakang budaya, dalam hal ini keyakinan keagamaan. Bila Polri mau mempelajari dan memahami budaya yang berlaku di organisasi ini maka sedikit banyak ada hasil yang diharapkan sebab pada umumnya anggota kelompok teroris berlaku santun, penuh pertimbangan, dan fanatik menjaga keyakinan agamanya.

Ditulis oleh : Aid Mustaqim, S.Ag. M.Ag., Pengurus Cabang Lembaga Pendidikan Maarif NU Kab. Cilacap

——————————————————————–
Bibliografi
Adian Husaini. (28 November 2005). Radikalisme dan Terorisme. Majalah Hidayatullah
KH Amin Ma’ruf. ( 20 Maret 2010). Paham Menyimpang Di Indonesia Serta Kaitannya Dengan Masalah Pendekatan Dan Pemikiran Umat Di Rantau Ini, (Makalah ini disampaikan dalam Konvensyen Pengukuhan Aliran Ahli Sunnah Wal Jamaah (ASWJ) Sebagai Arus Perdana di Negeri Selangor, di Selangor Malaysia, pada tanggal 20 Maret 2010)
http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A947_0_3_0_M
Imam Mustofa. (27 Mei 2010). Isu Terorisme dan Ponpes. Koran Radar lampung
Imam Mustofa. (5 Mei 2009). Terorisme, Fundamentalisme Dan Dialog Antarperadaban. Artikel di mushthava.blogspot.com
Al Ustadz Ja’far Umar Thalib. (22 April 2008). Demokratisme Jerat Politik Imperialis. Artikel di alghuroba.org
Munwir Haris Irfani, Msi. (01 Apr 2010). Merekonstruksi Fundamentalisme Agama. Harian Pelita
Mudjahirin Thohir. (6 Maret 2009). AGAMA DAN RADIKALISME. Artikel dari staff.undip.ac.id
Ahmad Fuad Fanani. (07 Oktober 2005). Akar Radikalisme dan Terorisme. Suara merdeka
Abdul Mukti Ro’uf. (20 Pebruari 2006). Memahami Kembali Hubungan Islam-Barat. Artikel di islamlib.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button