Fatayat NU, Gus Dur dan Gerakan Perempuan Berbasis Gender

NU CILACAP ONLINE – Pada sekitar tahun 1990an, Fatayat NU bersentuhan dengan apa yang disebut sebagai gerakan perempuan yang berperspektif gender; di mana KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur disebt turut serta membuka ruang tersosialisaikannya gerakan tersebut di internal organisasi Fatayat NU.

Perspektif Gender

Gerakan perempuan yang berperspektif gender adalah sebuah perspektif yang berusaha membongkar (mendekonstruksi) pemahaman lama tentang peran gender. dan perspektif tersebut setidaknya dalam tiga hal berikut ini;

Pertama, pembongkaran terhadap makna “kodrat” atau sesuatu yang dipandang ‘alamiah’ bagi perempuan.

Kedua, membongkar pemahaman lama tentang argumentasi pembagian kerja secara seksual.

Ketiga, perspektif ini membuka ruang untuk menelusuri akar-akar sejarah sosial mengapa muncul subordinasi, marjinalisasi, kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan; seraya mengenali kekuatan diri untuk dapat mengorganisir kekuatan kolektif.

Organisasi perempuan muda NU, yaitu Fatayat NU pada sekitar 1990 an telah memulai mengadopsi perspektif tersebut dengan mengadakan latihan-latihan analisis gender. Sejumlah pelatihan dijadikan platform program kerja yang berorientasi pada peran perempuan.

Dalam kerangka besar gerakan perempuan yang berperspektif gender. pendekatan ini pun mengedepankan program pembangunan yang partisipatif untuk kedua gender dengan penekanannya pada pendekatan pemberdayaan; sebuah pendekatan yang terkait dengan usaha bagaimana pembangunan dilakukan bukan dari atas ke bawah (top down); melainkan dari bawah ke atas (bottom up).

Fatayat NU dan Isu Perempuan

Perspektif ini pada awalnya dipergunakan oleh sejumlah LSM-LSM perempuan yang berkembang pada masa itu untuk melakukan kritik terhadap ideologi negara tentang perempuan.

Umum diketahui bahwa pemerintah Orde Baru mendasarkan ideologi gendernya pada konsep “ibuisme”; sebuah ideologi yang menempatkan perempuan sebagai istri dan ibu rumah tangga, meskipun peran yang sesungguhnya lebih dari sekedar itu.

Pandangan ini memperoleh kritik bahwa sesungguhnya peran perempuan pada sebagian besar wilayah di Indonesia tidak hanya terbatas pada peran kerumahtanggaan; tetapi banyak di antaranya yang menjadi pencari nafkah utama dan berfungsi sebagai kepala rumah tangga.

Karena itu, alokasi peran yang ditentukan oleh ideologi ini seringkali bertentangan dengan kenyataan obyektif perempuan Indonesia yang ada; terutama perempuan-perempuan miskin di pedesaan.

Bagi Fatayat NU, yang utama dipergunakan dari analisis gender adalah sebagai pisau bedah untuk melihat teks-teks keagamaan Islam; terutama al-Quran, Hadis dan berbagai literatur hukum Islam dengan paradigma baru. Terutama yang berkaitan dengan pola hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Sejumlah isu-isu sensitif yang berkaitan dengan isu seksualitas yang semula dianggap tabu dibicarakan; mulai dibongkar dengan pemaknaan dan pemahaman yang lebih luas. Isu seksualitas yang dimunculkan bukan hanya semata-mata persoalan individu, tetapi ia memiliki implikasi sosial yang lebih luas.

Persoalan domestik dan isu perempuan erat kaitannya dengan persoalan dunia publiknya; karena itu ketika Fatayat NU mengungkap persoalan poligami, sunat perempuan, aborsi, hak menentukan pasangan hidup, dan lain-lain; semua itu adalah bukan hanya sekadar pada persoalan isunya, jauh lebih penting adalah; upaya perebutan monopoli tafsir agama dan hak-hak politik perempuan dengan makna dan cakupan yang luas.

Penolakan Konsep Gender

Semula konsep gender mempunyai penolakan yang sangat keras dari sebagaian besar kalangan Kiai. Penolakan ini setidaknya mendasari pada tiga argumentasi:

Pertama, konsep gender merupakan konsep asing (barat) yang belum tentu sesuai dengan relasi gender dalam masyarakat Indonesia, khususnya Islam.

Kedua, konsep ini dikhawatirkan merongrong ajaran Islam, terutama Islam yang dipahami oleh kalangan Nahdliyyin.

Ketiga, ada ketidaksiapan dari sebagian mereka dengan perubahan pola relasi suami-istri dalam rumah tangga.

Tetapi penolakan tersebut berhasil ditepis oleh sejumlah intelektual dan ulama NU yang mempunyai pemikiran progresif dan terbuka pada perubahan.

Sejumlah nama yang bisa disebut di sini adalah Masdar F Mas’udi, KH Husein Muhammad, KH Said Agil Siradj; dan beberapa nama lain yang memberikan dukungan terhadap sejumlah perempuan NU yang berjuang untuk menegakkan keadilan; antara laki-laki dan perempuan di tubuh NU.

Gus Dur, Gender dan Fatayat NU

Nama lain yang harus disebut atas kontribusinya pada tersosialisasinya ide-ide keadilan gender adalah KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Sejarah Fatayat NU pada saat itu mulai memantapkan pemikiran kesetaraan dan keadilan gender.

Gus Dur adalah orang yang betul-betul menerapkan kesetaraan, bukan sekedar gaya hidup. Baginya, kesetaraan berangkat dari ruh hak asasi manusia yang sama.

Sejak Gus Dur terpilih pada Muktamar Situbondo 1984 sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU, Gus Dur selalu mendorong Muslimat NU untuk memperhatikan dan fokus pada masalah-masalah kemasyarakatan yang lain, bukan hanya isu perempuan.

Gus Dur saat itu menjabat sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU. KH Abdurrahman Wahid-lah yang memungkinkan terbukanya organisasi NU pada ide-ide perubahan.

Perjuangan terhadap perempuan juga terlihat ketika Gus Dur menjabat sebagai presiden ke-4. Gus Dur memelopori terbitnya inpres presiden nomor 9 tahun 2000 mengenai pengarusutamaan gender. Pada perkembangannya inpres ini di tingkatkan menjadi UU Keadilan dan Kesetaraan Gender.

Presiden Gus Dur mengubah nama kementerian dari Kementerian Urusan Peranan Wanita menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan menjadikan perempuan sebagai subjek kebijakan.

Dalam Inpres Pengarusutamaan Gender, pengalaman-pengalaman perempuan dijadikan fokus. Supaya kebijakan dari mulai formulasi, implementasi, sampai evaluasi itu tidak bias gender

Ia juga yang membuka kran munculnya pemikiran Islam yang berorientasi pada wawasan kosmopolitan. Berorientasi pada keadilan gender, terbuka pada agama lain, mempunyai wawasan nilai universal. Juga berjuang menegakkan negara yang demokratis dengan berprinsip pada penegakkan nilai-nilai Hak-hak Asasi Manusia.

Gus Dur juga selalu menasehatkan jangan berkutat di internal organisasi tetapi harus berani ekspansi, bekerjasama dengan organisasi-organisasi masyarakat di luar.

Artikel esai Fatayat NU, Gus Dur dan Gerakan Perempuan Berbasis Gender ditulis menyongsong Harlah Fatayat NU ke-73 tahun 2023. Foto Credit: GusDurian.Net

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button