NU dan Regenerasi Kiai Di Organisasi Nahdlatul Ulama
NU CILACAP ONLINE – NU dan Kiai adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Lalu bagaimana regenerasi Kiai di tubuh organisasi Nahdlatul Ulaam (NU)? Simak ulasan Taufik Imtikhani berikut ini.
Pertama, maaf, saya menulis ini dengan menggunakan diksi, “kiai“, bukan ulama. Sebab istilah ini, adalah milik kita, NU. Istilah kiai, adalah istilah budaya yang bersifat mistis, sakral, misterius, dan transenden. Maka ini hegemoni NU jangan sampai diintrodusir kelompok lain.
Rungkasnya, istilah ini merupakan bagian dari kekayaan khasanah NU. Walau tentu saja istilah kiai hanya populer di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Namun apakah ada yang membantah, bahwa kedua wilayah ini adalah episentrum Nahdlatul Ulama?
Para pembaca diluar kedua wilayah ini, dapatlah mengasosiasikan istilah kiai, kepada tradisi sebutan bagi ulama sesuai dengan kebiasaannya masing-masing, tapi tetap mencirikan domain dan stereotype NU. Contoh, di Madura, ada Lora, NTB, Tuan Guru, di Jabar, Ajengan, Aceh Tengku, Kalimantan, Guru, dan lain sebagainya. Tapi dari semua itu, harus diikat dalam nisbat NU.
Kedua, berbicara regenerasi kiai di NU, prospeknya sangat menggembirakan, walau mungkin kita sadar, wafatnya seorang kiai, menyisakan lubang yang tidak bisa ditambal oleh lahirnya kiai baru. Hal ini bisa disebabkan juga oleh tiga hal.
Pertama, kapasitas dan kompetensi keilmuan yang berbeda. Kedua, spesifikasi keilmuan yang tidak sama. Ketiga, kiai hadir dan lahir sesuai dengan tantangan jamannya. Ketiga, NU sebagai organisasi yang menjadi wadah perjuangan kiai, tentu menempatkan kiai dalam puncak struktur piramida. Artinya, kiai adalah imam organisasi, sedangkan yang lain, merupakan umat atau pengikut saja.
Regenerasi adalah proses yang alamiah, tapi juga bisa ilmiah. Alamiah, karena memang wafatnya kiai, atau figur kiai yang sudah sepuh, atau juga karena proses-proses organisasi, seperti masa bhakti yang sudah selesai, harus ada permufakatan lagi, apakah seseorang akan diganti, atau dipilih kembali.
Dari beberapa terminologi tersebut, kita tarik suatu konklusi, bahwa regenerasi kiai adalah suatu keniscayaan. Namun yang tentu menjadi malapetaka besar bagi kita adalah regenerasi yang sifatnya alamiah, yaitu wafatnya seorang kiai. Sehingga kita mengenal istilah, mautul ‘alim mautul alam, matinya seorang alim berarti matinya alam. Dunia dalam kegelapan.
Atau katakanlah jika ada seorang kiai, atau beberapa kiai wafat, maka sebagian nur/cahaya, pelita itu padam. Jelas berbeda dengan misalnya, regenerasi secara alamiah, karena kiai itu masih hidup, cahaya pelita itu masih bisa menerangi di dan dari tempat yang lain.
Tapi di NU, regenerasi itu berjalan secara alamiah dan juga ilmiah. Kiai satu wafat, lahirlah kiai-kiai lain yang siap menggantikannya, dengan energi yang lebih besar. Bahkan tongkat estafeta itu tak pernah berhenti, sebab sebelum kiai sepuh wafat, telah siap berpuluh-puluh kiai muda untuk menggantikannya. Juga sebelum seorang kiai turun “panggung”, telah mengitarinya para kiai yang siap naik panggung. Ilmu di antara mereka saling mewarisi.
Sebagian adalah murid dari sebagian yang lain. Mbah Hasyim digantikan oleh Mbah Wahab, ada juga di situ Kiai Bisri Syansuri, kemudian ada Kiai As’ad, Kiai Ali Maksum. Datang Kiai Ali Yafi, Kiai Ahmad Sidiq, generasi Kiai Sahal, Kiai Masdar, Ahmad Ishomudin, Afifuddin Muhajir, Gus Baha, Gus Qoyyum, Afifuddin Dimyati Dan seterusnya.
Dalam genre yang berbeda, Subhan ZE, Gus Dur, Said Aqil, Gus Yaqut,Gus Reza,Gus Kautsar. Dalam genre yang lain, Kiai Idham Kholid, Kiai Masykur, Kiai Syaifuddin Zuhri, Kiai Cholil Bisri, Gus Mus, dll. Dari genre yang lain, ada Kiai Sukron Makmun, Zainuddin Mz, Anwar Zahid, Gus Muawiq, Gus Miftah, sampai Ustadah Mumpuni Handayayekti. Semua adalah kader-kader NU yang terus mewarisi dan merawat sanad dan tradisi ke-NU an, tanpa putus, tak lekang dan tak lapuk oleh panas dan hujan.
Pojok Cilacap, 170221
Editor: Munawar A.M.