Upaya Meluruskan Makna Jihad Semakin Diperlukan
NU Cilacap Online – Perlunya meluruskan makna Jihad yang lebih luas sekadar makna sebagai usaha fisik (perang) semakiin diperlukan dan menjadi kebutuhan. Sebab, makna jihad yang seolah-olah sekadar perang secara fisik, sering menimbulkan pemahaman yang berpotensi mengubah makina jihad yang sesungguhnya sangat luas.
Prinsip dasar Islam ala Nabi Muhammad Saw. adalah penyempurnaan etika manusia (li-itmam makarim al-akhlaq). Sehingga keberadaan agama Islam adalah untuk membentuk sebuah tatanan kehidupan manusia yang harmonis, damai dan sejahtera.
Islam diturunkan ke bumi ini sebagai pedoman untuk umat manusia dalam mengemban misi idealnya sebagai khalifah Allah. Artinya, umat Islam dituntut untuk selalu menjaga keharmonisan hidup di tengah dua karakter yang ada dalam dirinya: ifsad fil-ardl (berkecenderungan membuat kerusakan di muka bumi) dan safk al-dima’ (potensi konflik antar sesama manusia).
Tentunya, dalam persoalan fundamentalisme, radikalisme, maupun terorisme, Islam mempunyai pandangan dan sikap yang jelas dan juga tegas. Fundamentalisme bahasa Arabnya adalah “al-ushuliyyah”, berarti “mendasar atau disiplin dalam menjalankan kewajiban agama”.
“Muslim Fundamental” berarti seorang muslim yang berhati-hati dalam menjalankan ajaran Islam, seperti shalat lima waktu secara berjamaah, menghindari sesuatu yang tidak jelas kehalalannya.
Sedangkan “radikalisme” bahasa Arabnya adalah “syiddah al-tanatu’”. Artinya, keras, eksklusif, berpikiran sempit, rigid, serta memonopoli kebenaran. “Muslim Radikal” adalah orang Islam yang berpikiran sempit, kaku dalam memahami Islam serta bersifat ekslusif dalam memandang agama-agama lainnya.
Dalam sebuah hadis yang riwayat Imam Muslim, dikisahkan, ketika Rasulullah Saw membagi fai’ atau harta rampasan perang di daerah Thaif dan sekitarnya, tiba-tiba seorang sahabat yang bernama Dzul-Khuwaishirah dari Bani Tamim melayangkan protes kepada beliau. “Bersikap adillah, wahai Muhammad!”
Nabi Muhammad dengan tegas menjawab, “Celaka kamu! Tidak ada orang yang lebih adil dari aku. Karena apa yang kami lakukan berdasarkan petunjuk Allah!”. Setelah Dzul-Khuwaishirah pergi, Nabi Muhamamd Saw bersabda,
سيكون بعدي من أمتي قوم يقرؤن القرأن لايجاوز حلقمهم هم شر الخلق والخليقة
(Suatu saat nanti akan muncul sekelompok kecil dari umatku yang membaca al-Quran, namun tidak mendapatkan substansinya. Mereka itu sejelek-jeleknya makhluk di dunia ini).
Hadits sahih di atas kemudian terbukti setelah Nabi Muhammad Saw. wafat. Pada 35 H, Khalifah Usman ibn Affan terbunuh secara mengenaskan oleh sekelompok umat Islam yang ekstrem. Peristiwa ini kemudian terulang pada masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib yang juga terbunuh oleh kalangan ekstrem dari umat Islam.
Komunitas ekstrem tersebut, sungguh pun pada mulanya bernuansa politik. Tetapi perkembangan selanjut-nya merajut dalam sebuah ideologi atau Paham Khawarij.
Hal yang menarik, saat Khalifah Ali bin Abi Thalib masih hidup, kelompok ekstrem Khawarij ini sempat memvonis kafir Khalifah Ali bin Abi Thalib atas dasar kesalahan beliau yang membenarkan arbitrase atau tahkim dengan Mu’awiyah.
Soalnya, bagi Khawarij, yang berlaku adalah doktrin “laa hukma illa Allah”, bahwa arbitrase itu hanya milik Allah. Khalifah Ali ibn Abi Thalib pun menangkis diplomasi mereka dengan kata-kata singkat, “Untaian kata yang benar, namun tendensius dan mengarah pada yang batil”.
Maka gelombang umat Islam radikal yang berkembang saat ini mempunyai sejarahnya, mereka terpengaruh pada pola-pola Khawarij di masa periode awal sejarah umat Islam. Kelompok umat Islam radikal ini tidak hanya menggelisahkan kalangan non-muslim. Umat Islam pun terkena dampaknya.
Karenanya, menjadi tanggung jawab seluruh umat Islam untuk meluruskan pemahaman mereka atas agama Islam. Dan memerlukan upaya untuk meluruskan makna jihad. Sikap mereka yang ingin menempuh jalur apa saja, menyalahkan siapa saja yang tak sama pemahamannya, merupakan refleksi dari pemahaman mereka yang “sathiyyah” (setengah-setengah), rigid dan belum tuntas terhadap ajaran Islam.
Dengan demikian, para hadirin Jama’ah Jum’ah, Kita patut prihatin atas stigmatisasi umat Islam akhir-akhir ini. Hanya karena perbuatan segelintir umat Islam yang sangat dangkal pemahamannya atas ajaran agama, umat Islam secara keseluruhan terkena dampaknya. Umat Islam tidaklah dalam posisi vis-à-vis dengan non-muslim.
Umat Islam harus hidup di tengah-tengah masyarakat plural dengan damai. Seperti Rasulullah Saw contohkan saat melihat seorang Yahudi yang dibunuh orang Islam secara zalim. Saat itu beliau bereaksi dengan keras: “Man-qatala dzimmiyan, fa ana khasmuh”(Barangsiapa yang membunuh non-Muslim, maka ia akan berhadapan langsung dengan saya).
Pola hidup berdampingan seperti inilah yang perlu ditiru umat Islam. Mengutamakan pelaksanaan amar ma’ruf (mendorong untuk berbuat baik) daripada nahy ‘anil munkar (melarang berbuat kemungkaran).
Khalifah Umar ibn al-Khattab pernah tidak menghukum pencuri di saat musim paceklik dan masa kelaparan. Dari sini sebuah kaidah agama muncul, yang menyebutkan, “Man kana amruhu ma’rufan, fal yakun bil-ma’ruf. Artinya, siapa yang memerintahkan kebaikan, maka haruslah dengan cara yang baik pula.
Lalu, Bagaimana dengan ajaran tentang jihad yang sering menjadi alasan radikalisme dalam Islam? Kata ‘jihad’ berasal dari kata kerja ‘jahada’, berarti usaha, upaya. Jadi, ber-‘jihad’ adalah membangun sesuatu yang sifatnya fisik maupun non-fisik.
Sebutan lain yang berasal dari akar kata jihad ini, pertama, adalah “ijtihad”, yang berarti usaha membangun sisi intelektualitas manusia, seperti ijtihad para ulama atau kiai dalam forum bahtsul masail. Kedua, ‘mujahadah’, yang berarti upaya sungguh-sungguh membangun spiritualitas manusia.
Dalam perkembangannya kemudian, jihad mengarah pada pengertian tertentu yang menekankan sesuatu yang sifanya fisik atau material. Sedangkan ijtihad dan mujahadah penekanannya kepada non-fisik atau immaterial.
Masing-masing dari ketiganya ini menempati nilai dan posisi tersendiri dalam Islam. Dari ketiga kata tersebut di atas, ternyata kata ‘jihad’ mendapatkan perhatian lebih daripada dua kata lainnya. Hanya saja pengetahuan yang terbatas akan referensi Islam mengakibatkan tema jihad sebagai sebuah gerakan fisik yang berkonotasi kekerasan, kekejaman, kebrutalan dan bahkan pertumpahan darah.
Trend pemaknaan jihad seperti ini makin parah dengan kemunculan beberapa tragedi kemanusiaan akibat dari gerakan “Islam garis-keras”. Opini dunia pun mengarah kepada Islam. Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, agama penabur kasih bagi seluruh alam, lagi-lagi menjadi tergugat. Atas alasan inilah kita berpula melakukan Upaya Meluruskan Makna Jihad.