Munas dan Konbes NU 2012, Kembali ke Khitah Indonesia 1945
NU Cilacap Online – Dasar Pikiran Munas dan Konbes NU 2012 berikut ini dipakai. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akan menggelar Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama (Nahdlatul Ulama) 14-17 September 2012 di Pondok Pesantren Kempek, Palimanan, Cirebon Jawa Barat.
Dalam Pasal 74 Anggaran Rumah Tangga (ART) NU antara lain disebutkan, Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama (Nahdlatul Ulama) merupakan forum permusyawaratan tertinggi setelah Muktamar yang dipimpin dan diselenggarakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Munas membicarakan masalah-masalah keagamaan yang menyangkut kehidupan umat dan bangsa, dihadiri oleh anggota Pengurus Besar Pleno dan Pengurus Syuriyah Wilayah. Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama (Nahdlatul Ulama) biasanya digelar bersamaan dengan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Konbes NU).
Berikut ini Dasar Pikiran Munas dan Konbes NU 2012
I. Posisi dan Sikap NU
NU merupakana bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia dengan segala macam tata-nilai dan segenap persoalannya. Bila Indonesia dalam bahaya NU juga ikut terancam, bila Indonesia aman NU juga merasa aman. Bila Indonesia berdaulat dan bermartabat.
NU juga ikut berdaulat dan memiliki martabat. Saat ini bangsa Indonesia sedang bersusah payah menyelesaian berbagai persoalan yang timbul akibat Reformasi yang dilakukan. Reformasi sebuah tonggak unuk melakukan perbaikan secara menyeluruh dalam kehidupan sosial; ekonomi, politik dan kenegaraan. Gerakan itu dimulai dengan melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Sejak awal NU sangat peduli terhadap hal ini, ikut mendorong tetapi dengan bersikap hati-hati.
Amandemen yang merupakan bagian penting dalam Reformasi itu terbukti telah membawa kemajauan yang berarti, kehidupan makin demokratis, hilangnya berbagai tindakan represi, kebebasan berorganisasi, kebebasan melakukan pendidikan dan dakwah serta kebebasan berpolitik.
Tetapi langkah itu juga membawa akibat buruk yang tidak dikehendaki. Ketika amandemen dilakukan dengan tergesa-gesa, maka dalam amandemen tersebut banyak terjadi ketidakcermatan bahkan terjadi banyak kesalahan, sehingga akibatnya melahirkan UUD yang merugikan rakyat dan membahayakan kedaulatan nasional.
Sebagai salah satu elemen bangsa ini NU ikut prihatin dengan masalah bangsa ini, karena NU berusaha mencari jalan keluar dengan menawarkan konsep dasar ketatanegaraan serta mengambil beberapa langkah stratgis yang perlu dilakukan dalam menghadapi amandemen UUD 1945 ini.
Mengingat pentingya persoalan ini Maka dalam Munas Konbes NU di Cirebon 2012 ini, NU mengusulkan agar Bangsa ini Kembali ke Khittah Indonesia 1945, untuk menggali semangatnya, menegaskan jati dirinya, memulihkan kedaulatannya, menegakkan kebesarannya serta mengembangkan perannya dalam menciptakan keadilan dan perdamaiaan dunia.
II. Keadaan Indonesia Saat ini
Amendemen UUD 1945 yang semula dicita-citakan keseluruhan bangsa ini untuk memperbaiki kehidupan disegala bidang, tetapi kemudian terjadi penyimpangan di tengah jalan. Amandemen yang berada di tangan rakyat itu diambil alih oleh sekelompok elite yang mewakili kepentingan kapitalisme global yang berideologi liberal.
Langkah awal amandemen yang diambil kelompok ini adalah melakukan liberalisasi di bidang politik, liberalisasi di bidang ekonomi, liberalisasi di bidang sosial dan liberalisasi di bidang kebudyaan termasuk liberalisasi dalam bidang agama. Liberalisasi ini digunakan untuk mempersiapkan beroperasinya kapitaliasme di negeri ini.
Pertama, dalam bidang politik kenegaraan diberlakukannya otonomi yang pelaksanaannya melampaui batas telah mengarahkan negeri ini pada sistem federa. Sementara dalam negara kepulauan yang terpisah-pisah ini sistem yang paling tepat adalah bentuk negara kesatuan. Sistem federal terlalu longgar yang rawan terjadinya disitegrasi yang mengarah pada separatisme. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih: al amru idzattasaa dloqo (Suatu masalah bila longgar maka harus diperketat pengelolaanya). Negaraa seluas ini dan selonggar ini haya bisas dikelola dengan sistem kesatuan yang terpusat.
Kedua, liberalisasi dalam bidang politik dilaksnakan dalam bentuk pemilihan pimpinan daerah langsung di segala tingkatan terbukti banyak menelan beaya, baik biaya ekonomi yang sangat mahal, juga menelan beaya sosial yang tinggi karena menyulut terjadinya konflik sosial di mana-mana. Bahkan hal itu uga menyulut konflik keluarga sehingga meningkatkan angka perceraian. Selain itu juga harus dibayar secara politik dengan harga mahal, yang ditandai dengan terjadinya pertikaian terbuka antar partai dan internal partai politik.
Ketiga, liberalisasi dalam bidang ekonomi terjadinya penguasaan sektor strategis oleh pihak swasta terutama swasta asing yang ini sangat merugikan eksistensi bangsa dan sangat menyengsarakan rakyat. Penguasan sektor strategis oleh asing ini mengakibatkan negara tidak mampu membeayai beroperasinya pemerintahan dan pembangunan nasional serta menjamin kesejahteraan rakyat. Banyak pabrik tutup atau kekuarangan pasokan bahan, karena bahan industri baikeneggi maupun bahan mentah lainnya dilarikan keluar negeri. Penguasaan 85 persen perbangkan oleh asing mengakibatkan Bank Indonesia sebagai bank sentral kehilangan otoritasnya dibidang moneter. Padahal otoritas di bidang ini sangat mencerminkan adanya kedaulatana negara.
Keempat, liberalisasi dalam bidang sosial terjadi bersamaan dengan liberalisasi politik yang ditandai dengan hilangnya rasa tanggung jawab sosial dan semangat pengabdian pada masyarakat. Kehidupan yang komunal diganti kehidupan individual yang tidak lagi memiliki solidaritas sosial. Semua relasi sossial yang dahulu didasari atas pengabdian dan kasih sayang kemudia dimaterialkan yang hanya diikat oleh transaksi yang bersifat materi. Tali persaudaraan dihilangkan transaksi dikedepankan. Rapuhnya ikatan sosial ini menjadikan mudahnya terjadi disitegrasi sosial, ketika individualisme telah mewarnai kehidupan sosial.
Kelima, dalam bidang kebudyaan, masyarakat yang hidup gotong royong berubah menjadi masyarakat terbuka dan kompetitif. Kelompok satu melihat kelompok lain bukan sebagai mitra tetapi sebagai pesaing bahkan lawan.
Berbagai pasal yang menegaskan aspirasi rakyat dan menjaga keutuhan bangsa dan negara diganti dengan pasa-pasal yang menguntungkan perusahaan asing di bawah bendera kapitalaisme global. Disyahkannya UU Sumber daya air, UU Migas, UU Minerba, UU perdesaan, UU Pangan dan lain sebagainya merupakan seperangkat hukum yang dikukuhkan untuk melindungi pemilik modal. Tanpa memberi jaminan pada rakyat dan bangsa Indonesia.
Akibatnya keseluruhan aset strategis nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945 dikuasai oleh perusahaan asing, sehingga negara kehilangan kedaulatan, tidak hanya dalam penguasaan keuangan, energi dan pangan, tetapi juga kehilangan kedaulatan dalam bidang politik dalam menentukan arah dan kebijakan negara.
Akibat dari keseluruhan itu waluapun ekonomi makro tumbuh, tetapi berbanding berbalik dengan kesejahteraan rakyat, yang semakin terpuruk akibat tertutupnya sektor usaha kecil dan menengah ketika tidak bisa bersaing dengan perusahaan besar yang melindas habis seluruh usaha nasional. Daya beli rakyat semakin menurun, bersamaan dengan merosotnya usaha mereka.
Ditutupnya berbagai perusahaan nasional juga mengakibatkan meningkatnya pengangguran. Bantuan tunai langsung yang merupakan formula kapitalisme yang menjadikan rakyat sebagai golongan tuna karya yang perlu disantuni, menjadikan rakyat semakin dikukuhkan kemiskinannya. Padahal hanya dengan membuka lapangan kerja dan usaha mandiri rakyat bisa hidup sejahtera.
Keresahan dan penderintaan rakyat terjadi di semua tingkatan akibat ketidakpastian mereka menghadapi masa depan. Harga diri bangsa ini juga semakin hari selamkin merosot ketika bangsa lain dengan bebasnya mengambil aset-aset terpenting di negari ini, sehingga kekayaan alam dan kekayaan sosial serta intelektual yang ada tidak bisa dikonversi menjadi kekayaan nasional yang menjadi modal bagi penciptaan kesejahteraan sosial serta rasa percaya diri bangsa.
Sebagai akibatnya negari ini tidak memperoleh penghormatan yang semestinya di hadapan bangsa lain. Kehidupan sosial politik diwarnai dengan berbagai konflik, saling memfitnah dan saling membuka aib masing-masing dihadapan bangsa lain. Sehingga bangsa ini semakin tertinggal oleh bangsa lain dan mengalami kemerosotan hingga titik nadir.
III. Menimba Pengalaman NU
Sebagi bagian dari Bangsa ini NU merasa prihatin terhadap keadaan ini, sudah sewajarnya kalau NU ingin meberikan sumbangan pemikiran, dan mengajukana beberapa langkah konkret. Kebetulan NU pernah memiliki pengamanan dalam mengatasi berbagai krisis dan ketegangan serta kemerosotan.
Ketika NU mengaklami krisis dan kemerosotan pada dasawaersa 1970-an maka pada awal 1984 NU menemukan solusi yaitu kembali ke spirit NU 1926, maka kemudian dicanangkan agenda Kembali ke Khittah 1926. Walaupun pada awalnya banyak yanag menentang karena dianggap langkah mundur, tetapi kemudian terbukti bahwa langkah NU kembali ke Khittah itu telah meberi inspirasi baru untuk kebangkitan NU sebagai tonggak dalam menentukan langkah ke depan.
Tidak sampai sepuruh tahun, bahkan hanya beberapa tahun saja kebijakan itu telah mengubah sikap NU dan dengan demikian pula telah mengubah citra NU, sebagai organisai yang lamban, konservatif dan sebagainya, menjadi organisasi yang sangat dinamis, progresif dalam pemikiran serta langkah dan tindakan. Akhirnya NU tampil sebagai ormas yang utuh, kompak dan besar, pengaruhnya melebihi ormas yang ada bahkan pengaruh politiknya lebih besar dari partai politik yang ada saat itu. Dengan posisi seperti itu NU memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menjaga keutuhan bangsa ini, pada saat bangsa ini menghadapi krisis sangat mendalam.
Dengan pengalaman itu NU mendesak pada bangsa ini agar Kembali Ke Khittah Bangsa Indonesia 1945, yang merupakan kembali ke jati diri bangsa ini yang diwarnai dengan semangat kemerdekaan, menciptakan keadilan dan kesejahteraan serta membangun kedaulatan nasional yang lepas dari segala macam bentuk penjajahan. Kembali ke Khitah Indonesia 1945 berarti kembali ke semangat Proklamasi, nilai-nilai Pancasila, semangat Pembukaan Undang-Undang Dasar, serta kembali pada nilai luhur UUD 1945, yang berdasarkan pada nilai ketuhanan, kemusiaan, persatuan, kekeluargaan, permusyawaratan serta perjuangan keadilan.
IV. Arah Kembali ke Khitah Indonesia 1945
Kembali ke Khittah 1945 ini tidak berarti menolak segala bentuk perubahan terhadap UUD 1945. Demikian juga tidak mensakralkan hasil amandemen yang sudah dilakukan. Sesuai dengan amanat pasal 37 UUD itu perlu disempurnakan. Dalam rangka penyempurnaan itu maka Amandemen Kelima yang direncanakan haruslah berani melakukan amendemen atau review terhadap hasil amandemen yang telah dilkukan yang jelas-jelas merugikan kepentingan rakyat dan bangsa serta merendahkan kedaulataan negara Republik Indonesia.
Khitah Indonesai 1945 merupakan keseluruhan cita-cita bangsa ini yang berproses sejak zaman Kebangkitan Nasional yang kemudia dirumuskan menjadi dasar Negara Pancasila, dicetuskan melalui Proklamasi Kemerdekaan, dirumuskan menjadi Pembukaan UUD serta dirinci ke dalam batang tubuh UUD 1945 secara tuntas dan menyeluruh.
Dengan demikian Penyempurnaan UUD 1945 haruslah:
Pertama : dilaksanakan dengan penuh ketelitian dan kecermatan.
Kedua : haruslah sesuai dengan Pancasila sebagai dasar dan Ideologi negara,
Ketiga : harus sesuai dengan semangat Proklamasi.
Keempat : haruslah sejalan dengan amanah Mukadimah UUD 1945.
Kelima : mempertimbangkan aspirasi, tatanilai dan tradisi bangsa ini.
Karena itu dalam konteks kembali ke Khittah Indonesia 1945 ini NU berusaha kembali menegaskan Pancasila sebagai ideologi negara, barang siapa mengganggu atau menentangnya harus segera dicegah, karena ini musuh negatra. NU juga mendesak agar dalam UUD itu ada pasal yang menegaskan bahwa Mukadimah UUD 1945 yang telah ada itu sama sekali tidak boleh di ubah atau amandemen, karena Mukadimah tersebut menjadi pedoman yang memuat filososi serta arah perjuangan bangsa ini.
V. Penutup
Usulan NU pada bangsa Indonesia agar Kembali Ke Khitah Indonesia 1945 ini semata ditujukan untuk membangun bangsa ini sebagaimana cita-cita dan semangat awalnya, yaitu semangat 1945 yang murni dan ikhlas untuk membentuk suatu negara Indonesia yang merdeka, berdaulat menuju masyarakat yang adil dan makmur dengan segala daya upaya yang dilakukan untuk mencapai cita-cita tersebut.
Langkah kembali ke Khitah Indonesia ini merupakan sebuah perjuangan besar dan berjangka panjang. Untuk mewujudkan agenda ini diperlukan adanya cita-cita yang tinggi serta nafas perjuangan yang panjang agar bisa mengemban amanah ini. Sebagai organisasi pengusul NU akan selalu mengawal cita-cita besar ini bersama dengan elemen bangsa yang lain yang sejalan dengan cita-cita besar ini. Semoga Allah meridloinya dan rakyat mendukungnya. Amin