Perjalanan Politik Nahdlatul Ulama (NU) Tahun 1914-2004
NU CILACAP ONLINE – Perjalanan Politik NU dalam rentang waktu tahun 1914-2004. Nahdlatul Ulama (NU) lahir bukan karena faktor politik, tetapi tak bisa pungkiri bahwa perjalanan kesejarahan NU tidak bisa dipisahkan dari hiruk pikuk politik dari satu rezim-politik ke rezim-politik yang lain.
Perlu ditegaskan bahwa gagasan pertama dan utama ketika NU didirikan bukanlah gagasan besar politik, melainkan gagasan luhur sosial keagamaan. Lihat > Paham Keagamaan NU
Setelah rapat Komite Hijaz tanggal 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H) memutuskan berdirinya Nahdlatoel-‘Oelama (NO) sebagai nama yang digunakan utusan ke Makkah, ada dua hal yang mendapat perhatian utama NU, yakni pengiriman komite ke Makkah untuk memperjuangkan kebebasan hukum-hukum madzhab empat (kepada pemerintah baru Kerajaan Saudi yang dikuasai oleh kelompok Wahabi); dan penggalangan solidaritas umat untuk memperkuat organisasi NO melalui jaringan mata rantai kiai, pesantren, dan jama’ah.
Perjalanan Politik NU
Perjalanan Politik NU dalam rentang waktu tahun 1914-2004 tergambar dan terangkum dalam table berikut ini:
No | Waktu | Perjalanan Peristiwa Politik NU |
1 | 1914 | Berdiri Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), organisasi pendidikan dan dakwah, cikal bakal organisasi NU, oleh pemuda Kiai Abdul Wahab Chasbullah dan Kiai Mas Mansur yang dibantu beberapa orang lainnya. Nahdlatul Wathan mendapat pengakuan badan hukum pada tahun 1916. |
2 | 1918 | Berdiri Tasywirul Afkar (Representasi Gagasan-gagasan)-nama resmi organisasinya Suryo Sumirat Afdeling Tasywirul Afkar–di Surabaya oleh Kiai Ahmad Dahlan, pemimpin pesantren Kebondalem Surabaya bersama Kiai Mas Mansur, Kiai Abdul Wahab Chasbullah dan Mangun. Tujuan utamanya menyediakan tempat bagi anak-anak untuk mengaji dan belajar, kemudian menjadi “sayap” untuk membela kepentingan Islam tradisionalis. |
3 | 1918 | Atas restu KH Hasyim Asy’ari didirikan usaha perdagangan dalam bentuk koperasi (syirkah al-‘inan) dengan nama Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Usahawan). |
4 | Sebelum Januari 1926 | Dibentuk Komite Hijaz, yang diketuai KH Hasan Gipo, dan wakil Saleh Sjamil, sekretaris Moehammad Shadiq Setijo dan wakil Abdul Halim, penasehat KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Masjhoeri, dan KH Khalil. |
5 | 30 Januari 1926 | Kiai Abdul Wahab Chasbullah mengenai kemerdekaan Indonesia: “Tentu, itu syarat nomor satu, umat Islam menuju ke jalan itu, umat Islam tidak leluasa sebelum negara kita merdeka.” “Ini bisa menghancurkan bangunan perang, kita jangan putus asa, kita harus yakin tercapai negeri merdeka.” |
6 | 31 Januari 1926 | Rapat Komite Hijaz yang memutuskan pengiriman delegasi ke Makkah, dengan nama jam’iyyah Nahdlatoel-‘Oelama (NO). |
7 | 1928 | NU menetapkan anggaran dasarnya pada Muktamar tahun 1928. |
8 | 6 Februari 1930 | NU memperoleh pengakuan resmi dari Pemerintah Belanda. |
9 | 1936 | Pada Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, NU menetapkan bahwa Indonesia yang saat itu masih dikuasai Pemerintah Hindia Belanda adalah daru Islamin (negeri Islam). Pertimbangan NU bahwa masyarakat Islam di kawasan Nusantara dapat menjalankan agamanya dan melaksanakan hukum Islam tanpa terusik meskipun secara formal kekuasaan politik berada di tangan Hindia Belanda. Selain itu, dalam sejarahnya Indonesia pernah dikuasai sepenuhnya oleh Kerajaan Islam dan bagian terbesar penduduknya beragama Islam. |
10 | 1937 | NU bersatu dalam konfederasi MIAI (Majlis Islam A’laa Indonesia). Bagi NU, keterlibatannya ini merupakan langkah pertama menuju dunia politik dalam arti terbawa untuk menentukan posisi secara tegas terhadap penjajahan Belanda menjelang Perang Dunia II. |
11 | 1939 | Aktivis muda NU saat itu, Mahfudz Shiddiq dan Wahid Hasyim, sebagai wakil NU terlibat dalam GAPI (Gabungan Politik Indonesia) di MIAI. Selain itu, banyak aktivis NU terlibat dalam perjuangan nasional melawan penjajahan. |
12 | Juni 1940 | Pada Muktamar ke-15 NU (Muktamar terakhir masa pemerintahan kolonial Belanda), suatu rapat tertutup yang dihadiri oleh 11 ulama di bawah pimpinan KH Mahfudz Shiddiq membicarakan calon Presiden pertama Indonesia mendatang. Para ulama memilih Soekarno dengan 10 suara dan 1 suara untuk Mohamad Hatta. Andree Feillard memberi perhatian khusus terhadap keputusan ini karena diambil pada saat berlangsungnya perdebatan seru mengenai Indonesia yang akan dijadikan negara Islam atau bukan. Soekarno tampak lebih sekular dan cenderung ke negara demokrasi ketimbang Hatta yang memiliki citra lebih “santri”. |
13 | 1942 | KH Hasyim Asy’ari dijebloskan ke penjara beberapa bulan karena penolakannya terhadap penghormatan terhadap Kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan. |
14 | 1943 | MIAI dibubarkan dan diganti dengan Masyumi (Madjlis Sjuro Muslimin Indonesia) yang dipimpin Muhammadiyah dan NU dan menyatakan siap membantu kepentingan Jepang. |
15 | Agustus 1944 | KH Hasyim Asy’ari diangkat sebagai Ketua Shumubu, Kantor Urusan Agama Islam buatan Jepang, dan NU pun mulai masuk ke dalam urusan pemerintah untuk pertama kalinya. Kemudian, diikuti pembukaan Kantor Urusan Agama di setiap Karisidenan yang menjangkau kehidupan desa. |
16 | 1942-1945 | Semasa pendudukan Jepang, aktivitas NU terpusat pada perjuangan membela Tanah Air, baik fisik maupun politik. Ini berarti NU sudah tidak lagi mengkhususkan diri pada urusan sosial kemasyarakatan keagamaan saja, melainkan juga melibatkan diri pada urusan politik perjuangan kemerdekaan. Dalam periode ini terlibat Kiai generasi pertama NU, yakni KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Hasbullah, KH A. Wahid Hasyim, KH M. Dahlan, KH Masykur, KH Saifuddin Zuhri, KH Zaenul Arifin, dll. |
17 | Mei – Agustus 1945 | KH Wahid Hasyim, wakil dari NU, terlibat aktif dalam perumusan dasar negara Indonesia yang akan diproklamasikan, mulai dari penyusunan Piagam Jakarta hingga menjadi Pancasila seperti sekarang ini. |
18 | 18 Agustus 1945 | Menjelang sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), KH Wahid Hasyim yang mewakili NU ikut menyepakati untuk menghapuskan tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluknya” dalam Piagam Jakarta, sehingga hanya menjadi “Ketuhan Yang Maha Esa.” |
19 | 22 Oktober 1945 | Resolusi Jihad NU, yakni fatwa jihad melawan tentara sekutu Inggris-Belanda dan NICA sebagai djihad fi sabilillah yang hukumnya fardlu ‘ain bagi orang yang berada dalam jarak radius 94 Km demi tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam. |
20 | 7-8 November 1945 | Muktamar Ummat Islam Indonesia di Yogyakarta, yang melahirkan Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Pada periode pertama, Majelis Syura Masyumi dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari. |
21 | 3 Januari 1946 | Departemen Agama dibentuk dan KH Wahid Hasyim dari NU menjadi Menteri Agama. |
22 | 26-29 Maret 1946 | Muktamar ke-16 NU di Purwokerto menetapkan naskah Resolusi Jihad yang memutuskan wajib bagi warga NU untuk membela Negara Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945; menegaskan NU masuk sebagai istimewa Masyumi dan menyerukan kepada seluruh warga NU di semua tingkatan untuk tetap aktif mendukung tegaknya Partai Islam Masyumi. |
23 | 25 Mei 1947 | Muktamar ke-17 NU di Madiun menyetujui prakarsa KH A. Wahid Hasyim untuk mendirikan “Biro Politik NU” yang bertugas mengadakan perundingan-perundingan dengan kelompok intelektual yang didominasi Masyumi dan guna menyelesaikan berbagai ketimpangan yang dirasakan sangat merugikan NU. |
24 | 25 Juli 1947 / 7 Ramadlan 1366 H | Rais Akbar NU, KH Hasyim Asy’ari berpulang ke rahmatullah. |
30 April – 3 Mei 1950 | Muktamar ke-18 NU di Jakarta memutuskan NU keluar dari Partai Masyumi, tapi pelaksanaannya ditangguhkan, dan menetapkan KH Abdul Wahab Hasbullah sebagai Rais Aam (bukan lagi Rais Akbar) PBNU, sekaligus menyetujui berdirinya Fatayat NU, organisasi pemudi/remaja puteri NU. | |
25 | 1952 | NU keluar dari Masyumi. |
26 | 1952-1973 | NU menjadi organisasi partai politik. |
27 | Juli 1953 | NU masuk dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo yang dipimpin PNI dan dikukung oleh PKI. Masyumi dan PSI menjadi oposisi. NU memperoleh jabatan Menteri Agama, Menteri Pertanian, dan Wakil Perdana Menteri. |
28 | 1954 | Dalam Muktamar ke-20 tahun 1954 di Surabaya, NU memutuskan untuk menerima dan memandang sah hasil Konferensi Alim Ulama di Cipanas tahun 1954 yang menetapkan bahwa Presiden RI (Ir. Soekarno) dan alat-alat negara adalah waliyyul amri ad-dlaruri bi asy-syawkah. |
29 | 29 Maret 1954 | KH Abdul Wahab Chasbullah membenarkan pemberian gelar waliyyul amri ad-dlaruri bi asy-syawkah di depan Parlemen, dengan argumentasi bahwa menurut fikih perempuan Islam yang tidak memiliki wali nasab, perlu kawin di depan wali hakim supaya anaknya tidak menjadi anak zina. Karena itu, ditetapkan bahwa yang harus menjadi wali hakim pada masa ini adalah Kepala Negara kita. |
30 | 1955 | Dalam Pemilu 1955, NU menjadi partai terbesar ketiga memperoleh 45 kursi di Parlemen (18,4% suara), setelah PNI (22,3%) dan Masyumi (20,9%), dan di atas PKI (16,4%). |
31 | Mei 1959 | Di tengah perdebatan negara Islam atau bukan, NU menerima “Kembali kepada UUD 1945” dengan syarat Piagam Jakarta diakui sebagai bagian dari UUD. Ketika Sidang Konstituante memilih tidak menerima Piagam Jakarta, NU berbalik menolak UUD 1945. |
32 | Juli 1959 | KH Idham Cholid, Ketua Tanfidhiyah PBNU, dan KH Saefuddin Zuhri, Sekretaris PBNU, menyetujui Dekrit Presiden untuk “Kembali kepada UUD 1945” tetapi minta “agar Piagam Jakarta diakui kedudukannya sebagai yang menjiwai UUD 1945.” |
33 | 5 Juli 1959 | Presiden Soekarno membubarkan Majelis Konstituante dan mendekritkan berlakunya UUD 1945 dengan pernyataan: “Kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.” |
34 | 5 Juli 1971 | Pada Pemilu 1971, Partai NU menjadi partai terbesar kedua memperoleh 58 kursi DPR (18,68% suara) setelah Golongan Karya (Golkar) yang memperoleh 236 kursi DPR (62,82% suara), dan dua tingkat di atas PNI yang memperoleh 20 kursi (6,93% suara). |
35 | 5 Januari 1973 | KH Dr. Idham Chalid, Ketua Umum PBNU, menandatangani Deklarasi Pembentukan Partai Persatuan Pembangunan (PPP); NU berfusi ke dalam PPP. |
36 | 1984 | Pada Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur, NU kembali ke Khittah 1926, tidak terlibat politik praktis, dan menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 adalah bentuk final perjuangan umat Islam. Karenanya, tidak diperlukan lagi bentuk negara apapun dalam negeri ini, meskipun Negara Islam atau Negara Syari’ah. |
37 | 23 Juli 1998 | Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dideklarasikan oleh KH Munasir Ali, KH Ilyas Ruchiyat, KH Abdurrahman Wahid, KH A. Mustofa Bisri, KH A. Muhith Muzadi. Pendirian PKB diinisiasi oleh Tim Lima yang dibentuk PBNU pada 3 Juni 1998, yakni KH Ma’ruf Amin (Rais Syuriyah/Koordinator Harian PBNU), dengan anggota KH M. Dawam Anwar (Katib Aam PBNU), Dr. KH Said Aqil Siradj, M.A. (Wakil Katib Aam PBNU), HM. Rozy Munir, S.E., M.Sc. (Ketua PBNU), dan Ahmad Bagdja (Sekretaris Jenderal PBNU). |
38 | 20 Oktober 1999 | KH Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PBNU (1984-1999), terpilih menjadi Presiden RI ke-4 (20 Oktober 1999-23 Juli 2001). |
39 | Mei-Juli 2004 | KH Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU (1999-2010), menjadi calon Wakil Presiden mendampingi Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Sukarnoputri sebagai calon Presiden pada Pemilu 2004; dan KH Ir. H. Shalahuddin Wahid, Ketua PBNU (1999-2004), sebagai calon Wakil Presiden mendampingi Jenderal (Purn.) H. Wiranto, SH sebagai calon Presiden pada Pemilu 2004. |
Dari tabel singkat di atas tampak bahwa dari satu waktu ke waktu lain, perjalanan sejarah NU hampir selalu bersentuhan dengan politik, kekuasaan, negara, dan kebijakan publik, baik sebagai pelaku utama, pendukung, maupun hanya sekadar pengikut. Jadi, Nahdlatul Ulama (NU) lahir bukan karena faktor politik.
Baca artikel terkait :
Bentuk keorganisasiannya berubah-ubah secara dinamis mengikuti perkembangan politik pada masanya; dari organisasi sosial keagamaan menjadi organisasi politik, lalu kembali lagi menjadi organisasi sosial keagamaan, berubah lagi menjadi organisasi sosial keagamaan yang mendirikan partai politik.
Sumber: Fahmina Institute