Kebangkitan Nasional: Amanat Reformasi Jangan Dinodai
NU CILACAP ONLINE – Kebangkitan Nasional: Amanat Reformasi Jangan Dinodai. Peringatan itu disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj, Ketua MPR Taufiq Kiemas, Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung dan Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Pemuda (PP GP) Ansor Nusron Wahid secara terpisah, di Jakarta, Senin (21/5).
KH Said Aqil Siradj menyatakan; Agenda dan amanat reformasi yang diperjuangkan sejak 1998 hingga kini belum terlaksana sepenuhnya. Reformasi bidang hukum masih dinodai dengan makin merajalelanya praktik korupsi khususnya di kalangan birokrat.
Sementara itu, reformasi bidang ekonomi belum meningkatkan kesejahteraan mayoritas rakyat Indonesia. Reformasi di bidang politik hanya menghasilkan keterbukaan dan kebebasan, namun tidak membuahkan demokrasi yang berpihak kepada rakyat.
Untuk itu, kalangan elite yang berkuasa baik di lembaga legislatif, yudikatif maupun eksekutif serta elite partai politik diminta untuk terus memperjuangkan reformasi. Bukannya menodai bahkan mengkhianati reformasi yang diperjuangkan dengan keringat dan darah mahasiswa serta eksponen penentang status quo.
PBNU menilai reformasi belum membuahkan hasil maksimal. Namun, kata Said Aqil Siradj, bangsa ini tidak menimpakan kesalahan kepada kelompok tertentu terkait belum maksimalnya hasil reformasi. “Itu tugas kita bersama untuk memperbaikinya,” katanya.
Baca juga Tugas Akademis dan Tanggung Jawab Sosial Perguruan Tinggi
Menurut dia, beberapa bidang yang belum berjalan sesuai harapan adalah pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi. Bahkan, ada kecenderungan praktik korupsi makin masif. “Pemberantasan korupsi juga masih tebang pilih. Bahkan, birokrasi belum sepenuhnya bersih dan profesional seperti yang diharapkan,” tuturnya.
Namun, Said Aqil mengakui ada juga hasil reformasi yang layak diapresiasi, misalnya, suksesi kepemimpinan nasional dan daerah yang berlangsung lebih demokratis. “Reformasi politik telah menghasilkan keterbukaan dan kebebasan. Tapi, belum menyentuh substansi demokrasi yang sebenarnya,” ujarnya.
Said Aqil menambahkan, masih belum maksimalnya hasil reformasi, hendaknya tidak membuat elemen bangsa ini pesimistis. Untuk itu, PBNU berharap segenap elemen bangsa bersungguh-sungguh melaksanakan agenda reformasi yang diyakini akan bisa menjadikan Indonesia makin baik.
“Pendidikan bisa diselenggarakan dengan biaya murah jika reformasi berjalan dengan benar. Pada akhirnya terpulang pada kita semua untuk terus mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan pendidikan yang berpihak ke masyarakat,” kata Said Aqil.
Taufiq Kiemas menilai, terhambatnya agenda reformasi setelah berjalan selama 14 tahun karena belum adanya regenerasi kepemimpinan nasional. “Salah satu amanat reformasi adalah menyiapkan regenerasi kepemimpinan nasional untuk pembangunan bangsa dan negara, yang diatur dalam TAP MPR,” katanya.
Menurut dia, terhambatnya regenerasi kepemimpinan nasional karena tokoh-tokoh yang sudah berada pada tingkatan elite pimpinan nasional sering lupa menyiapkan regenerasi kepemimpinan. Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI Perjuangan ini menambahkan, saat ini sudah waktunya para tokoh di tingkatan elite pimpinan nasional menyiapkan regenerasi dan memberikan kesempatan kepada tokoh yang lebih muda untuk siap melanjutkan estafet kepemimpinan nasional.
Ia menggambarkan, di perusahaan swasta saat ini para pemimpinnya umumnya generasi muda berusia sekitar 40 tahun hingga 50 tahun. Tetapi, di pemerintahan pimpinannya masih berusia tua, sehingga pola berpikirnya tidak sama.
Sementara itu, Akbar Tandjung mengatakan, penggunaan kata “Indonesia” tidak saja sekadar nama satu negara, tetapi juga untuk sebuah bangsa dengan latar belakang berbeda dengan tujuan yang sama, yakni solidaritas bagi kesamaan. Dalam perspektif pembangunan, menurutnya, keindonesian hendaknya dibangun terus-menerus untuk penguatan character building.
Era reformasi yang melahirkan banyak partai dan telah terjadinya perubahan konstitusi dasar sebanyak empat kali, menurut mantan Ketua DPR itu, masih menyisakan banyak hal yang perlu segera dikerjakan, khususnya bidang ekonomi.
Amanat Reformasi di bidang ekonomi seharusnya mampu mengurangi angka kemiskinan dan menghilangkan gap antara si kaya dan si miskin. “Keberhasilan reformasi di bidang ekonomi ditandai dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat,” ujarnya.
Demikian juga halnya dengan sistem politik yang telah berubah hingga memberikan kebebasan kepada masyarakat yang berekses pada konflik horizontal yang dipicu oleh perbedaan agama dan sikap yang tidak menghormati hukum.
“Terhadap semua itu, seperti soal ekonomi, sosial, dan politik, bahkan kebangsaan, negara sepertinya tidak bisa berbuat apa-apa,” kata mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar ini. Padahal, katanya, perilaku radikalisme itu sesungguhnya bukan watak Indonesia dengan filosofi Pancasila.
Nusron Wahid mengatakan, peringatan 94 tahun kebangkitan bangsa yang jatuh pada 20 Mei 2012 bersamaan pula dengan ditandainya peringatan reformasi saat ini memunculkan sebuah pertanyaan baru, apakah bangsa ini mampu bangkit dari keterpurukan saat ini. Ia berharap semua kalangan, termasuk pemegang kekuasaan, untuk melaksanakan amanat dan agenda reformasi di bidang politik, ekonomi, dan hukum dengan sebaik-baiknya dan bukan menodai bahkan mengkhianati perjuangan reformasi. “Dengan demikian, perjuangan reformasi menjadi tidak sia-sia,” tuturnya.
Sementara itu, anggota Fraksi PDI Perjuangan Arif Budimanta menegaskan, sistem perekonomian Indonesia harus lebih mengutamakan kepentingan nasional. Hal tersebut, guna memperbesar kontribusi dari sektor perekonomian terhadap pembangunan nasional.
Sebab, menurut dia, kebijakan ekonomi yang dijalankan pemerintah saat ini lebih condong pada kepentingan asing dibandingkan dengan mengedepankan pengusaha nasional, terutama di skala kecil dan menengah (UKM). Apalagi, sektor UKM memiliki andil besar dalam mewujudkan pembangunan nasional. (SuaraKarya-Online)