Trending

5 Prinsip dalam Pidato Presiden Soekarno di Hari Lahir Pancasila

NU CILACAP ONLINE – Artikel di bawah ini merupakan sambungan (bagian ke-2) Pidato Presiden Soekarno; Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1945 yang berisi 5 prinsip yaitu 1.Kebangsaan Indonesia, 2.Internasionalisme, – atau peri-kemanusiaan, 3.Mufakat, – atau demukrasi, 4.Kesejahteraan sosial, 5.Ketuhanan. Simak Video Pidato Presiden Soekarno.

Prinsip Pertama: Kebangsaan Indonesia

Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia.

Saya minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkanlah saya memakai perkataan “kebangsaan” ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara- saudara, janganlah saudara-saudara salah paham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia adalah dasar kebangsaan.

Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nasionalestaat, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit.

Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuanpun adalah orang Indonesia, nenek tuanpun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan, nenek-moyang tuanpun bangsa Indonesia.

Diatas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.

Satu Nationale Staat! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempoh sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?

Menurut Renan syarat bangsa adalah “kehendak akan bersatu”. Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu. Ernest Renan menyebut syarat bangsa: “le desir d’etre ensemble”, yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.

Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya “Die Nationalitatenfrage”, disitu ditanyakan: “Was ist eine Nation?” dan jawabnya adalah : “Eine Nation ist eine aus chiksals-gemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft”. Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib).

Tetapi kemarinpun, tatkala, kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan, maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata: “verouderd”, “sudah tua”. Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah “verouderd”, sudah tua.

Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.

Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Moenandar, mengatakan tentang “Persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!

Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan “Gemeinschaft”nya dan perasaan orangnya, “l’ame et desir”.

Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu, Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t membuat peta dunia, menyusun peta dunia.

Baca juga Pidato KH Dr (HC) Yahya Cholil Staquf, Naskah Lengkap

Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana”kesatuan-kesatuan” disitu. Seorang anak kecilpun, jukalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara 2 lautan yang besar, lautan Pacific dan lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu benua Asia dan benua Australia.

Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan. Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir Timur benua Asia sebagai”golfbreker” atau pengadang gelombang lautan Pacific, adalah satu kesatuan.

Anak kecilpun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh lautan Hindia yang luas dan gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan.

Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai kesatuan pula, Itu ditaruhkan oleh Allah s.w.t. demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan.

Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesadalah tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan uang ditunjuk oleh Allah s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita!

Baca juga Pancasila Memang Bukan Wahyu Ilahi, Namun Ia Fikrul Islami 

Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oeh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup “le desir d’etre ensembles”, tidak cukup definisi Otto Bauer “aus schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft” itu.

Maaf saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau, di antara bangsa di Indonesia, yang paling ada “desir d’entre ensemble”, adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2,5 milyun.

Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuaan, melainkan hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan! Penduduk Yogyapun adalah merasa “le desir d”etre ensemble”, tetapi Yogyapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan “le desir d’etre ensemble”, tetapi Sundapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan.

Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan “le desir d’etre ensemble” diatas daerah kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia adalah seluruh manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh s.w.t., tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatra sampai ke Irian! Seluruhnya!, karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada “le desir d’etre enemble”, sudah terjadi “Charaktergemeinschaft”! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, ummat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu!

(Tepuk tangan hebat).

Kesinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale staat, diatas kesatuan bumi Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan diatara tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan “golongan kebangsaan”. Kesinilah kita harus menuju semuanya.

Saudara-saudara, jangan orang mengira bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Sakssen adalah nationale staat, tetapi seluruh Jermanadalah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italadalah , yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang diutara dibatasi pegunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segi-tiga Indadalah nanti harus menjadi nationale staat.

Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka dijaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di jaman Sri Wijaya dan di zaman Majapahit. Di luar dari itu kita tidak mengalami nationale staat.

Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat.

Dengan persaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanoedin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.

Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri dijaman Sri Wijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia.

Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat.

Maaf, Tuan Lim Koen Hian, Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan fuku-Kaityoo, Tuan menjawab: “Saya tidak mau akan kebangsaan”.

TUAN LIM KOEN HIAN : Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.

TUAN SOEKARNO : Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena tuan Lim Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk paham kosmopolitisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa.

Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya “menschheid”, “peri kemanusiaan”. Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa ada kebangsaan Tionghoa!

Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah H.B.S. diSurabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, – katanya: jangan berpaham kebangsaan, tetapi berpahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 17.

Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, – adalah Dr SunYat Sen! Di dalam tulisannya “San Min Chu I” atau “The Three People’s Principles”, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh “The Three People”s Principles” itu.

Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat- sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, – sampai masuk kelobang kubur.

(Anggota-anggota Tionghoa bertepuk tangan).

Prinsip Kedua: Internasionalisme, atau peri-kemanusiaan

Saudara-saudara. Tetapi …….. tetapi memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya!

Bahayanya adalah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berpaham “Indonesia uber Alles”. Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini!

Gandhi berkata: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan “My nationalism is humanity”. Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropah, yang mengatakan “Deutschland uber Alles”, tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya, bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata biru, “bangsa Aria”, yang dianggapnya tertinggi diatas dunia, sedang bangsa lain-lain tidak ada harganya.

Jangan kita berdiri di atas azas demikian, Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesadalah yang terbagus dan termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.

Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principe yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan “internasionalime”.

Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya. Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme.

Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang pertama-tama saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain.

Prinsip Ketiga: Mufakat, atau demokrasi

Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu adalah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin syarat yang mutlak untuk kuatnya negara In-donesia adalah permusyawaratan perwakilan.

Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun, adalah orang Islam, — maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, — tetapi kalau saudara- saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam.

Dan hati Islam Bung karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.

Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi- kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam.

Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam disini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini.

Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100 orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam.

Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya diatas bibirsaja. Kita berkata, 90% dari pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang ini berapa % yang memberikan suaranya kepada Islam?

Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan.

Dalam perwakilan nanti ada perjoangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan-perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan paham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjoangan selamanya ada.

Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara islam dan saudara-saudara kristen bekerjalah sehebat- hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar suapaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia adalah orang kristen, itu adil, – fair play!

Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjoangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjoangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah subhanahuwa Ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar dari padanya beras, dan beras akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara, prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan

Prinsip Keempat: Kesejahteraan sosial

Priinsip No. 4 sekarang saya usulkan, Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan , prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu I adalah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy, sosialism.

Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya?

Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democracy. Tetapi tidakkah diEropah justru kaum kapitalis merajalela?

Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela?

Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, adalah oleh karena badan- badan perwakilan rakyat yang diadakan disana itu, sekedar menurut resepnya Franche Revolutie.

Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan democratie disana itu hanyalah politie-kedemocratie saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, tak ada keadilan sosial, tidak ada ekonomische democratie sama sekali.

Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang menggambarkan politieke democratie. “Di dalam Parlementaire Democratie, kata Jean Jaures, di dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap orang mempunyai hak sama.

Hak politiek yang sama, tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam parlement. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?”

Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi: “Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politiek itu, di dalam Parlement dapat menjatuhkan minister. Ia seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam paberik, – sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar keluar ke jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa”.

Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?

Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ecomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini.

Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimakksud dengan paham Ratu Adil, adalah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan dunia-baru yang di dalamnya a d a keadilan di bawah pimpinan Ratu Adil.

Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politiek, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.

Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan ma-syarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid.

Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama, saudara-saudara, di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan kepada negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarchie.

Apa sebab? Oleh karena monarchie “vooronderstelt erfelijkheid”, – turun-temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya meng-hendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih.

Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul mu’minin, harus dipilih oleh Rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagus Hadikoesoemo misalnya, menjadi kepala negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan automatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarchie itu.

Prinsip Kelima: Ketuhanan

Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4 prinsip:
1. Kebangsaan Indonesia.
2. Internasionalisme, – atau peri-kemanusiaan.
3. Mufakat, – atau demokrasi.
4. Kesejahteraan sosial.

Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.

Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan.

Hendaknya negara Indonesia adalah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!

Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.

(Tepuk tangan sebagian hadlirin).

Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, adalah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.

Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!

Disinilah, dalam pangkuan azas yang kelima inilah, saudara- saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula!

Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, disitulah tempatnya kita mempropagandakan idee kita masing-masing dengan cara yang berkebudayaan!

Bersambung ke Bagian-3; Pancasila dan Gotong Royong; Pidato Presiden Soekarno 1 Juni 1945

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button