Kesenian Ebeg Antara Hiburan dan Spiritualitas

NU Cilacap Online – Ebeg (Kuda Lumping) adalah kesenian rakyat khas banyumasan. Wilayah banyumasan meliputi kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara, kadang  juga Kebumen.

Banyak orang menyebut kawasan ini sebagai daerah ngapak, yakni daerah yang model dan gaya bahasanya ‘cablaka’ atau apa adanya, tanpa basa basi. Ini untuk membedakan dengan gaya bahasa model Mataraman.

Sebagai kesenian rakyat, maka sejarah awal mulanya ebeg tidak jelas, siapa penciptanya juga tidak jelas, karena sejarah sampai saat ini masih menjadi sejarah milik elit, milik penguasa.

Sementara, ebeg tumbuh dan berkembang bersama perkembangan rakyat. Ebeg adalah cara rakyat berkomunikasi dengan alam secara harmoni yang pada akhirnya sampai kepada Tuhannya.

Sejarah Ebeg Menurut Beberapa Versi

Ada banyak versi sejarah tentang ebeg, salah satunya  adalah bahwa ebeg mulai berkembang pada zaman Pangeran Diponegoro.

Ebeg merupakan tarian yang menjadi symbol dukungan rakyat kepada Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajahan Belanda.

Versi lain mengatakan bahwa ebeg telah ada jauh sebelum zaman Pangeran Diponegoro. Terlepas dari perdebatan tentang sejarah awal mulanya, yang pasti adalah bahwa ebeg sebagai kesenian rakyat bisa terus bertahan hingga kini. Dengan gempuran teknologi dan berbagai macam hiburan yang  lebih berkelas.

Di kabupaten Cilacap, beberapa sumber mengatakan bahwa terdapat sekitar 600 an kelompok kesenian ebeg. Sumber lain mengatakan ada 800 an kelompok kesenian ebeg yang tersebar dari Nusawungu di wilayah timur hingga Dayeuhluhur di wilayah barat.

Setiap kelompok kesenian ebeg terdiri dari sekitar 15 orang anggota, termasuk penarinya yang berjumlah 5-8 orang. Kalau menghitung jumlah desa dan kelurahan di kabupaten Cilacap yang jumlahnya 284 yakni 269 desa dan 15 kelurahan. Ini artinya bahwa hampir setiap desa dan kelurahan di kabupaten Cilacap terdapat rata-rata 3 kelompok kesenian ebeg.

Kalau data ini benar, maka sebetulnya kesenian ebeg layak menjadi ikon kabupaten Cilacap. Ebeg adalah lambang budaya Cilacap, lambang identitas Cilacap.

Rata rata kesenian ebeg menggunakan bahan baku bambu. Bambu ini untuk anyaman dan sedemikian rupa dengan hiasan  ijuk sebagai rambut dan lain-lainnya sehingga mirip seperti kuda.

Penarinya juga dihias dengan pakaian sedemikian rupa yang menyiratkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia. Kuda itu sendiri adalah lambang kegigihan dan keberanian yang pantang menyerah dalam mengarungi kehidupan.

Tarian dan Musik

Dalam setiap pertunjukan ebeg selalu diiringi dengan musik tradisional sederhana. Paduan musik, tarian, dan kuda-kudaan yang ditunggangi adalah kesatuan yang integral dan tidak dapat dipisah-pisahkan, sehingga tercipta harmoni.

Sebagai kesenian rakyat, ebeg biasa dipertontonkan mulai di lapangan, halaman rumah warga, dan lain-lain. Adapun untuk menampilan lakon tergantung kepada penanggung jawabnya, bisa berupa lakon kehidupan sehari-hari, cerita rakyat, lakon untuk sosialisasi berbagai kepentingan, lakon mitologi, bisa juga lakon berupa kritik sosial.

Lakon  ebeg itu sangat dinamis. Pertunjukan ebeg tidak hanya menghibur, tetapi juga mengandung makna sosial dan spiritual yang mendalam.

Lakon dalam Pertunjukan Ebeg

Salah satu lakon yang cukup menarik adalah Salah Kedaden. Secara etimologis, salah kedaden artinya salah yang sudah jadi.

Secaraa terminologis, salah kedaden adalah perilaku salah tetapi sudah kadung, ya sudah, akhirnya diteruskan. Kalau mau berhenti dan atau memperbaiki, maka diperlukan kebesaran jiwa dan effort yang sungguh-sungguh.

Lakon ini dapat dimaknai dengan berbagai tafsir, misalnya menggambarkan cerita tentang kehidupan manusia yang penuh dengan kesalahan dan kesulitan.

Lakon ini juga  sebagai bentuk kritik rakyat yang mencintai negaranya. Lakon ini menggambarkan pengelolaan negara yang sejak mula sudah diawali dengan sesuatu yang salah, tetapi terus saja dilanjutkan, sehingga kesalahannya merambah ke mana-mana (kedaden).

Bisa juga dimaknai sesuai dengan perspektif masing-masing. Tetapi pada intinya, semua lakon yang dipertontonkan di dalam pertunjukan ebeg adalah untuk menghibur yang memberikan makna positif untuk hidup yang lebih baik dan media penyampai pesan.

Ebeg Mendhem

Pada akhir atau puncak pertunjukan, penari ebeg akan mengalami apa yang disebut sebagai mendhem. Mendhem secara bahasa berarti mabok. Saya sengaja menggunakan tulisan mendhem, dengan tambahan huruf ‘h’, untuk membedakan dengan kata ‘mendem’ yang berarti memendam, misalnya ungkapan ‘memendam jenazah’.

Mendhem secara terminologis adalah suatu kondisi di mana seseorang merasakan ketiadaan (Fana dalam tasawuf), merasakan ekstase. Dalam bahasa tasawuf Islam, keadaan fana berarti hilangnya kesadaran diri dan bergantinya dengan sifat ketuhanan.

Fana juga bisa bermakna lenyapnya sifat-sifat tercela. Kondisi fana juga bermakna kesadaran diri bahwa semuanya itu tidak ada, kecuali Tuhan.

Tidak ada wujud yang bisa hadir tanpa-Nya. Dalam kondisi ini, seseorang merasakan dirinya dekat sekali dengan Tuhan. Sebegitu dekatnya dengan Tuhan, sehingga seperti tidak ada jarak, sehingga muncullah ungkapan dan konsep manungaling kawula lan Gusti.

Oleh karena itu, ketika penari ebeg sedang mendhem, dia bisa melakukan adegan-adegan ekstrim yang di luar logika, misalnya menyakiti diri sendiri, makan beling, kaca, jarum, mengupas kelapa dengan kekuatan giginya, lalu membelah kelapa itu dengan membenturkannya kepada kepalanya, dan lain-lain.

Dalam kondisi mendhem seperti ini, kesadaran dirinya hilang, dia sedang merasakan ekstase, merasakan nikmatnya berdekatan dengan Yang Maha Kuasa, merasakan dirinya melebur dalam diri Tuhan.

Inilah puncak pertunjukan ebeg yang semestinya. Spiritualitas dan makna magis ebeg terletak di sini. Sedemikian rupa sehingga kata ebeg dimaknai secara spiritual dan lebih mendalam sebagai “Eling Banget Eng Gusti”. Wallahu a’lamu Bisshawab (Fahrurrozi Wakil Ketua PCNU Cilacap )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button