NU Abad ke-2: Harus Relevan dan Punya Relevansi

NU CILACAP ONLINE – Memasuki abad ke-2, NU menjadi relavan dan punya relevansi pada perabadan membawa nama Islam berkontribusi pada perdamaian dunia. Hal ini menjadi mutlak dilakukan saat ini.

“Relevan dan punya relevansi memiliki sebuah interpretasi kata yang bebeda dalam sebuah gerakan organisasi. Relevan artinya ada suatu keterkaitan di antaranya. Sedangkan relevansi adalah upaya atau aktivitas untuk dapat bersama-sama sejalan atau sejajar dengan yang di antara tersebut”.

Menengok bagaimana vibrasi atau getaran yang menggugah semangat keagamaan dan kebangsaan. Semua itu, dirasakan atau tidak secara langsung. Terkait atau tak sama sekali memiliki keterkaitan.

Perayaan satu abad Nahdatul Ulama atau NU sebagai ormas islam besar di Indonesia. Dirasakan seremonialnya oleh berbagai pihak lapisan masyaraat, yang dilaksanakan perayaannya pada 7 februari 2023 lalu di Sidoarjo, Jawa Timur.

Keagamaan yang dipadukan dengan kebangsaan oleh NU dan juga “keagamaan” yang terpadukan dengan social-kebudayaan, saling mengikat satu sama lain dalam bingkai tradisi-tradisi yang sinkretis.

NU sendiri bahkan tak jarang juga menyentuh sisi-sisi humanitarian. Menjadi tonggak bagaimana perjuangan NU sampai saat ini membangun pondasi organisasi masyarakat yang berbasis keagamaan.

Karenanya semua itu tercermin dalam refleksi satu abad Nahdatul Ulama atau NU sebagai organisasi keagamaan Di mana kiprahnya dikenal moderat dalam membawa nama Islam sejak didirikan pada 31 Januari 1926 lalu oleh sang muasis Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari.

Namun di abad ke- 2 NU yang semakin dewasa dalam berorganisasi. Sejalan dengan itu di abad ke-2 ini? Bagaimanakah NU harus berkiprah dan membangun langkah-langkah organisasinya? Di mana NU yang sudah dewasa tersebut mengangkat organisasinya berpikir dan bergerak lebih jauh?

Baca artikel terkait Harlah NUCOM Ke-2: Modal Sosial NU Di Jagat Media

NU dan Tokoh Pembaharu

Nahdatul Ulama yang kental dengan tradisi Islam nusantara, yang mana sekat-sekat antara budaya dan agama tidak saling memisahkan atau dipisahkan satu sama lain sebagai upaya pergerakannya.

Tentu untuk memperakar tradisi agama kususnya ke-islaman itu lebih kuat dibutuhkan tokoh-tokoh yang memiliki ideologi mempuni terkait dengan agama dan kebudayaan di dalam organisasi NU.

Beragama dan merawat sebuah tradisi sebagai prodak kebudayaan, tidak dapat lepas dari peran pengetahuan akan kebudayaan itu sendiri. Yang mana berkembang sebagai sebuah tradisi kehidupan di dalam masyarakat untuk saling dirangkul dengan agama.

Roda-roda tradisi itulah sesuatu yang menggerakan, menguatkan, dan medekatkan satu sama lain. Praktisnya melengkapi apapun yang melekat bagi kehidupan manusia; termasuk menjadi beragama yang juga harus mampu melakukan praktik-praktik tradisi dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat .

KH Abrurahman Wahid atau Gus Dur adalah salah satu tokoh terbaik di NU yang pernah ada. Ia sekaligus sang pembaharu pemikiran NU menjadi modern dan inkulusif dengan kebudayaan yang berkembang sesuai dengan zamannya.

Gus Dur pernah berkata bahwa dalam konteks beragama salah satunya islam, yang menjadi basis masa terbesar mengakar sebagai bangunan agama mayoritas di indonesia.

“Islam itu sendiri timbul dari basis kebudayaan. Jika itu dihilangkan kemungkinan ada dua. Pertama kebudayaan akan mati, kedua Islam akan hancur”

Pesan Gus Dur tersebut secara tersirat tidak hanya untuk generasi NU. Siapapun yang beragama harus menjadi pemikir yang sehat. Bagaimana “beragama” sendiri berpegang pada nilai-nilai kebudayaan dan tradisi. Sekiranya itulah yang dilakukan oleh Gus Dur sebagai daya pergerakannya.

Sebab selain sebagai seorang Ulama yang besar. Politikus yang handal sampai titik tertinggi menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke- 4.

Gus Dur sendiri meski kental dengan tokoh Islam khususnya berlatar belakang NU yang di sandangnya, ia berhasil menorehkan pesan-pesan demokrasi yang mendasar bagi masyarakat Indonesia melalui prularitas, toleransi, dan humanisme.

Yang mana antara berbangsa dan bernegara tidak ada sekat-sekat yang membatasi termasuk identitas keagamaan yang ada di dalam masyarakat indonesia.

Dalam perspektif beragama bagi Gus Dur penting merawat kebudayaan seperti dijelaskan dalam kata-katanya bahwa; “Basis berbudaya dalam beragama itu sangat penting. Sebaliknya jika antara agama dan budaya tidak dipadukan, keduanya akan sama-sama binasa”.

Itulah yang menjadi titik perjuangan seorang Gus Dur. Tokoh komplit yang pernah hidup sampai titik puncak, apa yang menjadi garis perjuangan hidupnya. Sekaligus menjadi tokoh rujukan menjadi NU yang modern bagi generasi muda NU.

Di bidang politik-demokrasi, keberagamaan, Gus Dur juga tokoh ulama toleran yang besar pengaruhnya. Gus Dur tidak hanya di cintai dari kalangan islam tetapi juga agama lain di Indonesia melalui pesan-pesan kemanusiaannya.

Untuk itu Nahdatul Ulama (NU) sebagai rumah besar Islam di Indonesia bahkan dunia, haruslah menjadi rumah bagi semua manusia yang inklusif dan moderat. Berkontribusi membangun peradaban yang damai di dunia membawa nama Islam.

Sebab di sisi lain agama merupakan budaya. Sempalan dari keyakinan atau spiritual manusia. Agama juga disisi sebelahnya merupakan citra keberadaban kemanuisaan dengan pengetahuan yang disebut dengan keilahian itu.

NU Harus Tetap Relevan

Maka, NU menjadi relavan dan punya relevansi pada perabadan membawa nama islam berkontribusi pada perdamaian dunia. Sudah mutlak dilakukan sebagai gerakan oleh NU di abad ke-2 ini.

Tentu sebagaimana NU yang lebih dewasa kini, khidmah NU bukan lagi atas nama Negara atau atas nama bangsa maupun golongan. Tetapi gerakan NU sudah harus atas nama kemanusiaan dan peradaban dunia.

Inisiasi atas diselenggaraknya Muktamar Internasional Fikih Peradaban I yang digelar sehari sebelum acara puncak Resepsi Satu Abad NU, di Surabaya, Senin (6/2/2023) dan dihadiri ratusan ulama dunia, serta dibuka secara resmi oleh Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amin.

Hasil Piagam rekomendasi Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I disebutkan oleh KH Mustofa Bisri atau Gus Mus bahwa cita-cita mendirikan kembali negara khilafah yang dianggap bisa menyatukan umat Islam sedunia.

Namun dalam hubungan berhadap-hadapan dengan non muslim. Bukanlah hal yang pantas diusahakan dan dijadikan sebagai sebuah aspirasi; merupakan langkah yang sangat tepat di usung oleh NU di abad ke-2, di mana dalam perdamaian dunia NU juga mendukung perserikatan bangsa-bangsa atau PBB.

Identitas yang sudah selesai menjadi perjuangan NU di abad ke-2. Pekerjaan NU kini adalah bagaimana medigdayaakan umat untuk menjadi relevan dan punya relevansi pada peradaban di era diserupsi abad ke-21.

Sebab usia yang semakin dewasa, telah mencapai satu abad menjadi tonggak NU harus tetap solid di semua tingkatan. Tentu baik secara organisasi maupun paham keagamaannya yang moderat; ramah pada perubahan jaman.

Artinya ketika NU dari dalam organisasi itu kuat. Gerakan apapun yang dilakukan oleh NU dapat efektif berjalan. Begitu juga ketika ramah pada perubahan jaman. Sampai kapanpun organisasi itu akan terus relevan termasuk NU.

Menjadi relevan dan punya relevansi bagi NU pada peradaban dan perubahan zaman juga disampikan oleh Presiden Joko Widodo memperingati harlah NU satu abad bahwa;

“Lembaga pendidikan di NU supaya mempersiapkan nahdliyin muda yang menguasai iptek terbaru, menguasai teknologi digital yang berkembang pesat, dan mampu menjadi profesional unggul” .

Oleh karena itu kembali memaknai; “Satu abad Nahdatul Ulama”. Tentunya NU harus  tetap menjadi organisasi yang relevan disetiap jaman. Yang juga berarti harus tanpa takut. Berani mengambil peran pada setiap perubahan jaman yang ada. Supaya kedepan NU tetap relevan dan punya relevansi pada peradaban yang selalu mengikuti dan berkontribusi pada setiap bentuk kemajuan zaman. (Toto Priyono)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button