Mengapa NU Sulit Kompak? Ini Alasannya
NU CILACAP ONLINE – Masyarakat grass root NU mungkin sering bertanya-tanya, mengapa sih NU sulit kompak?
Para elit mungkin bisa menjawab bahwa itu hanyalah perbedaan, yang biasa dan lumrah terjadi di kalangan NU, bahkan para ulama dan sahabat di masa lalu.
Ini sesuai dengan bunyi hadist, al ikhtilafu ummatii rahmah. Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmah.
Tetapi tentu penyikapan perbedaan itu tidak semudah teori. Kenyataannya di masa lalu, pada generasi yang dikatakan terbaik dari kaum muslimin, perbedaan itu menjadi perpecahan.
Contoh, kasus terbunuhnya Usman Bin Affan, perang Jamal Ali vs Siti Aisyah, dan perang Shiffin antara Ali vs Muawiyah.
Demikian juga di NU. Sulit membedakan mana perbedaan dan mana perpecahan. Keduanya tetap menunjukkan bahwa NU sulit menjadi organisasi yang solid.
Gus Dur pernah ditinggalkan oleh Kiai As’ad Syamsul Arifin. Kiai As’ad adalah junior Kiai Hasyim, kakek Gus Dur, di Pesantrennya Kiai Kholil.
Kiai As’ad figur yang kharismatik, dan banyak umatnya yang berkhidmat ke NU. Sehingga mufaroqohnya Kiai As’ad terhadap Gus Dur, Ketum PBNU, tentu membawa dampak polaritas di NU.
Gus Dur sebelumnya adalah inisiator dan mediator bersatunya NU kubu Cipete di bawah komando Kiai Idam Kholid, dan kubu Situbondo, di bawah komando Kiai As’ad dan Kiai Ali Maksum.
Melalui Muktamar Situbondo inilah, ( 1984 ) Gus Dur, Mahbub Junaedi, Slamet Effendi dan Ghaffar Rahman, menyatukan kubu2 NU yang terbelah. Namun setelah itu, Gus Dur pecah kongsi lagi dengan Kiai As’ad. Dan belakangan dengan Kiai Maumoen Zubair.
Cerita dan fakta perpecahan di NU itu banyak. Semua menunjukkan etos organisasi yang lemah, dikarenakan ego pribadi dan kelompok.
Kita masih ingat kasus Gus Dur dan Abu Hasan, serta Kiai Hamid Baidlowi Lasem. Itu adalah ekses Muktamar Cipasung yang menandakan bahwa perbedaan tidak bisa diselesaikan melalui mekanisme organisasi, sehingga NU mudah diintervensi oleh kekuatan luar.
Ada Kiai Besar di Jawa, bagaimana dia secara personal menyerang Gus Dur, Kiai Said Aqil, Gus Yahya, dengan tuduhan sebagai Syiah. Dan Kiai itu punya santri ribuan. Tentu banyak yang teroengaruh oleh pandangan beliau ini.
Kiai Idrus Romli, setelah kalah dari Kiai Said dalam pemilihan Ketum PBNU, bersama beberapa kelompok barisan sakit hati, membentuk NU garis lurus.
Ada juga di situ Buya Yahya dan Ustadz Abdul Somad. Semua itu tak terakomodasi dalam mekanisme organisasi.
Di internal NU sendiri, fragmentasi-fragmentasi itu mudah tercipta. Apalagi di antara orang NU yang di NU, dan orang NU yang di partai politik, tentu lebih sulit lagi disatukan. Jargon NU tidak kemana mana, tetapi ada di mana mana, hanyalah sebuah retorika saja. Mengapa NU demikian?
Baca juga Tulisan Nahdlatul Ulama yang Benar, Ikhtiar Mengulik Kata
Kultur feodal-patternalistik
NU masih menunjukkan watak jamaah, belum menjadi jam’yyah. Apalagi menunjukan profile sebuah jam’iyyah modern.
Kultur feodal-patternalistik sangat kuat di NU. Keberadaan Kiai-Kiai sebagai “Raja” di pesantren, sulit untuk melebur dalam kekuatan nasional jam’iyyah.
Alih-alih melebur, dalam taraf tertentu justru melawan. Kekuatan-kekuatan lokal ini merasa mempunyai otoritas tersendiri di wilayahnya. Bahkan cenderung ingin menampakan kekuatannya sendiri, sulit tunduk kepada aturan organisasi.
Satu contoh kasus, pernah terjadi, ketika PBNU menetapkan jatuhnya Hari Raya Idul Fitri. Beberapa wilayah di Jatim, justru menetapkan hari yang berbeda dengan PBNU.
Ego individu dan kelompok masih kuat di NU. Belum lagi sentimen-sentimen individual, rebut pengaruh,dan adu kekuatan massa.
Dalam level tertentu, bahkan NU kadang masih seperti kerumunan yang bersifat emosional.
Masih bertumpu kepada kharisma figur
NU masih bertumpu kepada kharisma figur, kewibawaan dan kadang kekuatan magis, karomah, yang irrasional.
Padahal jam’iyyah itu bersifat rasional. Pengelolaan organisasi itu berdasarkan ilmu.
Vertical oriented ini sangat menghambat pembangunan jam’iyyah. Dan genk kelompok ini sangat kuat menguasai jam’iyyah.
Bagaimana mungkin sebuah jam’iyah di bangun di atas pondasi di mana pengaruh personal sangat kuat, dan saling beradu di dalamnya. Ini jelas potensi konflik yang laten.
Baca juga NU, Antara Tradisionalisme Dan Modernisme
Modernisasi organisasi lamban
Modernisasi organisasi di NU ternyata berjalan lamban. Karakteristik kultur pesantren sulit dihilangkan. Sebab doktrin ” sami’na wa atho’na” terus diinjeksikan secara dari generasi santri yang satu kepada generasi santri yang lain, padahal jaman telah berubah.
Kekuatan-kekuatan lokal terus bertambah. Selalu lahir figur-figur kharismatik yang membawa pengaruh besar secara lokal. Maka NU sulit untuk satu komando.
Komitmen Untuk Organisasi kurang kuat
Berbeda dengan Muhammadiyah. Ketika seseorang telah masuk jam’iyyah, maka kepentingan individu dan kelompok, ditangguhkan atau dihilangkan.
Mereka bekerja untuk organisasi. Komitmen kepada organisasi harus kuat. Hal ini menyebabkan Muhammadiyah maju. Amal usaha Muhammadiyah lancar.
Setiap keputusan organisasi dari pusat, dilaksanakan sampai ke bawah, tidak tambah dan tidak kurang.
Di dalam jam’iyyah, tidak ada celah demokrasi, apalagi perlawanan. Semua kekuatan melebur dalam jam’iyyah, sehingga masing-masing itu saling menguatkan. Doktrin, jangan mencari hidup di Muhammadiyah, tapi hidup hidupilah Muhammadiyah, benar-benar menjadi kenyataan.
Baca juga Sejarah Fatayat Nahdlatul Ulama (Fatayat NU)
Tidak ada tokoh kharismatik di Muhammadiyah. Yang kharismatik adalah aturan dan rule of game organisasi yang harus ditaati.
Itulah beberapa hal yang menjadi agenda besar NU. Kurikulum pesantren, sebagai strarting point pendidikan kader NU harus dielaborasi. Ekonomi umat harus ditingkatkan, sesuai dengan basic umum mata pencaharian orang NU.
Kemiskinan struktural dan kultural adalah hal rawan menghadapi godaan, termasuk godaan uang di tahun politik.
Mentalitas ini harus diubah. Sistem pengkaderan harus kembali di evaluasi, mengapa ketaatan kepada organisasi dan pimpinan, tidak bertambah.
Bahkan dalam hal-hal politik, bisa berjalan sendiri-sendiri. Fatsun ” malu’, ketika berorganisasi, tetapi tidak taat kepada organisasi dan pemimpinnya, kenapa tak ada lagi.
Seolah kewibawaan individual kembali dimainkan dalam wadah yang seharusnya, semuanya melebur menjadi unity dan union. Ini sangat mengherankan.
Cilacap, 09-07-24
Toufik Imtihani