Demokrasi dan Nilai-nilai Profetik
NU CILACAP ONLINE – Dari Nabi Muhammad SAW, umat Islam dapat mengadopsi sifat-sifat profetik dan demokrasi Beliau, untuk diterapkan dalam memilih pemimpin. Dan bagi pemimpin terpilih, bisa mempraktekkan. Terlebih di bulan politik menjelang Pilkada saat ini.
Kita sebagai warga Cilacap, dapat berbangga bahwa demokrasi di Cilacap, selangkah dua langkah lebih maju dibanding daerah lain, khususnya wilayah Barlingmascapkeb.
Hal ini dibuktikan bahwa dalam pesta demokrasi Pilkada langsung 2024_ Cilacap diikuti oleh 4 pasang calon. Bandingkan dengan Banyumas, 1 pasang. Kebumen, Purbalingga dan Banjarnegara masing- masing 2 pasang calon. Meskipun itu bukan satu-satunya variabel demokrasi, tetapi setidaknya hal itu menunjukan bentuk partisipasi politik yang tinggi.
Yang kedua, adanya empat pasang calon, terutama calon bupati, menunjukan bahwa kader pemimpin di Cilacap itu melimpah. Stok pemimpin dan regenerasi sangat baik.
Ketiga, munculnya figur-figur pemberani. Pilkada adalah pertarungan politik yang tidak mudah. Para calon membutuhkan pasukan yang banyak, serta dana yang tidak sedikit.
Perlu perhitungan yang cermat. Toh di Cilacap, pertarungan itu ibarat sebuah sayembara, yang hanya bisa diikuti oleh orang-orang yang pemberani. Keberanian ini mungkin dipengaruhi oleh budaya pesisir dengan karakter yang keras dan kuat.
Baca juga Demokrasi Dan Kekerasan
Kontradiksi demokrasi
Dari sini saya melihat adanya kontradiksi demokrasi. Mengutip Denis Cavanagh, dalam buku Pergeseran-pergeseran Politik dalam Masyarakat, yang disitu ada korelasi signifikan antara tingkat pendidikan dan tingkat partisipatif.
Berarti dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan warga Cilacap sudah cukup tinggi dibanding daerah lain?
Banyumas mempunyai Purwokerto, yang disebut kota pendidikan. Tetapi dalam Pikkada besok hanya satu pasang. Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, bahkan Pilgub Jawa Tengah, calonnya hanya dua pasang.
DKI dan Jatim, tiga pasang. Cilacap mungkin termasuk yang terbanyak. Ini variabel yang dapat menunjukan tingkat partisipasi dalam demokrasi, bukan?
Agama dan kepemimpinan
Memilih seorang pemimpin, disyareatkan dalam agama. Dalam sebuah hadist pun disebutkan bahwa tiga orang yang berjalan menuju suatu tujuan, pun harus menunjuk seorang pemimpin.
Apalagi sebuah daerah, sebuah negara, tentu membutuhkan seorang pemimpin. Bagaimana seorang pemimpin itu dipilih, sesuai konteks jaman, tempat dan kebutuhan.
Baca juga Kader Fatayat NU Harus Paham Politik Kebangsaan
Yang tidak kalah penting, yaitu kesepakatan, atau ijma’, mufakat dari seluruh rakyat. Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, dipilih dengan cara yang berbeda. Ada monarkhi, khilafah, demokrasi, itu juga masalah kebutuhan jaman.
Begitu pentingnya pemimpin,, sampai Imam Mawardi Al Ahkam as Sulthoniyah, mengatakan bahwa pemerintahan yang otoriter itu lebih baik daripada tanpa pemerintahan.
Negara kita adalah negara nasional modern. Kita telah sepakat memilih bentuk demokrasi dalam memilih pemimpin. Termasuk dalam memilih pemimpin daerah.
Di masa lalu, kita menggunakan sistem perwakilan. Namun saat ini kita memilih pemimpin dengan cara langsung.
Baca juga Refleksi Tahun 2020 & Taushiyah Kebangsaan NU Tahun 2021
Kelemahan pemilihan langsung salah satunya adalah, rakyat tidak terbiasa memilih pemimpin dengan baik, karena secara demokratis, belum siap benar.
Hal itu kemudian menyebabkan residu politik uang dan yang sejenisnya. Dengan politik uang itu artinya, suara rakyat telah terbeli.
Bagi pemimpin terpilih, karena sudah merasa membeli suara rakyat, maka tanggung jawab moral pembangunan menjadi rendah.
Pada sisi lain, biaya politik yang mahal, menyebabkan pemimpin terpilih terjebak pada balas budi dan bisa jadi, hutang piutang.
Maka kekuasaan akan dibagi-bagi. Uang rakyat dikorupsi agar para bandar dan pemimpin terpilih itu sendiri balik modal.
Oleh karena itu, penting bagi rakyat pemilih, untuk menjadikan norma agama sebagai panduan.
Bagaimanapun, mereka adalah pemimpin bagi dirinya sendiri dalam apapun, termasuk dalam memilih pemimpin.
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Tiap kamu adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawabannya ( HR. Bukhari).
Jadi bukan masalah sepele dalam memilih pemimpin. Ada pertanggungjawaban di dunia, juga di akherat.
Salah-salah kita, dan dengan cara salah kita dalam memilih pemimpin, maka akan menyebabkan keburukan di dunia dan juga di akherat.
Nabi Muhammad SAW, bagi umat Islam, Isa bagi umat Nasrani, atau Musa bagi Bani Israil, adalah pemimpin yang memancarkan teladan yang baik, dan semuanya membawa misi profetik kenabian.
Dari Nabi Muhammad SAW, umat Islam dapat mengadopsi sifat-sifat profetik Beliau, untuk diterapkan dalam memilih pemimpin. Dan bagi pemimpin terpilih, bisa dipraktekan.
Nilai-nilai ini penting dalam Pilkada. Rakyat hendaknya memilih pemimpin yang diyakini akan membawa kebaikan, bukan karena ada uang riswah atau suap menyuap.
Sifat-sifat profetik yang dapat dijadikan pedoman dalam memilih pemimpin adalah: Fatonah, siddiq, amanah, tabligh.
Fatonah adalah, seorang pemimpin harus pintar, cerdas. Cerdas dalam berbagai hal, termasuk merumuskan konsep dan strategi pembangunan. Memetakan masalah yang dihadapi daerah
Siddiq, artinya benar. Seorang pemimpin harus selalu berusaha benar, berpijak pada idiologi dan konstitusi negara, norma-norma agama, sosial budaya, dan hukum serta perundanga-undangan yang berlaku. Seorang pemimpin tidak boleh sekarepe dewek, semaunya sendiri atau sewenang-wenang.
Pemimpin adalah mandataris rakyat. Pemimpin itu pelayan, bukan raja yang harus dilayani. Rakyat memberikan mandat kepada seorang pemimpin, agar pemimpin dapat membangun kesejahteraan rakyat.
Dalam qoidah disebutkan, al imamu khodimul jamaah, pemimpin adalah pelayan bagi yang mengikutinya (rakyat). Maka dalam konteks ini, pemimpin harus bersifat amanah.
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا
Sesungguhnya Alloh menyuruh kamu untuk menyampaikan amanah kepada ahlinya (An nisa:58).
Sifat profetik yang terakhir adalah tabligh, atau menyampaikan. Seorang pemimpin harus komunikatif dalam menyampaikan kebijakan, ide-ide gagasan dan program pembangunan kepada rakyatnya (secara top down).
Pemimpin juga harus menyerap aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, keinginan, dan masalah-masalah yang mereka hadapi (secara button up).
Seorang pemimpin itu harus komunikatif dengan semua kalangan, humbel. Seorang pemimpin harus manjing ajur ajer.
Sifat dan sikap ini bisa untuk menghindari miskomunikasi, misinterpretasi, dan berbagai persoalan psikologis yang menghambat hubungan pemerintah, pemimpin, dengan yang dipimpin.
Demokrasi itu sendiri, merupakan bentuk kerjasama yang sinergis antara pemerintah dan rakyat. Rakyat dan pemerintah juga tidak bisa berjalan sendiri-sendiri dalam menentukan jalannya pembangunan di daerah.
Pemimpin adalah cermin yang dipimpin. Jika pemimpin yang terpilih adalah buruk, pada dasarnya itu adalah cermin para pemilih, karena mereka memilih pemimpin dengan cara yang buruk pula.
Semoga Cilacap cerdas dalam memilih.
Pojok Cilacap, 11 September 2024
Toufik Imtikhani