Konflik Israel Dengan Palestina, Catatan Dalam Satu Abad

NU Cilacap Online – Akar masalah Konflik Israel dengan Palestina yang mengundang tragedi kemanusiaan hingga kini, dapat ditengok dari kilasan sejarah maupun catatan jurnalis dari masa ke masa, hal ini kami tengahkan kilasan peristiwa dan perbagiannya sebagai catatan dalam satu abad.
Catatan merupakan formulasi simpulan dari kisah yang sama yang dilansir media baik dalam dan luar negeri. Berikut terkait akar masalah Konflik Israel dengan Palestina yang bisa dilacak hingga seratus tahun ke belakang.
Kebangkitan Zionisme
Melansir History, Negeri Israel bermula dan berakar dari gerakan Zionisme, yang lahir pada akhir abad XIX di kalangan Yahudi yang tinggal di wilayah Kekaisaran Rusia.
Pada waktu itu, kaum Yahudi di Kekaisaran Rusia mendambakan berdirinya sebuah negara Yahudi, di mana mereka bisa tinggal dengan damai tanpa persekusi.
Pada 1896, Theodor Herzl, seorang jurnalis Yahudi-Austria merilis pamflet berjudul “Negara Yahudi”, yang menyebutkan bahwa berdirinya negara Yahudi adalah satu-satunya cara untuk melindungi kaum Yahudi dari persekusi dan anti-Semitisme.
Herzl kemudian menjadi pemimpin gerakan Zionisme, dan menggelar Kongres Zionis pertama di Swiss pada 1897.
Deklarasi Balfour
Melansir Al Jazeera, pada awalnya Kongres Zionis tidak langsung memilih Palestina sebagai lokasi berdirinya Negara Yahudi.
Sejumlah lokasi sempat dipertimbangkan, seperti Uganda dan Argentina, namun kaum Zionis akhirnya memilih Palestina, berdasarkan keyakinan bahwa tanah tersebut adalah Tanah Suci yang dijanjikan bagi bangsa Yahudi oleh Tuhan.
Pasca-keruntuhan Kesultanan Ottoman (1914), Kerajaan Inggris mengambil alih kekuasaan atas tanah Palestina, sebagai bagian dari perjanjian Sykes-Picot (1916).
Baca juga Ketua PBNU, Dukungan NU untuk Palestina Tak Berubah
Perjanjian tersebut merupakan kesepakatan antara imperium Inggris dan Perancis, yang sepakat untuk membagi wilayah Timur Tengah berdasarkan kepentingan mereka.
Pada 1917, sebelum dimulainya Mandat Inggris (1920-1947) atas Palestina, Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour. Melalui deklarasi tersebut, Inggris berjanji akan memberikan sebuah “rumah” bagi kaum Yahudi di tanah Palestina.
Imigran Yahudi memasuki Palestina
Kota Yerusalem, dianggap kota suci dan diperebutkan Palestina dan Israel. Mulai 1919, dengan dibantu Inggris, gelombang demi gelombang imigran Yahudi mulai memasuki tanah Palestina.
Antara 1922 dan 1935, populasi Yahudi di Palestina meningkat dari semula 9 persen menjadi hampir 27 persen dari total populasi.
Sebelumnya, pada 1880 sudah ada komunitas Yahudi yang tinggal di Palestina. Mereka dikenal dengan sebutan Yishnuv, dan menyumbang tiga persen dari total populasi Palestina. Berkebalikan dengan kaum Yahudi Zionis yang masuk ke Palestina, kaum Yahudi Yishnuv tidak pernah menginginkan berdirinya negara Yahudi di Palestina.
Di sisi lain, jumlah imigran Yahudi yang memasuki Palestina kian bertambah, setelah Nazi pimpinan Adolf Hitler mengambil alih Jerman, dan memulai kebijakan anti-Semitisme. Antara 1933 dan 1936, sekitar 30.000 hingga 60.000 kaum Yahudi Eropa tercatat memasuki Palestina.
Baca juga 9 Rekomendasi Muktamar ke-33 NU Untuk Kemerdekaan Palestina
Terus bertambahnya kaum Yahudi yang memasuki Palestina, membuat warga Palestina pada tahun 1936 melancarkan pemberontakan terhadap Inggris yang mendukung terciptanya koloni Zionis di Tanah Air mereka.
Inggris menghancurkan pemberontakan yang berlangsung hingga 1939 itu. Mereka menghancurkan sedikitnya 2.000 rumah warga Palestina, dan memasukkan 9.000 warga Palestina ke kamp konsentrasi, di mana mereka diinterogasi dan disiksa. Pada akhir pemberontakan itu, sedikitnya 10 persen populasi pria Palestina telah terbunuh, terluka, diasingkan, atau dipenjara.
Palestina dibagi dua
Pasca-pemberontakan itu, pemerintah Inggris, khawatir akan meletusnya kekerasan antara Palestina dan Zionis. Inggris kemudian mencoba membatasi imigrasi kaum Yahudi Eropa menuju Palestina.
Pada 1944, beberapa kelompok bersenjata Zionis menyatakan perang terhadap Inggris karena mencoba membatasi imigrasi Yahudi ke Palestina, sedangkan saat itu kaum Yahudi tengah mencoba melarikan diri dari Holocaust.
Organisasi paramiliter Zionis melancarkan sejumlah serangan terhadap Inggris. Serangan paling terkenal adalah pemboman King David Hotel pada 1946, yang menewaskan 91 orang.
Pada awal 1947, pemerintah Inggris akhirnya mengakui bahwa mereka telah melakukan kesalahan dalam menangani permasalahan di Palestina. Inggris kemudian menyerahkan masalah Palestina kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan mengakhiri proyek kolonialnya di sana.
Pada 29 November 1947, PBB mengadopsi Resolusi 181, yang merekomendasikan pembagian Palestina menjadi dua negara, yakni negara Yahudi dan Palestina.
Saat itu, kaum Yahudi di Palestina merupakan sepertiga dari populasi dan memiliki kurang dari enam persen dari total luas tanah. Namun, di bawah rencana pembagian PBB, mereka dialokasikan 55 persen dari tanah, meliputi banyak kota utama dan garis pantai penting dari Haifa ke Jaffa.
Pembagian yang tidak seimbang itu membuat bangsa Palestina menolak proposal dari PBB. Tidak lama setelah pengadopsian Resolusi 181 oleh PBB, pecah perang antara bangsa Palestina dengan kaum Zionis Israel.
Baca Artikel Terkait
- Negara Mana Saja Yang Tidak Mengakui Kemerdekaan Palestina?
- PBNU Serukan Hentikan Agresi Militer Israel di Palestina
Berdirinya negara Israel
Melansir History, pada 14 Mei 1948, di Tel Aviv, Ketua Badan Yahudi David Ben-Gurion memproklamasikan berdirinya Negara Israel. Dalam proklamasi itu, Ben-Gurion juga menjadi perdana menteri pertama Israel.
Pada saat bersamaan, gemuruh senjata terdengar dari pertempuran yang pecah antara Zionis Israel dengan bangsa Palestina yang dibantu negara-negara Arab. Menyusul proklamasi itu, gabungan negara-negara Arab mulai dari Mesir, Yordania, Suriah, Lebanon, dan Irak, menggempur Zionis Israel.
Meski demikian, pasukan paramiliter Zionis Israel yang telah dilatih oleh militer Inggris, serta berpartisipasi dalam Perang Dunia II, mampu membuktikan ketangguhannya. Pada 1949, gencatan senjata dengan mediasi PBB membuat Negara Israel memiliki kendali permanen atas wilayah yang ditaklukkan itu.
Selama perang, ratusan ribu bangsa Palestina meninggalkan Tanah Air mereka karena upaya pembersihan etnis yang dilakukan kaum Zionis Israel. Dalam upaya untuk merebut kembali Palestina, pada 1967, gabungan negara-negara Arab kembali menyerang Israel.
Namun, dalam perang yang terkenal dengan sebutan Perang Enam Hari itu, Israel justru berhasil memperluas wilayahnya dengan mencaplok wilayah Yordania, Mesir, Suriah, Kota Tua Yerusalem, Semenanjung Sinai, Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Dataran Tinggi Golan.
Pada 1979, Israel dan Mesir menandatangani perjanjian perdamaian bersejarah, di mana Israel mengembalikan Sinai dengan imbalan pengakuan dan perdamaian Mesir.
Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) kemudian menandatangani perjanjian perdamaian besar pada tahun 1993, yang menyepakati berdirinya pemerintahan Palestina secara bertahap di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Namun, proses perdamaian Israel-Palestina berjalan lambat, dan pada tahun 2000 hingga sekarang, pertempuran demi pertempuran terus terjadi di Palestina, dan Konflik Israel dengan Palestina tak kunjung terselesaikan.
Baca juga Pernyataan Sikap PBNU tentang Israel Palestina 2023