Pandangan NU Tentang Kriteria Awal Waktu Subuh Di Indonesia

NU CILACAP ONLINE – Bagaimana pandangan NU Tentang Kriteria Awal Waktu Subuh Di Indonesia, apakah perlu berubah, atau tetap? Berikut ini nukilan Pandangan Nahdlatul Ulama Tentang Kriteria Awal Waktu Subuh Di Indonesia.

Kriteria awal waktu Subuh di Indonesia tidak perlu berubah dan tetap merujuk ke kriteria yang dipedomani Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Agama RI. Yakni pada tinggi Matahari negatif 20 atau -20 di bawah ufuk timur, atau dalam istilah ilmu falak sebagai sudut depresi Matahari 20.

Demikian pandangan Nahdlatul Ulama melalui Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama setelah melaksanakan kajian berkesinambungan dengan melibatkan para peneliti berkompeten di bidangnya.

Kriteria awal waktu Subuh dengan nilai tinggi Matahari negatif 20 atau -20 tetap digunakan karena telah memiliki landasan ilmu fiqih dan ilmu falak yang kuat. Nilai tinggi Matahari demikian sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW, para sahabat, para tabi ‘in, para tabi’it tabi’in, shalafus shalih dan pengamatan cahaya fajar shadiq Nilai tinggi Matahari tersebut juga sesuai data hasil terkini.

Dengan hasil kajian mendalam ini maka Umat Islam di Indonesia khususnya warga Nahdlatul Ulama dapat menjalankan ibadah shalat Subuh dan puasanya dengan lebih tenang dan nyaman.

Warga Nahdlatul Ulama agar tetap berpedoman pada jadwal waktu shalat dan jadwal imsakiyah Ramadhan sesuai yang disusun Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU). Warga Nahdlatul Ulama juga tidak perlu risau dalam menyikapi kondisi terkini dengan mulai terjadinya perbedaan dalam mengumandangkan adzan Subuh di Indonesia.

“Dengan kajian ini maka awal waktu Subuh dan juga awal puasa di Indonesia yang selama ini kita pedomani memang memiliki landasan yang kukuh Baik dalam ilmu fiqih maupun ilmu falak. Bahwa dalam realitas terkini Indonesia mulai terdapat perbedaan pendapat dalam awal waktu Subuh, itu harus kita hormati dan hargai. Perbedaan tersebut serupa dengan perbedaan penentuan awal Ramadhan dan dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha).” (Drs KH Sirril Wafa, MA. Ketua Lembaga Falakiyah PBNU).

Kajian formal tentang cahaya fajar dan awal waktu Subuh di Indonesia telah digelar Lembaga Falakiyah PBNU secara berturut-turut dalam 8 bulan sejak Syawwal 1441 H (Juni 2020) hingga Jumadal Akhirah 1442 H (Februari 2021).

Hasil kajian telah dilaporkan kepada Ketua Umum PBNU melalui surat bernomor 017/LE-PBNU/1V/2021 dengan tembusan kepada jajaran Lembaga Falakiyah di tingkat PWNU/ PCNU serta kepada pondok pesantren falakiyah dan perukyah falak Nahdlatul Ulama.

Kajian ini melibatkan para peneliti Nahdlatul Ulama di bidang ilmu falak dan ilmu fiqih yang telah menggeluti topik cahaya fajar di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir. Beberapa di antara peneliti ilmu falak tersebut adalah pionir dalam penelitian di bidang ini.

Sebut saja misalnya Dr. Nihayatur Rohmah, yang telah menelitinya sejak 2010 dan termasuk salah satu ahli falak perempuan pertama di Indonesia. Beberapa peneliti juga menjadikan penelitian cahaya fajar sebagai topik dalam menyusun karya ilmiah yang berwujud tesis hingga disertasi dan telah dapat dipertahankan dengan baik.

Kajian cahaya fajar dan awal waktu Subuh diselenggarakan guna menjawab pertanyaan terkait dinamika cahaya fajar dan awal waktu Subuh di Indonesia, khususnya dari sudut pandang Nahdlatul Ulama. Telah diketahui terbitnya cahaya fajar merupakan penanda awal waktu Subuh.

Cahaya fajar merupakan produk penyinaran Matahari secara tak langsung, di mana Matahari belum terbit namun berkas cahaya nya telah sampai di permukaan bumi akibat sifat optis atmosfer bumi selain menandai awal waktu Subuh, terbitnya cahaya fajar juga menjadi awal waktu puasa (Surat al-Baqarah ayat 187).

Artinya:”Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar.”

Pengamatan cahaya fajar untuk menentukan kriteria awal waktu Subuh adalah selaras dengan pandangan Nahdlatul Ulama bahwa waktu-waktu ibadah yang berlandaskan pada fenomena langit tertentu sebaiknya diamati / di-rukyah. Inilah yang melandasi aktivitas rukyatul hilal yang telah menjadi agenda rutin LFNU guna menentukan awal bulan kalender Hijriyyah setiap bulan (tak terbatas pada Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah).

Demikian pula pengamatan Gerhana Matahari dan Gerhana Bulan guna menentukan waktu shalat gerhana. Berbeda dengan rukyatul hilal, tidak ada perintah syar’t untuk menyelenggarakan pengamatan Matahari secara terus menerus guna menentukan waktu shalat, sehingga pengamatan kedudukan Matahari tidak bersifat ta’abuddi.

Namun pada saat-saat tertentu secara periodik pengamatan digelar sebagai bagian dari upaya kehati-hatian dalam menjaga hasil perhitungan waktu shalat agar tetap konsisten dengan posisi Matahari yang menjadi acuannya.

Kajian cahaya fajar dan awal waktu Subuh Lembaga Falakiyah PBNU bertumpu pada dua disiplin ilmu, yakni ilmu fiqih dan ilmu falak. Hasil kajian ilmu fiqih menyimpulkan terdapat dua jenis fajar, yakni fajar kadzib (fajar semu) dan fajar shadiq (fajar nyata). Fajar shadiq menjadi penentu awal berpuasa dan awal waktu Subuh (Hadits riwayat Ibnu Khuzaimah)

Artinya “Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: fajar itu ada dua macam yaitu fajar yang diharamkan memakan makanan dan diperbolehkan melakukan shalat dan fajar yang diharamkan melakukan shalat yakni shalat Subuh dan diperbolehkan makan makanan.” (Ibnu Khuzaimah dan Hakim, hadits shahih menurut keduanya).

Menurut riwayat Hakim dari hadits Jabir terdapat hadits serupa dengan tambahan tentang fajar yang diperbolehkan memakan makanan sebagai “Jajar yang memanjang di ufuk” Dalam riwayat lain disebutkan “dia seperti ekor serigala.”

Jumhur ulama sepakat awal waktu Subuh ditandai oleh terbitnya fajar shadiq. Baik dalam pandangan fukaha klasik maupun kontemporer. Terbitnya fajar shadiq terjadi pada waktu gholas, yakni waktu gelap di akhir malam yang bercampur cahaya fajar. Saat waktu gholas maka seseorang belum bisa mengenali wajah orang lain disampingnya (Sayyid Abdurrahman. Bughyatul Mustarsyidin, juz I shaf 33).

Jumhur ulama juga sepakat waktu Subuh dimulai sejak terbitnya fajar shadiq dan berakhir pada saat terbitnya Matahari. Kecuali Imam Qosim dan sebagian ashab Syafi’i yang berpendapat berakhirnya waktu Subuh pada saat ishfar.

Para ulama berbeda pendapat tentang waktu terbaik untuk menunaikan shalat Subuh. Sebagian ulama khususnya dari mazhab Syafi’i dan Maliki berpendapat menyegerakan shalat Subuh pada waktu gholas. Demikian pula Syaikh Wahbah az-Zuhaili dan Imam Thantawi.

Sementara sebagian lainnya, seperti para ulama mazhab Hanafi dan Imam ath-Thabari lebih mengutamakan pada waktu ishfar. Waktu ishfar adalah waktu terang buram, yakni saat langit telah kekuning kuningan sehingga jalan-jalan dan lingkungan mulai terlihat.

Definisi fajar shadiq dijelaskan cukup lengkap dalam beberapa hadits Nabi Dalam hal ini pendapat para ulama tentang identitas fajar shadiq terbagi menjadi tiga.

Pendapat pertama bersandar pada Ibnu Abbas RA dan lain-lain, yaitu fajar shadiq adalah cahaya yang sudah cukup terang di ufuk timur dan cukup terang sehingga sudah menerangi puncak-puncak pegunungan / perbukitan.

Sedangkan pendapat kedua berasal dari Imam Ghazali dan lain-lain, di mana fajar shadiq adalah pancaran cahaya putih kemerah-merahan terang di ufuk timur yang menyebar secara horizontal (paralel) terhadap ufuk dan mudah dikenali mata.

Dan pendapat yang ketiga berasal dari al Zamakhsyarı, Fakhruddin ar-Razi dan lain-lain, yakni fajar shadiq adalah cahaya selain fajar kadzib yang sudah muncul di ufuk timur meskipun masih kecil (samar) Jika diurutkan, maka terangnya cahaya fujar shadiq dalam pendapat pertama adalah cukup terang, dalam pendapat kedua adalah terang dan dalam pendapat ketiga adalah samar.

Imam Fakhruddin ar-Razi dalam Mafatihul Ghoib, juz 5 shaf 273 menyebutkan ciri-ciri fajar shadiq sebagai berikut:

ciri-ciri fajar shadiqImam Ghazali menyebutkan fajar shadiq mulai terbit pada 2 manzilah sebelum terbitnya Matahari (thulu’us syams). Ulama yang lain berpendapat terbitnya fajar shadiq bila dikira-kirakan terjadi 1 jam 30 menit sebelum terbitnya Matahari. Rentang waktu yang setara dengan membaca al Qur’an 3 juz secara perlahan atau setara 1/8 malam.

Identitas fajar shadiq sebagai pancaran cahaya tipis putih kecil (samar) di ufuk timur menjadi definisi operasional yang melandasi pengamatan-pengamatan cahaya fajar dalam ilmu falak.

Adapun dalam kajian ilmu falak, atmosfer bumi memiliki sifat optis yang mampu membiaskan menehamburkan dan menveran herkas cahaya Matahari Atmosfer merupakan medium bening berlapis-lapis dengan kerapatan yang berbeda-beda untuk setiap lapisan.

Maka setiap lapisan atmosfer memiliki indeks biasnya sendiri dan membiaskan berkas cahaya yang melaluinya. Berkas cahaya dari ruang angkasa yang datang akan dibiaskan mendekati garis normal. Sehingga berkas cahaya tersebut dapat tiba pada sebuah titik di permukaan Bumi meskipun Matahari belum terlihat secara langsung

Kemampuan atmosfer Bumi untuk menghamburkan berkas cahaya Matahari ditopang oleh adanya molekul-molekul (Nitrogen dan Oksigen) serta partikulat mikro. Hamburan oleh atmosfer tersebut menyebabkan langit nampak berwarna biru di siang hari dan kemerah-merahan di saat fajar /senja.

Adapun kemampuan atmosfer Bumi untuk menyerap berkas cahaya Matahari disebabkan oleh kandungan molekul tertentu (terutama Ozon). Molekul Ozon menyerap berkas cahaya Matahari sehingga lebih melalukan komponen cahaya biru dibanding komponen lain. Kombinasi ketiga faktor tersebut menjelang Matahari terbit melahirkan fajar shadiq.

“Mengamati fajar shadiq tanpa mengelaborasi seluas mungkin ibarat orang buta menganalisa gajah. Hendaknya kita perlu menganalisa dengan seksama dari semua aspek yang terkait dengan kemunculan fajar shadiq. Tak terkecuali fajar kadzib. Hadits Nabi SAW secara tidak langsung mengindikasikan perlunya mengenali kemunculan fajar kadzib. (Hendro Setyanto, M.Si. Astronom & Wakil Ketua Lembaga Falakiyah PBNU)

Secara kualitatif fajar shadiq merupakan cahaya tipis berkedudukan horizontal terhadap ufuk dan kian bertambah terang seiring waktu. Sebelum hadirnya fajar shadiq, fajar kadzib akan menghiasi langit timur terlebih dahulu.

Fajar kadzib merupakan cahaya berintensitas lemah (dibanding fajar shadiq) membentuk struktur mirip segitiga yang khas dan menjulang sepanjang garis ekliptika. Meskipun intensitas cahaya fajar kadzib juga meningkat secara perlahan seiring waktu namun tidak pernah seterang cahaya fajar shadiq. Saat fajar shadiq terbit maka terjadi tumpang tindih dengan cahaya fajar kadzib.

Kriteria Awal Waktu Subuh Di IndonesiaGambar 1

Contoh citra (foto) fajar kadib (kin) dan kombinasi fajar shadig-fajar kadzib (kanan) Citra sebelah kiri pada saat tinggi Matahari negatif 21 Dan citra sebelah kanan saat tinggi Matahari negatif 17 Fajar shadiq di sini teramati pada tinggi Matahari negatif 20 Garis panah putih menunjukkan prakiraan kedudukan garis eklipnika. Diabadikan oleh KH Ismail Fahmi (Lembaga Falakiyah PWNU DKI Jakarta) di Kolbano (Nusa Tenggara Timur) pada 27 Nopember 2019.

Selain mata, pengamatan fajar shadiq dan fajar kadzib dapat pula dilaksanakan dengan instrumen modern seperti kamera digital dan instrumen pengukur kecerlangan langit seperti sky quality meter (SQM). Kamera digital dapat merekam langit timur secara konsisten dari waktu ke waktu. Dengan metode olah–foto (citra) intensitas cahaya langit bisa diperoleh. Adapun SQM sebagai sebuah alat ukur menghasilkan nilai intensitas cahaya secara langsung.

Nilai–nilai tersebut membentuk kurva cahaya kecerlangan langit (sky brightness) seiring waktu. Dalam kurva cahaya tersebut fajar kadzib terlihat mempunyai pola linear sementara fajar shadiq membentuk pola eksponensial. Pola linear dalam fajar kadzib merupakan salah satu temuan para peneliti Nahdlatul Ulama yang belum pernah dijumpai sebelumnya oleh peneliti lain.

Terbitnya fajar shadiq dengan peningkatan intensitas cahaya yang lebih besar dibanding peningkatan linier khas fajar kadzib dan merupakan bagian dari pola eksponensial. Peningkatan tersebut akan terlihat sebagai titik belok dalam kurva, yang dinamakan titik belok fajar (TBF).

Apabila fajar kadzib tidak terdeteksi pada saat pengamatan maka yang terbentuk adalah titik belok kurva (TBK). Dalam kondisi normal maka nilai TBK akan sangat dekat dengan nilai TBF. Tapi bila lokasi pengamatan terganggu, maka nilai TBK akan berbeda terhadap nilai TBF.

Kajian juga menunjukkan bahwa pengamatan fajar shadiq tidak bisa dilaksanakan di sembarang lokasi, sembarang waktu dan sembarang kondisi atmosfer. Lokasi pengamatan seharusnya gelap dengan skala Bortle maksimum 3.

Lokasi pengamatan tidak boleh terganggu sumber cahaya buatan, baik yang bersifat permanen seperti kota dan pemukiman hingga yang bersifat temporer seperti lampu sorot kendaraan. Dan atmosfer pada lokasi pengamatan juga tidak boleh tertutupi serakan awan tebal.

Apabila ketiga faktor tersebut hadir di lokasi pengamatan, baik sendiri–sendiri maupun bersama–sama, maka titik belok kurvanya akan bergeser cukup jauh terhadap titik belok fajar. Dengan kata lain bila ketiga faktor tersebut tidak diperhitungkan, maka kurva kecerlangan langit di lokasi tersebut akan menyajikan hasil yang mengecoh (false) dan bisa diikuti dengan penafsiran yang keliru.

Para peneliti Nahdlatul Ulama (NU) menggunakan beragam metode guna menentukan TBF. Mulai dari analisis gradien, analisis nilai modus, analisis visual, analisis solver dan pendekatan fungsi linear. Dalam berbagai pengamatan setempat–setempat dan mandiri sejak 2010 hingga 2020 diperoleh 37 data yang tak terganggu dengan titik belok kurva lebih kecil daripada negatif 18º.

Distribusi lokasi pengamatan mulai dari pulau Jawa (Madiun, Klaten, Pati, Rembang, Banyuwangi), pulau Bawean hingga kepulauan Nusa Tenggara (Labuhan Bajo, Kolbano).

Di dalam 37 data tersebut terdapat 17 data dengan fajar kadzib terlihat. Sehingga titik beloknya merupakan titik belok fajar. Nilai rata–rata dari 17 data tersebut adalah negatif 19,89º ± 0,40º (negatif 19º 54’ ± 0º 24’). Sebaliknya terdapat 20 data dengan fajar kadzib yang tidak terlihat, maka titik beloknya merupakan titik belok kurva semata. Nilai rata–rata dari 20 data tersebut adalah negatif 19,48º ± 1,07º (negatif 19º 29’ ± 1º 04’).

Berdasarkan pada nilai rata–rata dan deviasi standar di antara dua kelompok data tersebut, maka dari sudut pandang statistika dapat disimpulkan kedua kelompok data memiliki titik belok yang sama. Maka kedua kelompok tersebut merupakan satu kesatuan.

Sebagai satu kesatuan data, di dalam 37 data tersebut dijumpai 8 data yang memiliki nilai titik belok lebih kecil dari negatif 20º. Bila berpijak pada prinsip persamaan batas dengan nilai terendah seperti diadopsi dalam pembentukan kriteria visibilitas hilal, cukup rasional bahwa titik belok terendah dari seluruh data adalah 21º.

Maka dari sudut pandang ilmu falak, titik belok ini adalah fajar shadiq yang disimpulkan dari kajian fiqih sebagai telah munculnya cahaya samar minimal di titik azimuth tempat Matahari akan terbit, mengacu pada pendapat Imam Fakhruddin ar– Razi, az–Zamakhsyari dan lain–lain.

Tetapi dalam kajian fiqih juga dikenal langkah pengamanan sebagai bagian dari kehati–hatian dan menjamin fajar shadiq memang sudah benar–benar terbit. Langkah pengamanan yang rasional adalah dengan menambahkan 1º lebih tinggi dibanding angka negatif 21º. Maka tinggi Matahari negatif 20º adalah lebih tepat dan menjadi bagian dari kehati– hatian.

Sehingga dapat disimpulkan kriteria awal waktu Subuh dengan nilai tinggi Matahari negatif 20º tetap digunakan. Sebab memiliki landasan ilmu fiqih dan ilmu falak yang kuat. Dari sisi ilmu fiqih, kriteria tersebut sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW, para sahabat, para tabi’in, para tabi’it tabi’in, para shalafus shalih dan para auliya.

Terbitnya fajar shadiq merupakan penentu awal waktu Subuh dalam pendapat jumhur ulama. Identitas fajar shadiq adalah sebagai cahaya putih kecil (samar) di ufuk timur yang menyebar secara horizontal terhadap ufuk. Turunan definisi tersebut di sisi ilmu falak dengan berdasarkan pada pengamatan terkini di Indonesia menyimpulkan fajar shadiq terbit pada tinggi Matahari negatif 20º.

“Syaikh al–Dimyathy dalam Hasyiyah ’Ianah at-Thalibin juz 1 shaf 115 menyebutkan salah satu pedoman keabsahan suatu ibadah adalah keyakinan pada diri yang melaksanakan ibadah dan ibadah tersebut benar-benar dilaksanakan tepat pada waktunya. Diperlukan data pengamatan fajar yang ideal dari lokasi yang ideal pula untuk semakin menguatkan keyakinan tersebut dalam penentuan awal waktu Subuh.” (M. Basthoni, MH. Ahli falak Lembaga Falakiyah PWNU Jawa Tengah & kandidat doktor ilmu falak di UIN Walisongo Semarang).

Dengan demikian kriteria awal waktu Subuh di Indonesia berdasarkan tinggi Matahari negatif 20º memiliki landasan ilmiah yang kuat karena didukung data hasil pengamatan. Data–data tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena diperoleh dari pengamatan dengan beragam instrumen dan nilainya berulang–ulang dijumpai dalam waktu dan tempat yang berbeda– beda.

Sehingga kriteria awal waktu Subuh di Indonesia tetap dapat merujuk ke kriteria yang dipedomani Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Agama RI. Dengan demikian Umat Islam di Indonesia dapat tetap menjalankan ibadah Subuh dan puasanya dengan lebih tenang dan nyaman.

Warga Nahdlatul Ulama juga tetap dapat menggunakan jadwal shalat dan jadwal imsakiyah Ramadhan yang disusun oleh Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama. Karena menggunakan kriteria awal waktu Subuh yang sama. Wallahua’lam.

Para peneliti Nahdlatul Ulama dalam ilmu falak dan ilmu fiqih yang terlibat dalam kajian tersebut adalah :

  • KH Ahmad Yazid Fattah (Lembaga Falakiyah PBNU)
  • Dr. KH Shofiyulloh (Lembaga Falakiyah PWNU Jawa Timur)
  • Dr (cand) M. Basthoni (Lembaga Falakiyah PWNU Jawa Tengah & UIN Walisongo Semarang)
  • Imam Kustolani, MA (PCNU Banjarnegara)
  • Dr. Nihayatur Rohmah (IAIN Ngawi)
  • KH Abdul Muid Zahid (Lembaga Falakiyah PCNU Gresik)
  • KH Muhyidin Hasan (Lembaga Falakiyah PCNU Gresik)
  • KH Ismail Fahmi (Lembaga Falakiyah PWNU DKI Jakarta)
  • Eka Puspita Arumaningyas, M.Si (PCINU Jepang)
  • KH Djawahir Fahrurrazi (Lembaga Falakiyah PWNU DIY)
  • Drs. Mutoha Arkanuddin (Lembaga Falakiyah PWNU DIY)
  • Dr. Suaidi Ahadi (Lembaga Falakiyah PBNU & BMKG)
  • Rukman Nugraha, M.Si (Lembaga Falakiyah PBNU & BMKG)
    Dengan para penanggap :
  • Drs. KH Sirril Wafa, MA (Lembaga Falakiyah PBNU)
  • Dr. KH Abdus Salam Nawawi (Lembaga Falakiyah PBNU)
  • KH Slamet Hambali, MA (Lembaga Falakiyah PBNU & Unisula)
  • Dr. KH Ahmad Izzudin (Lembaga Falakiyah PBNU & UIN Walisongo)
  • Dr. Khafid (Lembaga Falakiyah PBNU)
  • Hendro Setyanto, M.Si (Lembaga Falakiyah PBNU)
  • Dr. Djamhur Effendi, DEA (Lembaga Falakiyah PBNU & LAPAN)
  • Dr. Ahmad Junaidi (Lembaga Falakiyah PCNU Ponorogo)

Sumber Tulisan PERS RELEASE PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA TENTANG KRITERIA AWAL WAKTU SUBUH DI INDONESIA Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Press Rilis bisa didownload di SINI.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button