NU, Antara Tradisionalisme Dan Modernisme

NU Cilacap Online – Menjaga tradisi di era digital dalam bingkai modernisme, sangatlah sulit, tidak terkecuali bagi Nahdlatul Ulama (NU) yang kental dengan nuansa tradisionalisme.

Di masa lampau, para tokoh agama dan masyarakat masih bisa menjaga tradisi, sebab arus perubahan datang dari satu arah, yaitu melalui para key person, sehingga efek dan perubahan yang mungkin terjadi, dapat dikontrol secara baik. Key person ini terdiri dari para tokoh agama dan masyarakat.

Adapun jika informasi dan inovasi datang melalui masyarakat, maka hal itu akan dikonsultasikan kepada para pemimpin dalam masyarakat ( Wilburl Schanram, Elemen-elemen Komunikasi Modern, 1966 ). Sistem dan cara masyarakat menerima inovasi dan informasi ini, dipengaruhi oleh sistem nilai yang hidup dalam masyarakat. Sistem nilai ini sifatnya berlapis-lapis, yang oleh Talchott Parson, disebut sebagai social equlibrium.

Di masa lalu, dalam ilmu komunikasi, ada teori jarum suntik. Masyarakat diibaratkan sebagai pasien, yang diinjeksi dengan informasi dan bersifat apatis. Suka tidak suka, mereka menerimanya. Namun kemudian, teori ini runtuh. Setelah melalui riset, ditemukan bahwa masyarakat itu, merespon terhadap setiap informasi yang masuk ke dalam sistem sosialnya. Respon ini bisa beragam dari yang menolak, menerima tanpa reserve, atau melakukan adaptasi.

Era itu, mungkin sebagian masih berlangsung. Yaitu, pengaruh sistem nilai terhadap jenis, bobot, dan bentuk informasi. Namun di tengah gelombang informasi, melalui teknologi digital, apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat?

Ada indikasi penting bahwa social equilibrium masyarakat telah runtuh akibat serangan cyber, yang membawa muatan informasi beraneka ragam, sehingga sistem seleksi yang ada dalam masyarakat pun hilang. Masyarakat sulit membedakan informasi yang benar, atau sekedar hoaks.

Bahkan banyak kelompok masyarakat lebih percaya kepada hoaks, dikarenakan sesuai dengan ceruk kepentingannya yang bersifat politis dan ekonomis. Informasi hoaks ini betul-betul memuaskan jiwa-jiwa feodalisme primitifnya.

Dalam konteks ini, bagi NU yang concern untuk menjaga tradisi tapi hidup di era milenial, sungguh seperti mendayung di antara badai.

Kita mengerti bahwa NU berpegang pada qoidah al mukhafadlotu ‘ala qodhimishsholil wal akhdu bii jadiidil ashlah, mempunyai tanggung jawab historis untuk menjaga semua tradisi, budaya-agama, sekaligus tanggung jawab masa depan, mengadopsi nilai-nilai modernitas yang lebih baik pula.

Maka, untuk menjaga tradisi, tentu butuh ortodoksi, atau konservativisme. Tidak cukup dengan pemikiran, karena pemikiran itu ada, karena ada orangnya.

Maka barokahnya NU, masih punya para kiai yang berpandangan konservatif. Sebab untuk menjaga ortodoksi NU, ortodoksi Islam, dan semua tradisi yang menyertainya seperti figur Gus Najih, Mbah Jad dan lainnya. Mereka yang terkesan jauh dari atribusi modern dalam berpikir dan sikap hidup.

Juga barokahnya NU, masih mempunyai lembaga pengajaran ilmu agama yang mempertahankan methode salaf ( bukan salafi, red), seperti pesantren-pesantren yang mengedepankan tradisi sorogan, bandungan, kesederhanaan dan kesahajaan. Mereka kebagian prinsip Al Mukhafadlotu ‘Ala Qodimishsholih-Nya.

Sedang figur-figur Gus Dur dan murid-muridnya, seperti Kiai Said, Kiai Ghofur Maimoen, Gus Reza, Gus Kautsar, dan para pemikir NU lainya, atau lembaga-lembaga pendidikan modern, sekuler, atau pun pondok pesantren yang sudah mengadopsi sistem modern, dengan metode klasikal, riset, observasi dan penelitian, mempunyai tugas, wal akhduu biijadidil ashlah-nya.

Yang perlu dilakukan untuk mensinkronkan peran dan figur yang berbeda itu, adalah suatu pemahaman terhadap tujuan yang sama untuk kemajuan NU. Figur seperti Gus Najih dkk, penting untuk menjaga ortodoksi, dan figur semacam Kiai Said penting untuk memperoleh kemajuan, merespon perubahan dan perkembangan jaman. Jenis pemikiran itu ibarat antara rem dan gas. NU harus maju, merespon perubahan, tetapi tetap jangan sampai kebablasan.* (Pojok Cilacap, 23-7-21)

~ Artikel berjudul NU, Antara Tradisionalisme Dan Modernisme ditulis oleh Oleh Taufik Imtihani, Ketua NU Marginal Forum Cilacap.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button