Mbah Rusmani, Santri KH Hasyim Asy’ari, Wafat. Innalillahi
NU CILACAP ONLINE – Mbah Rusmani, Wafat. Innalillahi wa Inna Ilaihi Rajiun. KH Rusmani, salah satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU), santri KH Hasyim Asy’ari, Wafat, Kamis (11/3) pukul 11.30 WIB. Mbah Rusmani wafat di kediamannya di Kauman, Dusun Miri, Desa Gedawung, Kecamatan Kismantoro, Kabupaten Wonogiri.
KH Hasyim Asy’ari dikenal sebagai mahaguru ulama Nusantara. Selama mengasuh Pesantren Tebuireng, ribuan santri dari entaro Nusantara pernah mengecap berkah ilmu darinya sehingga sangat layak bila pendiri NU itu menjadi kiai di Nusantara yang bergelar Hadlratussyekh atau mahaguru.
Dari ribuan santri yang pernah berguru kepada Hadlratussyekh, di antaranya banyak yang menjadi ulama dan tokoh terkemuka. Satu di antara ribuan santri Hadlratussyekh yang kini masih hidup adalah Mbah Rusmani, yang kini berusia hampir seabad. Sebagai kiai kampung yang bertempat tinggal di pelosok Wonogiri, keberadaanya belum begitu banyak dikenal orang.
Kabar mengenai Mbah Rusmani, sebelumnya pernah santer di media sosial pada medio April 2017 lalu. Apalagi setelah kiai muda dari Pesantren Darul Ulum Poncol, Magetan, Gus Habib Mustofa mengunggah foto di akun media sosialnya saat sowan ke kediamannya sambil memberikan kenang-kenangan berupa gambar pendiri NU.
Sejak saat itu, nama Mbah Rusmani mulai diperbincangkan dan terekspos oleh khalayak, utamanya warga NU. Portal dutaislam.com juga pernah memuat tulisan tentang kiai sepuh ini, berjudul Mbah Rusmani, Kiai Berusia 100 Tahun Lebih Murid Langsung Mbah Hasyim Asy’ary. Walaupun tulisan itu tidak begitu detail menjelaskan tentang sosok kiai asal Kecamatan Kismatoro, Kabupaten Wonogiri itu.
Kabar ini selanjutnya semakin hangat diperbincangkan dari mulut ke mulut. Mbah Rusmani sekarang sering didatangi oleh warga dan tokoh NU dari daerah Wonogiri dan sekitarnya. Hingga pada hari Rabu (14/2) lalu, NU Online mendapat ajakan langsung dari Gus Muadz Harits Dimyathi bersama dengan beberapa orang santri Pesantren Tremas Pacitan, bersama-sama berkunjung ke kediamannya yang berada di lingkungan Kauman, Dusun Miri, Desa Gedawung, Kecamatan Kismantoro, Kabupaten Wonogiri.
“Mumpung masih ada kiai sepuh, apalagi ini salah satu muridnya Mbah KH Hasyim Asy’ari yang masih sugeng (hidup). Ayo kita sowan ke sana dan sekalian minta doa restu.” Inilah alasan kenapa Gus Muadz harus segera sowan ke sana. Gus Muadz sendiri memang sangat tertarik dan suka bersilaturahmi dengan para kiai sepuh untuk mendapatkan ”Wejangan Waskita”.
Baca juga Mbah Syukri Santri KH Hasyim Asy’ari, Berusia 102 Tahun
Dengan menggunakan 10 sepeda motor, perjalanan dari Pesantren Tremas Pacitan menuju Kismatoro via Kecamatan Bandar memakan waktu dua jam lebih. Ini karena perjalanan yang kami lalui harus melewati perbukitan naik turun dan jalan yang berkelok. Apalagi hari itu hujan turun dengan derasnya, sehingga kami harus berhati-hati mengendarai sepeda motor karena jalan yang kami lalui menjadi sangat licin. Tiba di kecamatan Bandar, hujan mulai reda. Saat masuk di perbatasan Jawa Timur-Jawa Tengah, hujan benar-benar reda. Malah memasuki Kecamatan Kismantoro, cuaca justru terang dan cukup terik. Dari pusat Kota Wonogiri, Kecamatan Kismantoro sendiri berada 52 KM sebelah timur Wonogiri.
Setelah terlebih dahulu istirahat, makan siang dan dilanjut shalat zhuhur di rumah salah satu kawan. Kami pun langsung menuju ke kediaman Mbah Rusmani, yang letaknya tidak begitu jauh dari pusat Kecamatan Kismantoro. Memasuki halaman rumahnya, kami seperti masuk ke lorong waktu. Seakan berada pada zaman di mana Indonesia belum merdeka. Bangunan rumahnya sangat sederhana dan menurut kami, antik. Rumah tua itu masih berdiri kokoh dengan gaya tradisional Jawa Tengah, joglo kayu. Di sini kami merasakan aura yang berbeda dari tempat lainya.
Suasananya adem, nyaman, dan tenang. Rumahnya bergandengan dengan bangunan masjid yang ukuranya tidak terlalu besar, di mana di situ menjadi pusat kegiatan keagamaan masyarakat Kauman.
Kedatangan kami disambut hangat oleh beberapa orang, yang sebelumnya duduk di teras rumah. Mereka adalah menantu Mbah Rusmani dan beberapa orang santrinya. Setelah Gus Muadz mengucapkan salam, kami lalu mengikuti langkah menuju ke dalam rumah. Memasuki ruangan kuno itu, kami disambut sosok yang sudah cukup sepuh telah duduk di tengah-tengah ruangan.
Sorot matanya tajam, wajahnya sangat teduh, dan penuh senyum. Benar, ia adalah Mbah Rusmani. Maka satu per satu dari kami langsung bersalaman mencium tangan kiai sepuh itu. Kami kemudian dipersilakan duduk dan mengambil posisi melingkar mengelilinginya.
Di kanan kiri tempat ia duduk terdapat beberapa kitab, dan Al-Qur’an yang diletakkan di atas dampar atau meja kecil. Selain itu, di dinding rumahnya juga terpasang gambar pendiri NU, Hadratusyekh KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, dan Gus Dur. Adapula gambar Sulton Auliya’ Syekh Abdul Qadir Al-Jailani hingga menambah kuat aura keantikan rumah itu. Setelah memperkenalkan diri kepada si empunya rumah, kami langsung membuka percakapan dengan bertanya kepadanya tentang keadaan kesehatan. “Alhamdulillah sehat,” jawab Mbah Rusmani.
Baca juga Nyai Suryani Santri KH Hasyim Asyari Wafat, Usia 102 Tahun
Walaupun usianya sudah cukup sepuh, namun ketika berbicara masih sangat jelas dan masih cukup kuat duduk bersila dalam waktu yang cukup lama. Untuk urusan merokok, jangan ditanya. Kami mengira orang sesepuh itu telah berhenti merokok, namun anggapan itu keliru, justru ia penikmat rokok sejati. Kamipun dibuat heran karenanya. Karena tak ingin menyia-nyiakan waktu, kami langsung menanyakan langsung kepadanya tentang cerita nyantrinya di Tebuireng.
Memang salah satu tujuan kami sowan ke sana, salah satunya untuk mengorek cerita tentang sosok Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Sebagai seorang kiai yang sangat tawadhu, Mbah Rusmani sempat menutup-nutupi jatidirinya. Ia sebelumnya tidak mengakui kalau saat mudanya pernah bertemu dan ngaji secara langsung kepada Pendiri NU itu.
Ia justru menyampaikan kalau yang pernah mondok di Tebuireng itu adalah saudaranya, bukan dirinya. Mbah Rusmani yang siang itu mengenakan baju koko putih, peci putih, dan dibalut sorban lalu berkata, “Kulo namung sering sowan mriko (saya hanya sering berkunjung ke sana),” tuturnya. “Mboten nderek ngaos (tidak ikut mengaji),” sambungnya. Sebuah jawaban yang mencerminkan kerendahan hati dan ketawadhu’an santri pada seorang guru. Kami pun semakin penasaran dibuatnya.
Obrolan kami terus mengalir. Beberapa buah pertanyaan seputar Hadratusyekh KH Hasyim Asy’ari kembali kami lontarkan lagi. Dan kali ini berhasil, akhirnya ia secara spontan mengatakan pernah ikut mengaji dengan Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari, bahkan Mbah Rusmani beberapa kali pernah nderekne (ikut) ketika Hadlratussyekh pergi mengisi acara pengajian di beberapa kampung.
Kami dibuat semringah mendengar jawaban itu. “Mangkane kulo kalih rencang niku mriki ngeh bade ngaji kalih njenengan niku, pingen tabarukan, wasilah njenengan teng Mbah Yai Hasyim (Niat kami ke sini untuk ikut mengaji. Ingin berharap berkah. Dengan lantaran Anda kami mendapat berkah dari Hadlratussyekh),” kata Gus Muadz. Sosok Mbah Hasyim Dengan suara yang lembut, ia kemudian bercerita tentang sosok orang-orang yang pernah mendidiknya.
Salah satunya adalah ayahnya sendiri. Obrolan pun terus berlanjut hingga ia berkenan bercerita sedikit tentang sosok Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari, guru yang sangat dihormatinya itu. Karena usianya yang memang sudah cukup tua, sepertinya tidak banyak yang diingatnya tentang nostalgia saat nyantri di Tebuireng. Ia hanya ingat ketika dalam sebuah kesempatan ikut dalam majelis pengajian yang diasuh langsung oleh Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari.
Mbah Rusmani terdiam cukup lama. Kemudian berkata.”Mbah Yai nek nerangne iman niki lho. Rukun iman ingkang 6, maune nek sing nerangke gurune sekolahan biasane geh embyeh mboten keroso. Ning nek sing nerangne Mbah Hasyim, atek rasane kudu nangis atine. Nek sing nerangne Mbah Hasyim bedo, kudu nangis manahe (Kiai Hasyim kalau menerangkan rukun iman yang enam itu sangat berbeda dengan keterangan yang disampaikan oleh seorang guru lain di sekolah, yang keterangannya datar dan tidak berasa. Namun saat yang menerangkan itu Kiai Hasyim, rasanya ingin sekali menangis. Sebab keterangan yang disampaikanya sangat berbeda dengan lainya. Hingga ketika diterangkan hatinya selalu menangis),” katanya.
Kami yang mendengar ucapan itupun ikut menahan haru. Betapa Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari mampu menerangkan dan menguraikan tentang bab rukun iman yang berjumlah enam itu dengan penghayatan yang dalam sehingga para santrinya tidak kuasa menahan tangis saat dijelaskan tentang apa itu iman dan rukun-rukunnya.
Dalam pandangan Mbah Rusmani, keterangan tentang iman yang disampaikan Hadlratussyekh hingga kini masih membekas dalam hati sanubarinya. Keterangan yang disampaikanya tidak sebatas iman kepada Allah dan Rasulnya saja, tapi lebih luas daripada itu.
Apalagi saat itu Indonesia masih dalam cengkeraman penjajah, sehingga ayah dari KH Wahid Hasyim itu pula yang mengeluarkan fatwa berupa ungkapan hubbul wathan minal iman. Membela tanah air adalah sebagian dari iman. Yang kelak semakin menggelorakan jiwa nasionalisme para santrinya. Saat ditanya mengenai sikap dan kepribadian Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari, Mbah Rusmani ingat betul bahwa gurunya itu memiliki sikap yang sangat moderat. Kepemimpinan, ketokohan, dan kewibawaan Hadlratussyekh adalah buah dari keilmuan dan keluasan wawasannya.
“Mbah Hasyim niku mboten keras, mboten kendo, geh sedengan (Kiai Hasyim itu tidak terlalu keras, tidak juga lemah, tapi bersikap luwes),” terangnya sambil sesekali menghisap rokok.
Keluwesan sikap Hadlratussyekh juga ditunjukkan dalam hal ibadah. Mbah Rusmani bercerita saat bulan Ramadhan tiba, Hadlratussyekh mempersilakan santrinya untuk menggelar shalat tarawih berjamaah di asrama santri. Sedangkan ia menunaikan shalat tarawih di masjid Tebuireng bersama masyarakat.
Sikap ini menunjukkan kebijaksanaan Hadlratussyekh yang tidak memaksakan kehendak santri untuk ikut berjamaah tarawih bersama Hadlratussyekh. Hadlratussyekh tahu betul, kalau ikut berjamaah tarawih di Masjid maka akan berlangsung lama.
Sedangkan para santri ingin shalat tarawih segera selesai. Hadlratussyekh dikenal sebagai ulama yang memiliki akhlak luhur dan selalu menghormati kepada siapa saja yang bertamu. Sosoknya dipenuhi keikhlasan. Hadlratussyekh juga dikenal sangat dekat dan menyayangi santrinya. Mbah Rusmani memiliki kesaksian tersendiri terhadap tindak lampah gurunya itu.
“Rumaoas kulo, ora eneng kuciwo. Sarwo sedengan. Cukupan. Dedeke, pawakane, lagune, sarwo nyenengne (yang saya rasakan tidak ada kekurangan. Serba luwes dan cukup. Kepribadiannya selalu menyenangkan),” kenangnya.
Mbah Rusmami sendiri seakan tidak mampu mengungkapkan kemuliaan akhlak dan pribadi gurunya. Dari Hadlratussyekh, Mbah Rusmani banyak belajar soal kepemimpinan, nasionalisme, dan bagaimana mempersiapkan diri kembali ke tengah masyarakat.
Gaya mendidiknya ini yang mempengaruhi santrinya memiliki jiwa patriotisme, kepribadian kuat, dan tangguh. Selama satu setengah jam, kami mencoba mendengarkan wejangan penuh hikmah dan menyerap berkah darinya. Tanpa mengurangi rasa hormat dengannya, percakapan banyak diselingi dengan guyonan yang cukup segar sehingga suasana sowan kali ini terasa sangat hangat dan tidak angker.
Pesan Mbah Hasyim untuk Generasi Muda NU Mbah Rusmani kemudian menitipkan pesan dari gurunya kepada generasi muda NU untuk tetap istiqamah berjuang di jamiyyah Nahdlatul Ulama. Ia berpesan agar senantiasa berpegang teguh pada ajaran Ahlusunah wal jamaah. “Ojo molah-malih. Tetep NU. Ahlussunah wal jamaah,” demikian pesan Mbah Rusmani kepada kami.
Semasa hidupnya, Mbah Rusmani dikenal sebagai seorang kiai yang sangat tawadhu. Saat NU Online sowan ke kediamannya, tahun 2018 lalu, Mbah Rusmani sempat menutup-nutupi jatidirinya. Ia sebelumnya tidak mengakui kalau saat mudanya pernah bertemu dan ngaji secara langsung kepada KH Hasyim Asy’ari, Pendiri NU itu. (Diolah dari NU Online)