Islam Nusantara dan Kewarganegaraan | NU Cilacap Online

NU CILACAP ONLINE – Apa dan Bagaimana hubungan antara Islam Nusantara dengan Kewarganegaraan? Islam Nusantara adalah bentuk keislaman yang mampu menjadi “rahmatan lil alamin”. Praktik keislaman Nusantara akan menjadi model dunia sebab dunia sedang terbakar karena agama (Masdar F Mas’udi, 10/3/2015). Mungkinkah Islam yang ramah, toleran, dan inklusif berkembang subur di Nusantara?

Jawabnya tentu terletak pada umat Islam Indonesia sebagai mayoritas umat beragama yang diam di negara kepulauan ini bersedia dan siap menerimanya ataukah tidak. Yang jelas, salah satu bukti apakah umat Islam siap dengan kondisi multikultur dan multireligius adalah ketercukupan umat Islam untuk menerima keragaman warga negara yang ada di Indonesia dari dimensi suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA), yang pernah dijadikan sandera politik rezim Orde Baru selama 32 tahun.

Pengalaman masa lalu selama rezim otoriter berkuasa, SARA yang sebenarnya jadi kekayaan Nusantara benar-benar menjadi momok bangsa ini. Kaum minoritas sekaligus kaum mayoritas jadi bulan-bulanan politik belah bambu dan adu domba demi mempertahankan rezim otoriter yang dikuasai. Oleh sebab itu, saat ini seharusnya pengalaman masa lalu tentang warga negara minoritas-mayoritas tak lagi diperdebatkan karena senyatanya warga kita memang beragam.

Mengakui hak minoritas

Will Kymlicka, ahli politik dan multikulturalisme, menyatakan, hal yang terpenting dari kewarganegaraan adalah pengakuan terhadap hak-hak kaum minoritas oleh negara dan kaum mayoritas (Kymlicka, 2009). Dalam kaitan ini, adanya pengakuan nyata oleh kaum Muslim Indonesia sebagai mayoritas penghuni Nusantara untuk menghargai, menghormati, dan berempati kepada mereka yang minoritas adalah dalam makna agama.
Sebab, jika umat Islam sebagai mayoritas enggan mengakui, menghormati, dan berempati terhadap mereka yang minoritas, tetapi malah menganggap sebagai “liyan”, kaum Muslim Indonesia secara politik multikultural akan dipersoalkan. Bahkan, komitmen keislamannya yang dinyatakan sebagai keislaman rahmatan lil alamin dipertanyakan.

Umat Islam harus mengakui, menghormati, dan berempati kepada yang minoritas adalah suatu keharusan. Sebab, jika kaum minoritas yang bersikap menghormati, menghargai, dan berempati kepada yang mayoritas, dalam perspektif multikulturalisme itu politik ketertundukan bahkan politik penundukan oleh kaum mayoritas.

Sementara jika umat Islam yang memulai menghargai, menghormati, dan berempati kepada kaum minoritas agama lain, hal itu bukti keterbukaan dan perilaku politik yang demokratis, inklusif, dan tidak merasa terancam oleh kaum minoritas.

Beberapa peristiwa terkait posisi kaum minoritas agama yang kadang merasa terancam oleh kaum mayoritas sebenarnya memberikan catatan serius kepada kaum Muslim Nusantara. Apakah kaum Muslim yang mayoritas merasa terancam oleh kaum minoritas? Jika merasa terancam, bukankah itu merupakan masalah serius yang harus segera diakhiri sebab Indonesia secara nyata adalah negara yang telah menyatakan dirinya sebagai negara religius, bukan negara sekuler sekalipun tidak berdasarkan Islam, tetapi Muslim society.

Namun, sekalipun tidak berdasarkan Islam, tidak dapat dimungkiri bahwa nilai-nilai Islam bahkan kultur Islam sekarang telah jadi bagian dari Indonesia. Kita dapat menyaksikan betapa negara ini sangat memberikan ruang kepada Islam untuk diekspresikan di ruang publik politik. Kita dapat menyebutkan partai yang berdasarkan (asas) Islam tidak pernah dilarang ikut pemilu. Demikian pula perayaan-perayaan hari besar keislaman senantiasa mendapatkan tempat yang luar biasa dari negara dan Istana. Hal ini merupakan bukti bahwa Indonesia sekalipun bukan negara Islam, sebenarnya nilai Islam adalah bagian tak terpisahkan dari negara.

Oleh sebab itu, sudah tidak zamannya lagi mempertentangkan antara Islam dengan negara yang telah menganut sistem politik modern dengan demokrasi sebagai salah satu kerangka. Kita tidak perlu lagi berpikiran, apalagi mencita-citakan mengubah dasar negara Pancasila dengan dasar negara yang lain. Kita pun tidak perlu lagi memikirkan dan mengimpikan agar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berubah jadi negara kekhalifahan seperti di negara-negara Timur Tengah yang sedang bergolak atas nama agama Islam sekalipun. Cukuplah Indonesia dengan Pancasila dan demokrasi menjadi sistem politiknya, tinggal bagaimana kita mengisi dan memperbaiki sistem yang belum berjalan maksimal.

Kebinekaan modal sosial

Nusantara memiliki beragam suku, agama, etnis, dan golongan yang sebenarnya menjadi modal sosial untuk dikembangkan sehingga Indonesia tetap utuh serta menjadi bangsa beradab dan merdeka. Dari segi keagamaan, kita memiliki beragam “agama resmi” selain agama lokal (indigenous religions) yang tersebar di seluruh Nusantara.

Sementara suku dan etnis yang ada di Indonesia pun sangat heterogen. Dalam satu pulau tidak pernah dihuni oleh satu etnis dan suku saja. Lebih dari 13.000 suku di Nusantara mendiami alam raya Indonesia. Tidak ada masalah yang berarti dengan keragaman etnis dan suku di Nusantara.

Heterogenitas etnis dan suku menjadi bermasalah ketika hadir pihak-pihak yang “memanfaatkan” keterbelakangan atau lokalitas mereka dengan kepentingan-kepentingan politik dan agenda politik serta agenda ekonomi yang sifatnya jangka pendek. Selama tidak hadir pihak yang memanfaatkan suku dan etnis yang beragam di pedalaman Nusantara, mereka hidup tenteram dalam tradisi, alam, dan kultur yang selama ini diyakini menjadi bagian dari cara kehidupannya.

Oleh sebab itu, keragaman Nusantara sudah harus dijadikan pijakan oleh siapa pun yang hendak mengembangkan Nusantara menjadi Indonesia yang beradab, berkemajuan, dan demokratis, tidak bertentangan dengan sunatullah. Kita dan Nusantara memang ditakdirkan oleh Tuhan untuk heterogen, bukan homogen, tetapi di antara yang beragam inilah kita harus mampu saling menghargai, menghormati, dan berempati.

Dalam konteks keragaman seperti itu, gagasan tentang Islam Nusantara dan kewarganegaraan merupakan gagasan yang harus disambut oleh banyak pihak. Islam Nusantara, karena itu, harus pula digerakkan untuk menghadirkan setiap warga negara-siapa pun mereka-menjadi bagian dari kewarganegaraan Indonesia. Islam Nusantara tidak pernah membeda-bedakan warga negara yang berbeda suku, agama, dan etnisnya; tidak hanya akan menghargai dan memberikan apresiasi atas mereka yang satu agama, sementara yang berbeda agama ditempatkan sebagai dzimmi atau bahkan warga kelas dua.

Jika gagasan Islam Nusantara benar-benar dapat dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia yang mayoritas, kita bisa optimistis Indonesia dapat menjadi negara yang besar dengan peradaban yang unggul dan mengukir sejarah yang besar pula. Akan tetapi, jika umat Islam sebagai mayoritas ternyata enggan menjadikan Islam yang rahmatan lil alamin di Indonesia, “perang” dan situasi “kebarakan” atas nama agama seperti di Timur Tengah akan terjadi pula di Indonesia: diwarnai kekerasan, peperangan, bahkan pembunuhan. Tentu kita tidak ingin dituding sebagai Islam yang bengis, Islam yang tidak beradab.

ZULY QODIR, Sosiolog UMY, Peneliti Senior Maarif Institute Jakarta

Sumber : Islam Nusantara dan Kewarganegaraan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button