PBNU Klarifikasi Istilah Islam Nusantara, Begini Penjelasannya
NU CILACAP ONLINE – Istilah Islam Nusantara diklarifikasi oleh PBNU. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menjelaskan istilah “Islam Nusantara” yang menjadi tema besar Muktamar Ke-33 NU pada 1-5 Agustus mendatang.
Hal ini dilakukan guna menepis tudingan negatif belakangan ini yang menyebut Islam Nusantara sebagai bentuk aliran baru yang memadukan Islam dan “agama Jawa”.
Ketua Umum Pengurus Besar NU Said Aqil Siradj, di Gedung PBNU, Jakarta, Jumat (3/7), menegaskan, Islam Nusantara bukan merupakan sinkretisme agama yang mencampuradukkan berbagai keyakinan.
Islam Nusantara, katanya, merupakan ajaran Islam yang menyadari bumi tempatnya berpijak. Artinya, ajaran Islam tidak menyingkirkan tradisi yang sudah ada di Nusantara sepanjang jelas-jelas tidak bertentangan dengan syariat Islam.
“Islam melebur dengan budaya tersebut karena pendekatan dakwah di Nusantara ini pendekatan budaya, bukan senjata seperti di Timur Tengah. Di Nusantara, (pendekatannya) dilandasi oleh pergaulan baik, akhlak mulia, dan budaya,” tutur Said Aqil.
Menurut dia, pemahaman Islam yang ramah, sejuk, dan peduli pada kebenaran dan keadilan sangat kontekstual dengan kondisi Indonesia saat ini. Terlebih di tengah menyebarnya paham radikal yang menganggap ajaran yang mereka pegang yang paling benar sehingga menganggap pemahaman Islam di luar pandangan mereka salah.
Said Aqil khawatir, jika tidak dicegah, pemahaman radikal akan terus berkembang di Indonesia. Salah satu indikasinya, katanya, cukup banyak pemuda Indonesia yang terprovokasi untuk berperang bersama Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Mengekspor Imam
Wajah ramah Islam di Indonesia yang disebarluaskan oleh NU sudah mendapat pengakuan dari negara-negara di Eropa yang meminta PBNU mengirimkan 100 imam untuk memimpin masjid di sana.
Menurut Koordinator Biro Beasiswa Luar Negeri PBNU Achmad Sudrajat, permintaan perwakilan Uni Eropa itu didasari pemahaman mereka bahwa Islam di Indonesia ramah. Selain itu, mereka juga melihat sejumlah kasus, beberapa imam dari sejumlah negara di Timur Tengah memberi kesan yang “keras” sehingga dikhawatirkan menjadi “bom waktu”.
“Kami belum sempat mengirim karena masih terkendala kemampuan berbahasa Jerman dan Perancis. Sebagian besar pendaftar hanya memiliki kapasitas berbahasa Inggris dan Arab. Namun, tahun depan kami akan usahakan,” kata Achmad.
Dia juga menawarkan kesempatan tersebut kepada masyarakat luas yang tertarik untuk menjadi imam sekaligus melanjutkan pendidikan ke negara-negara di Eropa.
“Untuk yang tertarik dan memiliki kapasitas itu nanti bisa kami upgrade di sini sebelum dikirim ke Eropa,” ujar Achmad. (Sumber: Klarifikasi PBNU tentang Islam Nusantara )