Menyiapkan Kader NU Melalui Kaderisasi Berkelanjutan
NU Cilacap Online – Kader NU memegang peranan penting dalam mengawal dan meneruskan ajaran Islam Aswaja, menyiapkan kader kader NU lewat kaderisasi berkelanjutan termasuk di pesantren. Berikut ini taushiyah dan harapan KH said Aqil Siadj tentang pentingnya menyiapkan kader NU dan Kaderisasi berkelanjutan.
Kader NU
Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 M/ 16 Rajab 1344 H oleh para ulama pesantren sejatinya ingin meneguhkan komitmen dan keberlangsungan ajaran Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Aswaja) di Nusantara.
Dalam menjalankan paham Aswaja, NU pada dasarnya menganut lima prinsip utama, yakni, at-tawâzûn (keseimbangan), at-rasâmúh (toleran), at-tawásuth (moderat), at-ta’âdul (patuh pada hukum), dan amar ma’ruf nahy munkar. Lain daripada itu, dibutuhkan formula Aswaja sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr) keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berdasarkan atas dasar modernisasi, menjaga keseimbangan dan toleransi.
Karenanya Aswaja dapat didefinisikan sebagai “Ahlu minhaj al-fikri ad-dini al-musytamil ala syu’un al-hayâti wa muqtadhayâtiha al- qa’imi ala asas at-tawâssuth wa at-tawâzûn wa at-ta’âddul wa at-tasâmûh. atau “orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleransi.”
Dari segi ini, prinsip dasar yang menjadi ciri khas paham Aswaja adalah tawasuth, tawázun, ta’adul, dan tasâmuh: moderat, seimbang dan netral, serta toleran. Sikap pertengahan seperti inilah yang dinilai paling selamat, selain bahwa Allah telah menjelaskan bahwa umat Nabi Muhammad adalah ummatan wasathan, umat pertengahan yang adil (QS. al- Baqarah/2:143)
Sebagai warga nahdliyin, tentunya kita bersyukur dan senang dengan keberadaan jam’iyah NU yang merupakan rumah (wadah) bagi umat Islam untuk melaksanakan dan mempertahankan tradisi-tradisi amaliyah Aswaja yang telah berlaku sejak zaman nabi SAW, ulama salaf dan ditumbungkembangkan di Nusantara oleh Wali Songo dan kiai-kiai pesantren hingga saat ini.
Tujuan Organisasi NU
Sebagai organisasi perkumpulan atau jam’iyyah diniyyah Islâmiyyah ijtima’iyyah (organisasi keagamaan dan sosial) untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, dan ketinggian harkat dan martabat manusia, NU bertujuan untuk melestarikan berlakunya ajaran Islam yang menganut paham Aswaja untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan demi kemaslahatan, kesejahteraan umat dan demi terciptanya rahmat bagi semesta.
Sejak awal kelahirannya, NU tak pernah lepas dari perkembangan kesadaran nasional dan kebangsaan. Mengacu pada perjalanan sejarah tersebut NU mempunyai keyakinan bahwa di dalam membangun masyarakat Islam tidak mengharuskan menempuh jalan politik kekuasan, melainkan lebih mengedepankan perjuangan kultural. Sejak awal, tujuan perjuangan NU adalah melaksanakan syariah Islam di tingkat masyarakat, dan bukan Islamisasi negara.
Logika ini pun pernah dipakai KH Abdul Wahid Hasyim, salah satu dari panitia sembilan, yang tidak ragu mengambil keputusan untuk menghapus “tujuh kata” (“dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya”) dalam Piagam Jakarta.
Hingga sekarang pun NU masih tetap menggunakan strategi ini di dalam merumuskan hubungan antara Islam dan negara di dalam memperkokoh NKRI. Bagi NU penghapusan tujuh kata tersebut bukanlah kekalahan umat Islam dalam berpolitik, melainkan merupakan bentuk kesadaran perjuangan bahwa Indonesia haruslah menjadi rumah yang nyaman bagi siapapun, tanpa melihat latar belakang agama, suku, ras dan budaya.
Dalam upaya melebarkan sayap NU. para kyai pesantren berusaha sekuat tenaga mencurahkan tenaga, fikiran, bahkan hartanya untuk membesarkan NU. Mereka ihlas, keliling ke desa-desa, memberikan penyuluhan-penyuluhan agama, serta memberikan ceramah agama.
Sampai sekarang amaliyah-amaliyah khas NU, seperti tahlilan, shalawatan, ziarah kubur, manaqib dan lain-lain masih tetap menghiasi dan menyelimuti bumi pertiwi Indonesia, karena jasa para ulama pesantren kita.
Seandainya NU itu tidak ada bukan tidak mungkin hal-hal tersebut telah sirna bahkan akan terjadi permusuhan, perselisihan antara masyarakat yang menginginkan tradisi-tradisi tersebut dengan masyarakat yang menolaknya.
Menyiapkan Kader NU
Saat ini, persoalan paling mendasar yang harus dibenahi oleh NU adalah minimnya SDM yang dimiliki. Orang-orang NU mayoritas tak banyak fasih berbicara isu-isu kontemporer seputar politik, ekonomi maupun budaya. Pengembangan SDM mutlak menjadi langkah awal untuk menciptakan kader-kader NU yang lebih visioner dalam menatap masa depan.
Hari ini kita butuh pemikiran segar anak muda NU, Kader NU dalam membangun perekonomian, kebudayaan dan perpolitikan. Agar kedepan NU tak hanya jadi penonton (mafal bih) dan pihak pertama yang merasakan dampak buruk akibat kebijakan yang tidak pro masyarakat NU pada umumnya, namun NU harus mewarnai sejarah dan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di sini posisi NU sebagai pelaku segenap perubahan dan inovasi positif. Guna meningkatkan mutu pemikiran dari kader-kadar NU, tentunya sangat diperlukan kaderisasi untuk membangun peradaban keilmuan yang terlahir dari rahim sendiri.
Pemikiran inilah yang harus direfleksikan pengurus dan warga NU, juga Kader NU, menjelang usianya yang hampir seabad. NU mempunyai tanggungjawab sosial untuk menjawab berbagai persoalan mutakhir yang riuh dengan arus teknologi dan informasi global.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan sebenarnya sudah banyak menjawab persoalan dewasa ini, khususnya terkait masalah moral dan akhlak yang merupakan inti kehidupan berbangsa. Tetapi dalam persoalan yang lainnya, peran pesantren terasa belum maksimal, karena kader-kadernya berperan terpencar.
Seakan ingin membangunkan masyarakat NU, Cak Nur (Prof. Dr. Nurcholis Madjid) pernah menulis “seandainya Indonesia tidak dijajah kaum kolonial, maka lembaga pendidikan yang akan berdiri di Indonesia adalah Kampus Tebu Ireng, Kampus Lirboyo, Kampus Kajen, dan sebagainya.”
Ungkapan almarhum Cak Nur ini menjelaskan bahwa sejatinya kampus yang semestinya lahir di Indonesia adalah kampus yang mengakar kuat dengan tradisi keilmuan yang menancap dalam kebudayaan Indonesia.
Sebagaimana di Amerika Serikat dan negara Eropa, kampus-kampus bergengsi seperti Harvard, Yale, dan sebagainya merupakan kampus yang berawal dari “kampus kecil yang dikelola para pendeta/tokoh agama.
Kampus itu kemudian dipatenkan negara, karena nilai historisnya memberikan inspirasi dan motivasi bagi para pembelajar di kemudian hari. Terbukti, kampus-kampus di Barat kemudian menjadi “kampus raksasa” yang selalu berada di posisi teratas dalam rangking mutu kampus dunia.
Kembali Ke Pesantren
Oleh karena itu, sudah saatnya kita “kembali ke pesantren.” Kembali ke jati diri NU dengan memusatkan segala kegiatan NU di pesantren, dan berupaya mengembalikan ghirah keilmuan pesantren agar tidak hanya semata-mata memposisikan diri sebagai lembaga tafaqquh fi ad-din semata, namun perlu diimbangi dengan penguatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Semangat kembali ke pesantren,” harus mampu membawa para santri dan kader NU yang tidak saja fasih berbicara agama secara “utawi iku iki,” (tekstualis) namun mampu menumbuhkan kader dan proses kaderisasi NU yang dapat mengimplementasikan kitab kuning dan memadukannya dengan dinamika perkembangan zaman yang terus mengglobal.
Oleh karenanya, NU perlu merumuskan kembali pola penampilannya di masa depan, dengan mengacu pada:
Pertama, NU harus melakukan pembenahan secara radikal kondisi internal organisasinya yaitu menempatkan kembali masing-masing institusi pada kedudukan yang semestinya. Syuriyah sebagai penanggung jawab yang sesungguhnya dalam tata organisasi NU hendaknya lebih berperan secara aktif untuk melakukan pembimbingan terhadap perjalanan organisasi. Kritik, saran dan dukungan sangat dibutuhkan lahir dari pemikiran dan perenungan para ulama yang berada di dalam lingkaran lembaga kesyuriyahan.
Lembaga kesyuriyahan bukan sekadar etalase untuk menampilkan citra keulamaan NU akan tetapi adalah sebagai pemegang mandat perjalanan organisasi NU. Lembaga tanfidziyah adalah sebagai aparat yang menjalankan roda kebijakan organisasi berdasarkan bimbingan dan arahan ulama.
Ulama sebagai kelanjutan meneruskan tugas-tugas sahabat Nabi dilukiskan ashhabi kan-nujům biayyihim iqtadaitum ihtadaitum, sahabat-sahabatku laksana bintang-bintang, dengan siapa kamu mengikutinya, maka kamu akan memperoleh petunjuk.
Kedua, menumbuhkan semangat kolegial di kalangan pengurus sehingga yang tampil ke depan adalah kebersamaan suara. Siapapun yang tampil keluar baik di media massa maupun forum-forum nasional dan internasional adalah lebih menonjol pada NU-nya, bukan pada pribadi pribadi. Hal ini akan sangat membantu sekaligus sebagai wahana kaderisasi untuk melatih munculnya kader-kader pemimpin NU di masa depan.
Sangat disayangkan, manakala muncul kesan bahwa para kader NU sebagai pelanjut kepemimpinan NU muncul secara tiba-tiba tidak melalui persiapan yang matang dan proses tahan uji dalam memberikan respon terhadap persoalan keummatan, kerakyatan dan kebangsaan. Di sinilah kaderisasi berkelanjutan dibutuhkan.
Ketiga, kembalinya komitmen jamaah terhadap NU akan berbanding lurus dengan komitmen NU untuk memperjuangkan persoalan keummatan di lapisan akar rumput. Kebodohan, kemiskinan, ketidakdilan adalah merupakan persoalan-persoalan klasik yang diderita oleh warga jam’iyah khususnya di lingkungan perdesaan.
NU hendaklah mengambil peran dalam melakukan proses pemberdayaan masyarakat schingga warga kembali memperoleh hak-hak dasarnya dari dampak marjinalisasi modernisasi.
Komitmen NU terhadap khittahnya, kembali meneguhkan perhatiannya dalam melakukan perkhidmatan terhadap umat, rakyat dan bangsa akan menjadi modal penting menatap perjalanan NU di masa depan.
Kaderisasi Berkelanjutan
Dilihat dari segi kuantitas warga NU memang begitu banyak dan mayoritas penduduk Indonesia adalah NU. Namun seiring berjalannya waktu bukan tidak mungkin penerus bendera NU ini akan hilang sedikit demi sedikit, kalau kita tidak menyiapkan kader NU dan kegiatan kaderisasi untuk mempertahankan dan melestarikan tradisi NU yang berpaham Aswaja.
Kaderisasi merupakan salah satu upaya dalam menyiapkan kader NU yang terlatih dalam menghadapi tantangan di era globalisasi. Dengan adanya kaderisasi terhadap pemuda-pemudi NU, maka tradisi Aswaja akan tetap lestari dan berjalan di bumi Nusantara ini, karena sesungguhnya pemuda merupakan simbol bagi keberhasilan suatu bangsa dan organisasi sebab di tangan merekalah kemajuan akan terwujud, sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Musthafa Al-Ghulayani dalam kitab Idzatun Nasyiin.
إن في يد الشبان أمر الأمة وفي إقدامهم خبائها
Sesungguhnya di Tangan Kaum Mudalah Maju Mundurnya Suatu Bangsa dan Dalam Derap Langkah Mereka Pula Kejayaan Bangsa Itu Akan Terwujud.
Para pemuda atau kader NU memegang peranan penting dalam mengawal dan meneruskan ajaran Aswaja Al Nahdliyah di tengah gencarnya serangan-serangan ideologi transnasional yang menawarkan ideologi impor yang anti tradisi dan nasionalisme ini. Kampus-kampus harus diselamatkan dari pengaruh ideologi semacam itu.
Oleh karenanya perlu adanya kegiatan kegiatan mahasiswa yang merujuk pada tradisi dan amaliyah NU di setiap kampus yang ada, baik kampus negeri maupun swasta. Terlibih kampus Islam yang berafiliasi pada NU, di sini wajib ada upaya Menyiapkan Kader NU.
Hari ini, kita menyaksikan bahwa dalam amaliah sehari-hari termasuk dalam ibadah, terdapat perbedaan yang tipis antara yang benar dan yang salah, karena itu para ulama (tokoh NU dan kiai pesantren) terus berupaya menjaga agar para santri dan warga NU berhati-hati dengan jebakan tersebut. Bimbingan seorang guru, mursyid atau kiai pada umat menjadi sangat penting untuk menghindari pengerjaan amalan yang sia-sia seperti itu. Aktivitas berkedok agama tetapi untuk tujuan duniawi semata.
Di sinilah pentingnya Menyiapkan Kader NU & kaderisasi di tubuh NU untuk menegakkan moralitas dan nilai-nilai yang diajarkan oleh para wali dan ulama sepanjang sejarah Nusantara. Ajaran dan hikmah yang diamalkan para ulama terdahulu itu sangat penting justeru dalam situasi globalisasi yang serba tidak menentu saat ini.
Fikrah dan Harakah NU
Dalam kondisi yang serba tidak menentu ini, NU harus selalu berpijak pada pemikiran (fikrah nahdliyah) dan gerakan (harakah nahdliyah). Keduanya menjadi garis atau pegangan yang harus dipedomani warga NU. Pada aspek pemikiran, NU memegang apa yang disebut dengan tawassuthiyah (moderasi), tathawwuriyah (dinamisasi), dan manhajiyah (metodologi).
Moderat artinya tidak terlalu tekstual, juga tidak terlalu liberal. NU adalah organisasi yang berpikir dinamis sebagaimana jargon al-mubafadhatu ala al-qadimis al-shalih wa al-akhdzu bi al-Jadid al-ashlah (melestarikan tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Dalam proses dinamisasi tersebut, NU harus berpedoman dengan metodologi atau manhaj yang jelas,
Dari sisi gerakan, NU mengedepankan himayah (perlindungan) dan ishlahiyyah (perbaikan). NU harus menjaga ajaran Aswaja yang mengedepankan sikap-sikap toleran, moderat, dan adil. NU perlu melakukan perbaikan-perbaikan, al-Muhafadhatu ala al-qadimis al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashláh, menurut saya ini kurang inovatif, hanya menjaga dan mengambil. Motto ini mesti ditambah dengan al-ishlah ila må ghair al-ashlah (memperbaiki apa yang belum menjadi lebih baik).
Tapi yang perlu diingat bahwa apa yang lebih baik juga tidak seterusnya baik. Baik hari ini belum tentu baik nanti. Jadi harus ditambah lagi tsumma al-ashlah fal ashlah (perbaikan terus menerus). Imam Izzuddin Abdus Salam mengatakan bahwa orang yang mengabaikan inovasi berarti tak paham soal keutamaan perbaikan. Garis-garis tersebut dengan sebutan mabadi’ nadliyah (dasar-dasar ke-NU-an).
Penguatan Tradisi dan Budaya
Kita harus senantiasa memberikan penjelasan-penjelasan bahwa budaya-budaya lokal bisa diadopsi menjadi bagian dari hukum syariah sepanjang budaya dan adat-istiadat tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam (al-‘adah muhakkamah malam yukhalif al- syar’a). Dengan kata lain, proses akulturasi budaya atau sinkretisme budaya dan agama sangat mungkin terjadi dalam ajaran Islam.
Contoh paling kongkret dalam hal ini adalah prosesi tahlil atau kita mengenalnya dengan sebutan “tahlilan” untuk mendoakan orang meninggal dunia yang diambil dari tradisi budaya pra-Islam sebagai wadah, digabungkan dengan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an, shalawat serta dzikir pada Allah yang sangat dianjurkan oleh ajaran Islam, sebagai isi dan substansi dari acara tahlil itu sendiri.
Tradisi tahlilan adalah gabungan sekaligus ramuan kreatif antara budaya di satu pihak dan ajaran agama di pihak yang lain. Sebagai budaya, proses tahlilan dari awal hingga akhir (selama tujuh hari berturut-turut, dilanjutkan di hari ke 40, 100 hari bahkan sampai ke peringatan tahunan/ haul) merupakan infrastruktur yang berfungsi menguatkan sekaligus mengokohkan pelaksanaan syariat Islam dalam arti membaca fragmen fragmen penting dari ayat-ayat suci al-Qur’an.
Dengan demikian, tahlilan merupakan gabungan antara tradisi lokal dengan ajaran Islam yang kemudian telah menjadi ibadah ghairu mahdhah yang tak bisa dipisahkan dari masyarakat Indonesia. Itulah implementasi dari kaidah fiqh al-‘adah muhakkamah tersebut. Masyarakat Islam di Kabupaten Kudus, Jawa tengah punya tradisi yang unik: mereka tidak memakan daging sapi sampai saat ini karena ingin menghormati para tetangganya yang beragama Hindu.
Tradisi itu merupakan warisan yang telah turun temurun dilestarikan Sunan Kudus. Sunan Kudus sangat menghormati tradisi dan budaya masyarakat Hindu yang menganggap sapi sebagai hewan yang suci. Maka, sampai saat ini, sebagai bagian dari menjaga tradisi dan menghargai keragaman dengan semangat toleransi, masyarakat Kudus tidak pernah memakan daging sapi.
Banyak contoh lain dari meminjam istilah Gus Dur – keberhasilan pribumisasi Islam di bumi nusantara ini. Sultan Agung sebagai raja tanah Jawa ketika menggabungkan kalender hijriyah ke dalam kalender Jawa adalah contoh kreasi yang berhasil memberi pemahaman kultur Islam pada rakyat bawah di pedalaman Jawa.
Islam menyebar di bumi nusantara ini berlangsung secara gradual: pelan tetapi berjalan dengan pasti. Tahap pertama, biasanya hanya berupa konversi menjadi muslim nominal (katakanlah, Islam KTP) terlebih dahulu.
Baru kemudian pada tahap kedua, mulailah proses pematangan pemahaman Islam (ortodoksi) setelah memperoleh dukungan infrastruktur berupa budaya lokal. Di sinilah letak kecerdasan para wali dan pengajar Islam masa-masa awal yang memahami sosilogi dakwah dengan memeperhatikan karakter dan kultur masyarakat setempat.
Contoh lain, meskipun Kesultanan Demak atau Keraton Mataram amat berperan dalam penyebaran Islam, tetapi tidak serta-merta langsung memberlakukan syariah Islam pada seluruh penduduknya. Mengapa? Cara gradual mengandaikan, ajaran Islam lebih baik tumbuh sebagai bentuk kesadaran masyarakat (bottom-up), daripada dipaksakan lewat peraturan peraturan dari atas (top-down).
Dengan cara gradual dan akulturatif ini, Islam diterima sebagian besar penduduk tidak dengan menciptakan masyarakat nusantara yang terbelah sebagaimana terbelahnya antara orang Hindu dengan Muslim di India. Nyaris tidak ada konflik. Islam tersebar dengan sejuk dan damai.
Tradisi-tradisi dan amaliyah seperti inilah yang wajib terus kita bela dan pertahankan demi keberlangsungan ajaran Aswaja Al Nahdliyah di Nusantara. Serangan-serangan terhadap tradisi amaliyah NU harus dihadapi dengan cara yang baik (ma’ruf) dan bijak (bil hikmah). Dan itu semua harus dipersiapkan untuk Menyiapkan Kader NU dengan kaderisasi yang matang.
~Dinukil dari tulisan Prof. Dr. KH Said Aqil Siradj, M.A., Ketua Umum PBNU oleh Admin Utama Situs Islam Aswaja NU Cilacap Online, dengan penyesuaian judul dan sub-judul.