Film “Kecele” Fatayat NU: Pernikahan dan Paradoks “Sudah Pantas”

NU CILACAP ONLINE – Film pendek “Kecele” yang diproduksi oleh Fatayat NU seperti merefleksikan kembali bagaimana pernikahan bukanlah sesuatu yang mudah dijalani di abad ke-21 ini.

Sebab pernikahan sendiri seperti waktu, ia akan terus berjalan sesuai dengan ketepatan. Sama halnya seorang yang benar-benar layak dalam menjalani hubungan pernikahan, “ sudah pantas” bukan berarti sudah pasti layak dalam menjalaninya, ditambah jika itu melibatkan anak muda masuk dalam hubungan pernikahan sudah pasti akan banyak hal yang dikorbankan.

Alur Film Kecele

Alur kisah Film pendek “Kecele” Fatayat NU yang tayang di Youtube PP Fatayat NU di tengah banyaknya gerakan menikah muda yang tidak sedikit dikampanyekan lewat media social dewasa ini, layaknya tamparan bagi pemikiran generasi muda merekontruksi kembali pemikirannya tentang konsekwensi pernikahan bagi anak muda dengan sejumlah resiko.

Bagaimana tujuan dari adanya kampanye “nikah muda” jika dipahami tidak lain sebatas alasan yang pragmatis tidak pada esensi dasarnya yakni berdalih nikah muda demi anak muda tidak terjerumus pada perbuatan yang melanggar agama seperti zina.

Maka tentang pernikahan, mungkinkah menikah sesederhana itu? Pandangan tokoh Yuni dan Parjo dalam Film pendek “Kecele” Fatayat NU menjadi probelma yang dihadapi anak muda, disamping pemikiran konservatif orang tua yang berpikir praktis mengenai pernikahan yang dianggap sebagai sebuah keringanan beban keluarga.

Apakah benar menikah di zaman sekarang dapat meringakan beban keluarga tidak justru menambah beban? Dalam Film pendek “Kecele” Fatayat NU juga tidak luput bahwa masalah pernikahan anak muda harus dibayar mahal pada masa depan anak itu sendiri dalam melanjutkan pendidikan dan karir.

Sebab saat ini pendidikan merupakan upaya nyata keluarga keluar dari kemiskinan namun tidak semua generasi tua saat ini menyadarinya dan masih banyak yang berpikir menikahkan anak semuda mungkin dapat meringankan beban keluarga padahal kenyataannya pernikahan di abad ke-21 dengan berbagai tantangannya hal itu tidak dapat dijadikan dasar alasan pernikahan muda.

Pernikahan dan Segala Paradoxnya

Disisi lain harapan tinggi akan pernikahan secara social yang dibentuk komunitas masyarakat konservatif menjadi akhir dari perjalanan hidup manusia seperti masih berlaku di berbagai komunitas masyarakat.

Tetapi kenyataannya saat ini merupakan paradox social yang mana pernikahan sendiri dapat diasosiasikan pada sebagai representasi kebahagiaan, ekonomi yang lebih baik, namun jika dihadapkan pada realitas hidup tidak semudah mewujudkan itu dengan tantangan kehidupan yang lebih berat di abad 21 membangun keluarga dengan segenap kebutuhannya akan sandang, pangan dan papan yang semakin hari semakin mahal biayanya.

Maka ketika berbicara tentang pernikahan di usia muda, itu memang bukan sebuah pelanggaran social maupun bertentangan dengan norma-norma kepatutan moral di adab ke-21. Jika memang secara umur memenuhi syarat minimal yang ditentukan Negara Indonesia, di mana usia minimal pernikahan bagi wanita maupun pria sama 19 tahun menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak itu sudah sah untuk dilakukan.

Baca juga  Childfree Rasional: Bagaimana Menurut Pandangan Islam?

Karena pada dasarnya, tentang pernikahan, semua kembali sebagai bagian dari hak asasi manusia, yang harus dijunjung atas kebebasan pribadi manusia diera millennium ketiga seperti saat ini yang menjujung tinggi demokratisasi pada pilihan hidup masyarakat.

Nikah muda atupun nikah tua, bahkan mungkin tidak menikah sekalipun, merupakan hak dari masing-masing orang yang tidak dapat dikebiri secara social atas nama pandangan subyektif masing-masing.

Tetapi di tengah keterbukaan informasi, di mana media social semakin maju dalam memfasilitasi kehidupan manusia ber-eksistensi dengan memamerkan sebuah foto atau narasi kata-kata ajaib sebagai sebuah pembenaran dari sebuah pernikahan, maupun pembagian informasi atas moment-momonet hidupnya, yang layak untuk dibagikan kepada public media social yang menarik bahkan untuk anak-anak melakukan pernikahan.

Mungkinkah menikah muda menjadi jawaban dari kegelisahan-kegelisahan di antara jawaban krisis pribadi dan ekonomi bagi anak muda saat ini di abad ke 21, yang semakin ditantang pada perubahan hidup yang sangat cepat?

Baca juga Judi Online, Harapan, Candu dan Kemiskinan

Media Sosial dan Tawaran Pernikahan

Kenyataannya di ranah media social tentang permenikah dan inisiatif pernikahan di abad ke-21, seakan-akan adalah sebuah tendensi tren bagi anak muda dalam memaknai eksistensinya tanpa menggali kembali potensi diri yang ada.

Tak jarang mereka yang terbuai dengan pernikahan di usia muda berharap memaknai pernikahan dengan sejumlah tawaran kebahagiaan akan gemilangnya pesta pernikahan yang saling memprovokasi di media sosial. Selain itu pandangan konservatif masyarakat yang masih terbelakang juga mengampangkan pernikahan sebagai solusi ekonomi, apakah semua itu dapat dibenarkan?

Kenyataannya kini dengan majunya media social, tren menikah diabad ke-21 seperti sebuah perlombaan, bahkan dengan adanya media social yang menayangkan konten pernikahan.

Tidak jarang dari mereka berlomba-lomba menyajikan apa hal terbaik dalam pesta perkawinannya seperti tatanan dekorasi atupun baju perkawinan yang dipandang dapat menjadi sebuah pembeda dengan yang lain dikalangan anak muda yang terobsesi pernikahan.

Untuk itu dan yang patut direnungkan dalam memaknai hidup ini dengan berbagai tawaran tentang hidup itu sendiri yang dihadapkan pada pilihan. Mungkinkah pemberhentian dari sebuah realitas keganjilan dalam hidup yang serba paradoks, berhenti dengan impian pernikahan semata dibalik indahnya gaun dan kostum pernikahan ramah media social atau sebagai ajang pemuasan nafsu dan alasan ekonomi?

Apakah alasan megabadikan pernikahan sebagai sebuah moment seumur hidup bisa menjadi rujukan awal sebuah pernikahan yang nyaris sempurna, tanpa ada tantangan pernikahan yang umumnya harus dijalani dengan janji sampai tua, bahkan lebih esensial dari itu sampai maut memisahkan?

Konsekwensi Pernikahan

Dibalik isu pernikahan yang sangat mudah mempunyai peluang ke arah perceraian dengan dalih konflik dan ketidak siapan mental dan finansial di abad ke-21 ini bagi anak muda. Inilah pertanyaan yang tentu mengganjal.

Banyak orang muda rela impiannya hanya berhenti di altar pernikahan yang menginginkan pembawaan diri bak cinderela dan pangeran negri dongeng buatan itu, dengan usaha dan kerja keras mencari uang selama hidup mereka untuk mengaksesnya pra pernikahan demi sebuah pesta pernikahan yang menjanjikan atau dengan anak muda yang berharap orang tua mencukupi biaya pernikahnnya.

Di mana biaya pernikahan sendiri banyak dari mereka sampai mengahbiskan puluhan bahkan ratusan juta, yang umumnya hanya dihabiskan beberapa saat saja dengan dalih moment sekali seumur hidup.

Alasannya mengingat moment pernikahan harus menjadi ritus yang paling sacral dengan pernak-pernik kemewahan gaun untuk diperlihatkan bukan hanya di pelaminan tetapi juga di akun media social mereka sebagai bahan pengisi beranda yang patut dibagian sebagai bagian dari lompatan hidup yang masih terbuai dengan tujuan hidup sebatas pernikahan.

Bahkan yang terasa lebih ganjil yaitu ilusi dari pra pernikahan dengan sejumlah konsep pernikahan yang di idamkan anak-anak muda abad ke-21 ini.

Justru kebanyakan, mereka berpikir tentang pesta pernikahannya, bukan focus dari bagaimana kehidupan pasca pernikahan, yang menjadi pekerjaan rumah besar bagi dua insan yang akan saling bekerja sama nantinya membangun bahtera rumah tangga dengan berbagai tantangan ekonomi, social dan finansial yang semakin banyak tantangan kedepan.

Barangkali, semua mungkin sudah menyadari bagaimana sulitnya membangun keluarga di abad 21 ini dengan sejumlah kebutuhan hidup yang tinggi dengan ketidakpastian ekonomi yang mapan dan terjamin di masa depan.

Belum dengan masalah pekerjaan yang nyaris menyita banyak waktu diera serba maju seperti sekarang, baik dalam system kerja industrialisasi maupun pasar-pasar digital, yang menampakan sebuah efesiensi dunia kerja memungkinkan tenaga kerja manusia terus tergerus dengan system, yang pekerja nyaris dipingirkan dengan adanya akses teknologi pada peranan dunia kerja dengan upah yang semakin minim.

Disisi lain, system dari kerja sendiri saat ini, di mana bangunan jaminan pekerja sangat rapuh dengan tidak adanya kepastian kelanggengan kerja yang menjajikan dengan system yang sudah umum seperti alih daya, maupun pegawai dengan hanya berupah minimum regional, hanya cukup untuk akses ekonomi diri saja, tentu menjadi masalah tersendiri yang harus dipikir secara matang memandang sebuah bangunan pernikahan dan jaminan atas sejahteranya keluarga di masa depan.

Diabad ke-21, pandangan akan pernikahan dengan berbagai kompleksitas masalahnya yang harus mampu dihadapi oleh anak-anak muda sekarang. Kenyataannya bukan lagi pada “disandarkan” egoism pribadi, hidup, kerja, lalu beranak pinak kemudian mati.

Lebih dari itu, kesadaran akan pernikahan sendiri bagi anak muda yakni membuka peluang untuk dapat hadirnya satu atau dua bahkan lebih manusia baru lahir di dunia, yang juga harus dicukupi semua kebutuhannya.

Hidup secara layak, selayak bagaimana abad ke-21 ini mengubah prilaku dan cara pandang manusia meredefinisi dunia baru menurut pandangan-pandangan social yang terus bertransformasi dengan gaya hidup yang cepat berubah

Tetapi, apakah benar ada keluarga yang benar-benar ideal, bagaimana menata sebuah anggota keluarga sesuai dengan apa yang diharapkan serta ilusi akhir dari sebuah cerita pernikahan diabad ke-21 ini yang di tafsirkan oleh banyak anak muda?

Tantangan besar sebuah keluarga diabad ke-21 yang mesti dijalani dengan segenap kesadaran penting dari dalam diri, bukan hanya sebagai trand memandang pernikahan karena usia serta tuntutan social yang sering banyak dijumpai pertanyaan tentang kapan pernikahan itu dilangsungkan bagi para lajang.

Realitanya, sebuah keluarga yang terlahir dari pernikahan yang sedang dijalani oleh banyak manusia kini adalah sebuah pembagian kerja yang sama sekali tidak ideal dengan konsekwensi masing-masing peran yang dijalaninya.

Di lingkungan tempat tinggal baik di desa maupun kota, ada penafsiran ulang bagaimana sebuah keluarga itu dijalankan perannya dengan sisi keterbatasan akan kukungan ekonomi dan kondisi sosial.

Film Kecele
Ketua Umum PP Fatayat NU, Anggia Ermarini mengatakan film berdurasi 13 menit yang merupakan Kerjasama Fatayat NU dengan BKKBN

Seorang buruh urban, harus menyadari bahwa berkumpul dengan keluarganya merupakan hal yang tersulit dilakukan dengan waktu yang optimal. Sehingga peran mutlak dalam keluarga harus dikendalikan oleh satu orang antara istri atau pun suami dirumah menjaga seorang anak untuk salah satunya mencari nafkah keluarga.

Banyak terjadi seorang suami di desa harus merantau ke kota besar bekerja disana dan istri harus seraba bisa mengurus keluarga di rumah. Atau pergantin peran antar gender yang saat ini menjadi hal yang lumrah terjadi, bahwa laki-laki juga harus siap menjadi suami rumah tangga, di mana istri menjadi TKW di luar negri.

Begitu pun cerita para pekerja di perkotaan yang harus siap melemparkan hak asuh anak pada asisten rumah tangga jika masing-masing dari mereka suami-istri sama-sama bekerja untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya.

Namun banyak kasus jika ada peran yang optimal dalam keluarga, di mana keluarga dapat berkumpul sebagai bagian dari keluarga yang utuh, dihadapkan pada masalah ekonomi yang mungkin tidak dapat memberi pengharapan lebih pada kualitas dan tumbuh kembang anak mereka.

Pernikahan abad ke-21, sisi lainnya meruapakan tragedy yang harus disadari sebelum berangan-angan untuk menjalankan sebuah pernikahan tanpa konsep dasar membangun keluarga yang sejahtera dan bahagia.

Tidak jarang karena lompatan peran dalam keluarga tersebut, menjadi cikal dari bakalnya perceraian yang salah satunya diakibatkan oleh masalah ekonomi atau pun adanya persepsi budaya tradisionalis pernikahan yang masih dipegang dalam keluarga, sehingga menciptakan sebuah konflik baru dalam perceriaan; salah satunya masih terbelenggu budaya patriarkis dan egoisme gender berdasar latar belakang pemenuhan ekonomi yang dihitung personifikasi dalam keluarga.

Tafsir Ulang Pernikahan

Kembali, sisi paradox pernikahan adalah hal nyata yang harus diperhatikan peranannya sebelum seseorang memutuskan menikah apalagi jika itu dilakukan oleh anak-anak.

Sudah pantas bukan berarti layak dan mampu menjalani pernikahan jika tidak ada keterbukaan pemikiran memandang isu-isu membangun keluarga di abad ke-21 yang tentu kompleks akan permasalahan yang mungkin akan terjadi baik secara personal maupun dihadapkan dengan social.

Untuk itu pertama-tama yang harus diperhatikan dari pernikahan merupakan kehendak dan keputusan pribadi, yang memang sebelumnya sudah dipikir secara matang konsekwensinya berserta siap dalam berbagi peran keluarga.

Siapa yang nantinya akan mengurus anak dirumah, yang bekerja, dan mendidik anak-anak. Jika sama-sama bekerja mampukah membayar asisten rumah tangga? Atau jika asisten rumah tangga pun tidak mampu membayarnya. Apakah siap orang tua juga ikut mengasuh cucu-cucunya kelak sama halnya keluarga muda juga harus sadar sebelumnya berpotensi menjadi sandwich gereration?

Namun jika pertanyaan semua tantangan itu tidak terjawab juga bagaimana, mungkinkah anak muda siap menjalani pernikahan tanpa anak? Jika menikah lebih memberatkan hidup, siapkah untuk menjadi lajang selamanya bagi anak muda?

Dengan tantangan yang mungkin akan terjadi di pernikahan, sudah layak seperti kata-kata yang menjebak, yang pada intinya semua dikembalikan pada diri, sudahkah rela mempraktikan sebauah cara hidup baru yang akan dijalani ketika menikah dengan keluarga yang harus dibangun dengan layak?

Film “Kecele” Fatayat NU dan Pesan Pernikahan

Itulah, pernikahan merupakan kerelaan seorang manusia untuk menjadi manusia yang berbeda, di mana manusia itu sudah tidak hanya berpikir mencukupi kebutuhannya sendiri tetapi harus benar-benar rela berbagai dengan yang lain tidak hanya ekonomi.

Tentu pernikahan itu lebih, menikah yakni berbagi peran atas pelayanan hidup yang lebih mendasar seperti rela menjadi pelindung tanpa menyusahkan mereka anggota keluarga, meski diri manusia jungkir balik mempertahankan hidupnya sendiri dengan kesusahan yang dihadapinya.

Kembali pesan-pesan yang disampaiakn dalam Film pendek “Kecele” yang di produksi Fatayat NU sepertinya memang sudah selayaknya menjadi pembanding dari informasi yang sangat murah tentang pernikahan usia muda saat ini dengan berbagai konsekwensi yang harus dihadapi.

Bawasannya membangun pernikahan harus dimatangkan baik mental, finansial, serta kesiapan masuk dalam social yang lebih luas membangun keluarga yang sehat, sejahtera, dan bahagia.

Jangan sampai pernikahan sebagai akhir dari tawaran perkembangan diri usia muda yang masih terbuka lebar membangun kematangan diri memandang kesejahteraan diri yang nantinya dari diri berkontribusi untuk keluarga terputus, menjadikan keluarga yang kekurangan dan rentan pada kemiskinan di masa yang akan datang.

Untuk itu mengatur kapan waktu yang tepat untuk menikah dan membangun keluarga juga dapat dikatan sebagai upaya manusia keluar dari jerak kemiskinan structural yang harus diwariskan ke setiap generasinya. Maka menikah usia muda tanpa persiapan sebelumnya merupakan suatu kesalahan yang harusnya dapat dihindarkan. [Toto Priyono]

Baca Juga >> Pusaka Sakinah, Kankemenag Gandeng Fatayat NU Cilacap

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button