Memperkuat Literasi Zakat Masyarakat – NU Cilacap Online
NU Cilacap Online – Bagaimana cara memperkuat literasi zakat masyarakat? Artikel yang ditulis oleh Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftakhul Achyar berikut ini menjelaskan masalah literasi zakat masyarakat dan bagaimana langkah-langkah memperkuat nya.
Zakat, Investasi Spiritual
Zakat merupakan intitusi ajaib dan salah satu pilar utama (rukun) dalam Islam. Istilah zakat, yang berasal dari Al-Qur’an, sulit diterjemahkan ke dalam bahasa lain secara tepat dan pas. Sebab, institusi ini bukan sekedar derma atau kemurahan hati. Juga bukan sekedar pemberian sedekah, pajak, dan sebagainya. Bukan pula berarti sekedar pernyataan dari budi baik.
Tapi semuanya menyatu, bahkan lebih dari itu. Zakat juga bukan sekedar potongan dengan prosentase yang pasti dari satu kekayaan.Tapi justru merupakan investasi spiritual dan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melimpahkan rahmat-Nya.
Ia bukan semacam pemberian sukarela kepada seseorang. Bukan juga semacam pajak yang ditetapkan oleh pemerintah dan orang licik dengan berbagai cara berusaha mengelakkannya. Namun, lebih dari itu.
Zakat adalah kewajiban dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada semua orang Islam. Karena itu, ia tidak saja berwujud kemurahan dan kebaikan hati, sedekah, pajak hasul bumi, pajak pemerintah, pemberian sukarela dan sebagainya. Tapi semua dikombinasikan dengan arah ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, mindedness (rasa dekat-taqarrub pada Allah) serta mempunyai motif moral dan spiritual.
Secara sederhana, zakat berarti kesucian. Namun, secara teknis, pengertiannya adalah “kewajiban seorang muslim mendistribusikan secara benar dan bermanfaat (atas) sejumlah barang atau uang”. Memang pembayaran zakat ditentukan dengan persentase tertentu atas kekayaan. Sebab, muzakki sesungguhnya tak memiliki hak secara moral maupun hukum Islam atas bagian itu (zakat yang dikeluarkan).
Kata zakat, menurut terminologi para fuqaha, dimaksudkan sebagai “penunaian”. Yakni, penunaian hak yang wajib yang terdapat dalam harta. Zakat juga dimaksudkan sebagai bagian harta tertentu dan yang diwajibkan oleh Allah untuk diberikan kepada fakir-miskin.
Itulah zakat yang juga berarti peningkatan dan pertumbuhan. Karena ia mengantarkan kepada peningkatan kesejahteraan di dunia dan pertambahan pahala (tsawab) di akhirat. Ia juga diartikan suci karena menyucikan pelakunya dari dosa-dosa.
Dasar Hukum Zakat
Dasar hukum antara makna zakat secara bahasa dan istilah ini berkaitan erat sekali. Yaitu, bahwa setiap harta yang sudah dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, bersih, baik, berkah, tumbuh dan berkembang. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur’an:
خذ من أموالهم صدقة تطهرهم واتركيهم بما وصل عليهم ان صلولك سكن قلم والله سميع عليم والتوبة
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan mendoakan mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS At-Taubah: 103)
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah, pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)” (QS. Ar-Rum: 39).
Baca juga LAZISNU Cilacap Luncurkan Program Ta’awun Card POROZ
Nilai Spiritual Zakat
Secara religius, zakat mempunyai kepentingan spiritual yang amat mendalam. Yaitu, nilai kemanusiaan dan nilai sosio-politik. Nilai zakat itu, barangkali bisa dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, zakat menyucikan kekayaan manusia dalam arti membersihkan kekayaan tersebut dari bagian yang sebetulnya bukan miliknya. Bagian itu harus didistribusikan secara tepat dan bermanfaat. Bagian yang bukan haknya itulah yang ditentukan dengan persentase tertentu.
Jika seorang muslim ingkar, berarti ia secara terang benderang telah menguasai sesuatu yang bukan haknya. Hal itu termasuk korupsi dan perampasan menurut pandangan moral, spiritual, dan hukum. Ia telah terang-terangan melanggar hukum dan melakukan perbuatan yang kotor. Namun, jika hak orang miskin itu disampaikan dan didistribusikan secara bermanfaat, maka sesungguhnya bagian yang ia miliki tak berkurang. Malahan menjadi suci dan layak.
Kedua, zakat bukan sekedar menyucikan kekayaan, tapi juga menyucikan hati dari rasa mementingkan diri sendiri (egoistis), serta rasa tamak pada harta. Juga, menyucikan mustahik dari rasa dengki dan iri hati, kebencian serta membersihkan dari keresahan. Lalu mendidik hati, kehendak dan hasrat bagi si muzakki.
Akibatnya, masyarakat menjadi tenang serta terbebas dari pertentangan kelas dan keresahan. Juga, terbebas dari rasa curiga dan sakit hati. Terbebas dari korupsi, disintegrasi dan kejahatan apapun.
Ketiga, zakat dapat digunakan untuk meringankan beban penderitaan fakir-miskin dalam masyarakat, sekaligus bentuk keamanan internal yang paling sehat untuk melawan egoisme dan keserakahan serta perselisihan sosial. Juga, sebagai manifestasi semangat spiritual dan kemanusiaan serta interaksi yang penuh tanggung jawab sosial antara muzakki dan mustahik (individu dan masyarakat). Ini sekadar ilustrasi yang jelas bahwa zakat sebagai rukun Islam membuktikan Islam tidak merintangi kepemilikan kekayaan pribadi.
Namun, Islam tidak membolehkan sifat egois dan serakah sebagaimana faham kapitalisme Islam menerima kepemilikan secara pribadi secara moderat, yang merupakan jalan tengah yang positif dan efektif antara individu dengan masyarakat. Antara kapitalisme dengan sosialisme. Antara materialisme dan spiritualisme.
Keempat, zakat sebagai rukun Islam ketiga, di samping sebagai ibadah dan bukti dari ketundukan seseorang kepada Allah, juga mempunyai fungsi sosial yang sangat besar sebagai satu tonggak perekonomian Islam. Jika penerimaan, pengambilan maupun pendistribusian zakat dapat terkelola dengan baik, maka akan mampu mengentaskan kemiskinan dan mengangkat derajat kesejahteraan fakir miskin.
Shalat dan Zakat
Di antara rukun Islam, zakat merupakan rukun Islam yang terpenting setelah shalat. Karenanya, sekian banyak ayat al-Qur’an menggandengkan perintah shalat dengan perintah zakat. Ia disebutkan sebanyak 82 kali dalam al-Qur’an dan dalam banyak hadits Nabi
Kelima, falsafah yang menjadi dasar adalah segala kekayaan yang ada di bumi ini tidak lain milik Allah. Sehingga, seorang muslim tidak boleh hanya memikirkan kepentingannya sendiri, melainkan. harus memiliki kepekaan sosial terhadap orang-orang yang membutuhkan. Oleh karena itu, setiap muslim wajib membayar zakat mál (harta) sebesar 2.5% dari kekayaannya untuk orang-orang yang memerlukan.
Salah satu rukun Islam yang sering diabaikan dan ditinggalkan adalah zakat, terutama zakat harta. Karena, manusia memang diciptakan memiliki watak asli berupa sifat kikir, sehingga enggan untuk berbagi harta yang mereka miliki kepada orang yang berhak.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Manusia itu menurut tabiatnya kikir” (QS. An-Nisa’: 128)
Padahal zakat pada hakikatnya adalah hak para mustahik, terutama kaum fakir dan miskin yang harus diberikan. Hal ini sebagaimana penegasan Allah Subhanahu wa Ta’ala: Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian” (QS. Az-Zariyât: 19)
Dari ayat di atas dapat kita ketahui bahwa orang yang tidak membayar zakat pada hakikatnya adalah orang yang telah merampas hak fakir miskin. Karena itu, tidak berlebihan jika Syaikh Mutawalli Al-Sya’rawi pernah menyatakan, “Jika kamu melihat di negara Muslim banyak orang fakir dan miskin yang terabaikan, maka ketahuilah bahwa di sana banyak orang kaya yang telah mengambil hak mereka”.
Baca juga Pengertian Wakaf, Rukun, Syarat, Harta Dan Pahala Wakaf
Masyarakat Sadar Zakat
Pengetahuan umat Islam yang kurang terkait zakat, terutama dalam keuangan kontemporer seperti saat ini, menjadi faktor penambah hilangnya potensi besar zakat di Indonesia. Karena potensi zakat yang besar itu menjadi tidak dapat terhimpun secara maksimal.
Banyak masyarakat yang hanya menganggap zakat terbatas pada zakat fitrah, peternakan dan pertanian saja. Masih banyak masyarakat yang belum memahami beberapa kewajiban dan perhitungan zakat dalam perniagaan, tabungan dan deposito, saham dan investasi lainnya, serta beberapa objek zakat kontemporer lainnya.
Masyarakat memerlukan banyak pencerahan agar dapat lebih memahami seluk-beluk zakat, terutama hal hal yang terkait dengan zakat keuangan kontemporer. Sehingga, mereka dapat tergugah untuk menunaikan zakat yang telah menjadi kewajiban mereka. Dengan demikian, potensi zakat yang sangat besar di Indonesia dapat terkumpul dengan baik dan memberikan kontribusi besar dalam pengentasan kemiskinan yang ada.
Sumber : Majalah Risalah Edisi 130 Tahun XVI 1443H Juni 2022