Membangun Perspektif Keilmuan dengan Etika Ghazalian

“Sebuah Diskusi Kecil” bersama Kyai Musa Ahmad

NU Cilacap Online – Etika Ghazalian (dari kata Al-Ghazali) menjadi pilar penting dalam membangun perspektif keilmuan; sebuah kerangka besar yang diangun melalui Institusi Universitas Nahdlatul Ulama Al-Ghazali (UNUGHA) Cilacap.

Situasi pandemi Covid-19 telah membiasakan kita untuk secara mandiri melakukan “pembatasan-pembatasan”. Maka untuk pembaca NU Cilacap Online, pada tanggal 19 November 2020, sejak pukul 07.56 hingga 10.14 WIB, saya, Badruddin Emce (BMC) melakukan “diksusi kecil” dengan Kiai Musa Ahmad (MA) secara daring melalaui menu pesan SMS dan catatan suara whatsapp.

Saat “diskusi kecil” berlangsung beliau tetap berada di rumahnya, Jalan Kebon Salak, Kesugihan, dengan tingkat noise sedang. Meski sebentar-sebentar terdengar sayup pukulan tukang kayu, kokok ayam, dan percakapan samar beberapa orang, suara sepeda motor melintas, saya masih bisa mentranskrip pernyataan-pernyataan beliau.

Kiai Musa Ahmad, saya mengenal beliau, sejak bersama-sama intens dalam penyusunan Pokok-Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) Kabupaten Cilacap tahun 2018. Bagi saya beliau terbilang sosok Kiai muda yang “unik”.

Memiliki perhatian kuat terhadap penggalian dan pengembangan nilai-nilai tradisi masyarakat, juga gigih dalam “memperkenalkan” khazanah literasi pesantren. Salah satunya adalah pemikiran Al-Ghazali serta praksis-praksisnya, terutama melalui pengajaran di Institut Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG) dan Universitas Nahdlatul Ulama Al-Ghazali (UNUGHA) yang terus berbenah di bilangan Kesugihan, Kabupaten Cilacap.

Selain sebagai dosen, pria kelahiran 12 Juni 1968 ini adalah Ketua Senat Universitas (UNUGHA), yang secara struktural, menduduki posisi tertinggi organisasi kampus. Meski begitu, di tengah rutinitas akademiknya yang cukup padat. “saweng diembregi mata kuliah onten 11 kelas,” katanya ketika mengawali diskusi, serta kegiatan lain yang banyak menguras waktu, beliau berkenan meluangkan waktunya untuk “diskusi kecil” dengan saya. Baca juga Lepas Sambut Rektor UNUGHA Cilacap Masa Khidmat 2024-2028

Paling mutakhir, yang cukup memeras perhatiaannya, sejak bulan Oktober 2020 beliau dilibatkan dalam program “penaklukan” napiter (napi terorisme) yang ditempatkan di salah satu rumah tahanan Nusakambangan. “kulo gagal jan teng laré alit. Mboten purun-purun sadar,” tuturnya diiringi tawa lirih.

Berikut transkrip “diskusi kecil” yang dimaksud:

Badruddin MC (BMC): Kalau saya lihat, ya selama melihat kegiatan-kegiatan Pak Yai itu kan juga ada kaitannya dengan lingkungan pesantrenlah. Ada, artinya njenengan juga mengenal kehidupan pesantren. Nah, apakah ada, khususnya lingkungan UNUGHA itu, untuk, ya mungkin terutama untuk tenaga pengajarnya atau dosen yang kompetensinya dituntut memahami atau menguasai khazanah keilmuan pesantren?

Kiai Musa Ahmad (MA): Nggih yang bidang agama memang diharapkan nggih kados niku. Misalé, kyai-kyai pondok tengah (Al Ihya Ulumaddin) rata-rata dados dosen teng UNUGHA seperti Pak Nas, Pak Shoim, terus Pak Shoiman, dan Pak Ridlo. Sing ném-ném onten tigo. Niku sedanten adalah orang-orang yang mewakili dunia pesantren. Yang sebagian memang mengajar khusus, yang ada hubungannya dengan kepesantrenan. Pak Nas mengajar tentang Ghazali. Terus Pak Shoim juga mengajar tentang Ghazali. Dua orang, pada pembelajaran Ghazali itu meliputi tiga. Satu, epistimologi Al-Ghazali. Yang kedua. Ah, yang pertama itu, orientasi dasar tentang Ghazali. Kedua, epistimologi Al-Ghazali. Yang ketiga, etika Al-Ghazali. Dan Ke-Ghazali-an itu otomatis yang banyak ditekankan penggunaan materi-materi yang kontennya berdekatan dengan pesantren.

Walhasil, kalau yang mengajar misalé Pak Shoim lebih banyak menggunakan literatur pesantren, yang kadangkala mahasiswa yang bukan background pesantren, bingung. Kemudian beda lagi misalé kyai lain yang alumni, seperti pak Misabahul Surur yang pondoknya, di mana, ikutnya Kecamatan Rawalo, itu juga basisnya juga pesantren. Mereka itu pemelihara khazanah pesantren dalam konteks perguruan tinggi. Kebetulan saya juga dilibatké. Mengajar dua mata, eh satu mata kuliah, yang namanya “Etika Al-Ghazali”, di mana prinsip dasar teorinya itu betul-betul berasal dari Ghazali. Mulai dari kajian epistimologinya, kajian tentang praktik-praktik etika keseharian. Menyusun struktur etika itu menggunakan pendekatan Imam Al-Ghazali. Misal-é prinsip tasawuf Al-Ghazali, ee apa namanya, di mana prinsip-prinsip itu bersumber dari kitab-kitab Al-Ghazali.

BMC: Mungkin kan juga di UNUGHA kan juga ada yang sifatnya ilmu-ilmu apa ya, katakanlah, mungkin, mata kuliah dasar umum atau yang non agamalah. Nah itu, kalau misalnya kayak ilmu-ilmu sosial, sosiologi itu kan ada khazanah pesantrennya juga. Dalam asumsi saya, seperti Muqaddimah-nya Ibn Khaldun, dan sebagainya. Ini bagaimana, Yai?

MA: Kebetulan saya ngajar salah satu mata kuliahnya itu di Fakultas Tarbiyah. Itu, judul mata kuliahnya, itu, Sosiologi Pendidikan. Ya, otomatis kalau yang mengatakan adalah orang yang biasa di khazanah pesantren, walaupun bicara sosiologi, di samping kita menggunakan pendekatan ilmu sosial secara umum, memperkenalkan teoretisi sosial mulai dari “realitas sosial”-nya Emile Durkheim, “fakta sosial”-nya Max Weber, tetapi ada, masuklah fungsi-fungsi khazanah keilmuan sosiolog muslim, baik yang lama seperti Ibn Khaldun, sama yang baru seperti sosiolog-sosiolog di dunia muslim baru yang membangun suatu paradigma keilmuan kontemporer Keislaman.

Kalau di UNUGHA memang yang disebut dengan epistimologi itu sifatnya murni filsafat. Etika juga filsafat perilaku, tetapi kemudian dikompair, apa, dikompair, diperbandingkan dengan “dunia” Al-Ghazali. Jadi dasarnya, ilmunya, tidak tiba-tiba Ihya. Nggak. Tapi bagaimana konstruksi, misal-é etika Al-Ghazali dibangun bagaimana mulai dari pandangan etika secara umum seperti profesionalisme, etika-etika profesi. Itu dibangun, dinilai dari segi tradisi pesantren, karena yang dipakai sebagai dasar adalah Al-Ghazali yang sangat tenar di pesantren. Sehingga nanti ada satu, apa ya, suatu model, terutama kalau di epistimologi, kebetulan saya menulis bukunya, itu ada, apa namanya, “integrasi keilmuan”. Nah, integrasi keilmuan sebenarnya menggunakan teorinya Al-Ghazali.

BMC:  Kembali ke awal. Tadi kan ada kompetensi atau profesionalisme. Ini kan, dunia perguruan tinggi kan biasanya erat kaitanya, untuk peningkatan, apa, kompetensi atau profesionalisme itu kan erat kaitannya dengan penelitian. Nah ini bagaimana caranya, langkah-langkah njenenganlah. Paling tidak, pengalaman njenengan, dalam rangka peningkatan kompetensi itu, menggalinya bagaimana, menggali khazanah pesantren, khususnya literasinya?

MA: Kalau literasi pesantren, terutama ya karena orang-orang yang biasa berada di pesantren, ya menggunakan literasi pesantren. Tapi ada dua pendekatan yang berbeda. Bagi yang banyak menggunakan “gaya” Timur Tengah, seperti Pak Shoim dan beberapa dosen yang literasi Timur Tengah, itu lebih melihat, apa namanya, lebih melihat konten timur tengah atau arab –dalam hal ini– itu sebagai substansinya.

Beda dengan orang-orang yang dari khazanah pendidikan Indonesia. Itu, rata-rata literasi pesantren itu sebagai manhaj, sebagai cara berpikir. Seperti saya yang banyak dipengaruhi oleh dunia ilmu sosial, itu lebih banyak membingkai, apa namanya, membingkai khazanah pesantren, terutama secara besarannya adalah sebagai, apa namanya, sebagai “cara pandang”. Bagaimana, misal-é kita berbicara tentang Ghazali. Ghazali kan punya pandangan tentang “indra”, punya pandangan tentang “akal”, punya pandangan tentang “hati”. Yang itu akan menjadi satu dasar epistimologi. Misal-é tentang indera, berbeda dengan pemikiran setelahnya, misal-é Ibn Rusyd. Indera bagi Ghazali ada keterbatasan, walaupun punya kebenaran. Kenapa? Karena dari indera akan membangun satu persepsi. Tapi, kalau sampai, kalau hanya, hanya sampai persepsi, maka indera akan cethék (dangkal). Nah, seharusnya dikembangkan lagi sampai pada hati nurani. Ini banyak digali mulai dari Al Mustasfa. Al Mustafa kemudian Al-Ihya, kemudian khazanah tentang, apa namanya, paling tidak dua buku besaran itu. Sebenarnya masih ada yang lain.

Nah kemudian, bagaimana diterapkan dalam dunia sains? Ya sains itu, paling tidak Ghazali telah BMC membangun kerangka yang paling penting itu: keraguan etimologi. Bagi Ghazali, walaupun dia yakin bahwa teks atau Quran itu sebagai kerangka dasar utama, tetapi teks itu sebenarnya bisa dimaknakan “wa”. Pertama, dimakna melalui proses penafsiran dan penakwilan, sehingga nanti dicari maqashid-nya atau tujuannya). Kedua, kebutuhan yang disebut dengan, tadi saya sebutkan sebagai, apa namanya, keraguan metodologi, yang menurut Imam Ghazali semua harus diragukan. Sehingga semangat mencari ilmu menjadi sesuatu yang benar terjadi dan semangat itu membangun suatu pemaknaan bagaimana seluruh komponen yang disebut sebagai “Ghazalian” itu (adalah-BMC) semangat untuk mencari ilmu, sebanyak-banyaknya. Tapi cuma pesan di epistimologinya, ya jangan hanya pada “kemerdekaan inderawi”. Nah, yang itu banyak dipakai oleh Avicenna (Ibn Sina, BMC) atau Ibn Rusyd, bahwa indera punya kebenaran objektif. Maka, munculah dalam konteks ini, pada hari ini, keilmuan yang bersifat kuantitatif yang bersandar pada Ibn Rusyd atau Avicenna. Atau kualitatif yang berdasarkan pada Ghazali. Lah literasinya logikanya bagaimana? Salah satu pengagum Al-Ghazali itu adalah Rene Descartes. Nah, Descartes melahirkan suatu konteks rasionalisme dan, apa namanya, keraguan metodologinya itu. Descartes pada akhirnya punya pengagum dan pendiri mazab fenomenologi seperti, siapa namanya, fenomenolog modern Edmund Husserl dan akhirnya, kemudian, sandaran-sandaran fenomenolog modern itu ada “benang merahnya” secara langsung dalam konteks pemikiran Islam.

Kalau yang kuantitatif memang ee, apa namanya, Islam banyak melahirkan pikiran-pikiran itu, walaupun berhenti ketika Barat menguasai Islam, Barat tidak mau memakai referensi Islam. Padahal semua penemunya itu Islam dan China maupun India, tapi barat tidak mau. Mereka menjadi dirinya sendiri.

BMC:  Sekarang untuk peserta didik atau mahasiswa itu, mungkin pada tingkatan-tingkatan tertentu, mungkin, apakah juga bisa atau dituntut juga untuk mengakses khazanah pesantren? Itu biasanya dalam kaitannya dengan apa, mungkin dalam kegiatan penelitian saja, atau bagaimana?

MA: Kan ada kewajiban dosen melibatkan mahasiswa di dalam penelitian-penelitian. Walaupun belum berjalan dengan ideal, tapi banyak dosen yang sudah membikin bersama-sama, bahkan kadangkala beberapa riset, mini riset atau riset kelompok dari mahasiswa plus dosen menjadi bentuk penelitian bersama, dibiayai oleh kampus. Itu, sudah berjalan model seperti itu. Cuma di beberapa tuntutan-tuntutan yang lebih profesional memang belum sampai tingkat itu, karena dibutuhkan, tadi itu, integrasi keilmuan. Kan sebagai perguruan tinggi yang masih muda, (UNUGHA-BMC) masih belum menyeluruh, bahkan kepada dosen-dosen sains itu masih belum sampai bagaimana membangun kepribadian Ghazali dalam konteks sains tingkat tinggilah, yang sifatnya kreativitas serta inovatif. Nah, inovasi-inovasi yang berwatak Ghazalian itu belum masuk. Bahkan cenderung masih, penelitian yang dikembangkan oleh dosen, cenderung melayani pemesan, dalam hal ini departemen (Kemendikbud). Karena tiap tahun kan ada lowongan untuk melakukan penelitian sebagai pengembangan dosen. Ya, hampir tiap tahun itu ada 10 (sepuluh) sampai 15-20 (lima belas-dua puluh) dosen yang ikut memenangkan penelitian nasional, penelitian yang dibiayai oleh Departemen (Kemendikbud).

Nah, memasukkan ciri-ciri Ghazalian memang lebih kepada bagaimana memasukkan integrasi keilmuan, sehingga Ghazali bukan menjadi label di luar, apa namanya, ketika ada “dalil”, menjadi Ghazali. Bukan begitu. Tapi spektrum Ghazali dimasukkan kepada nilai-nilai dasar atau karakter yang dibangun dalam, apa namanya, “watak keilmuan”. Watak keilmuan misal-é berlandaskan kepada etika. Etika itu tetap dipakai dalam bentuk ilmu apapun. Nah, etika, khususnya etika Ghazali, di mana hal-hal yang sifatnya kekuatan inderawi itu ditekankan untuk dikembangkan.

Tapi jangan sampai lupa, itu harus ditelisik lebih dalam secara kualitatif, sehingga baik dari aspek, apa namanya, efek-efek dari konteks keilmuannya juga dipakai. Kemudian prosesnya juga harus membangun suatu moralitas keagamaan yang dibangun sangat hebat oleh Al-Ghazali dengan 5 (lima) dasar, yaitu, satu, menjaga keagamaan seseorang. Yang kedua, menjaga jiwa seseorang. Yang ketiga, menjaga kehormatan seseorang. Yang keempat, menjaga akal seseorang. Yang kelima, apa, menjaga hak milik dari seseorang. Dan itu, lima prinsip dasar yang disebut sebagai Kulliyatul Khoms-nya Ghozali. Sebagai maqashid, sebagai tujuan akhir dari sebuah syariat atau sebuah perspektif Keislaman, harus selalu muncul, sehingga ngga boleh ilmu itu menjadi sangat pragmatis; yang penting menghasilkan, tetapi efeknya merugikan banyak orang. Karena hal itu akan melanggar tadi, hak-hak yang paling mendasar dari manusia.

BMC:  Makin menarik. Terkait dengan etika Ghazalian, katakanlah, kalau saya tidak salah tangkap, ini kan dalam praksisnya kan perlu ada kontrol atau verifikasi atau apalah, dalam kaitannya dengan penelitian mungkin ada istilah tersendirilah. Ini untuk kontrol atau verifikasi atau apa itu, dilakukan oleh lembaga atau apa, atau dengan cara apa? Atau mungkin, dalam bayangan saya, musyawarah atau bagaimana?

MA: Memang ada kelembagaannya. LP2M, lembaga penelitian itu, kemudian lembaga penjamin mutu, dan ada lagi yang mensuplai, apa namanya, lembaga Ke-Ghazali-an. Ketiga-tiganya seharusnya secara bersamaan melakukan kontrol. Cuma karena ini perguruan tinggi baru lahir kemarin sore, sifatnya baru, lebih banyak di tingkat konsep besarnya seperti itu. Bukan kontrol, ada integrasi antara proses integrasi antara proses metodologi keilmuan apa yang disebut epistimologi maupun pembangunan metodologi penelitiannya. Dengan satu manhaj bercirikan Ghazali diharapkan keluaran ilmu itu progresif, tetapi, progresif kan sebagai dasarnya itu tadi, Ghazali menerapkan tentang keraguan metodologi.

Pada dasarnya semua harus diragukan sebelum ada bukti, bahwa itu ada kebenaran. Maka Ghazali mengatakan, “apa yang benar itu adalah bukan, apa, apa yang di, orang yang mengatakan”. Apa, jadi kebenaran itu dalam bahasanya Ghazali yang disebut tawadu’ itu, siapapun yang mengatakan atas itu benar harus sesegara mungkin mengatakan itu benar, tanpa harus memikirkan siapa yang mengatakan.

Imam Ghazali terkenal dengan metodologi hiwar-nya, perdebatan (tanya jawab). Maka hampir semua bukunya berdebat, tapi sumber etikanya perdebatan harus ada. Bagaimana menghormati seorang guru itu Ghazali membangun di etika dasarnya. Ada etika kepada tuhan, etika kepada sesama manusia. Sesama manusia dipakai kepada guru, orang tua, kepada teman sebaya dan kolega itu dibangun dengan satu perspektif etika ilmu, etika di mana, apa namanya, menghormati keilmuan (kebenaran keilmuan) sebagai suatu spektrum khusus dari ilmu yang namanya Ghazali. Jadi Ghazali itu kita hidupkan di IAIIG dan UNUGHA sebagai hujatul Islam. Bukan sosoknya semata, tetapi cara berpikirnya. Jadi, etika Ghazali itu dipakai bagaimana membangun satu perspektif, apa sih prestasi tertinggi? Ghazali ya ada 3 (tiga) hal itu. Selalu mengosongkan dari hal-hal yang jelek, kemudian memasukkan sifat-sifat yang baik. Kemudian setelah itu dia bersatu dengan, bahasa sekarang: menjadi profetik. Keilmuan profetik, keilmuan keagamaan sebagai sumber dari gerakan individu maupun masyarakat.

Jadi itu yang dilakukan. Jadi Al-Ghazali mengajarkan bukan orang sekadar tobat, tapi yang disebut tadzkiyatun nafs, pembersihan jiwa. Pembersihan itu dalam konteks tadi, (konteks-BMC) kelembagaan bagaimana kita mengklarifikasi – ini kalau dikembangkan impeknya bagaimana. Betul nggak mengurangi beban-beban. Jangan-jangan malah menjadi beban orang banyak. Misalkan penggunaan suatu teknologi, apakah penggunaan teknologi itu akan banyak membangun kekuatan atau justru akan menghancurkan. Kan tidak semua teknologi itu positif. Misalé teknologi yang tinggi, apa namanya, high cost, menggunakan mobil hibrid dan seterusnya. Mungkin lebih halus, lebih enak dipakai, tapi mahalnya nggak karu-karuan. Apa kemudian orang nggak boleh pakai mobil, harus punya, punya uang sekian milyar. Nah, penggunaan teknologi hibrid itu kemudian kan harus ada segmentasinya. Biarkan masyarakat yang paling bawah masih punya segmentasi untuk menerima teknologi yang murah dan massal, tetapi bukan berarti teknologi asal-asalan. Nah, kontrol-kontrol moral semacam ini sebagai moral dasar, cara pandang yang berempati kepada humanisme, kepada kemanusiaan. Apa itu kemanusiaan, itu tadi saya sebut sebagai Kulliyatul Khoms, penjagaan kepada naluri keagamaan, akal dan seterusnya. Sehingga dengan cara seperti itu, kelembagaan itu, paling tidak memberi sumbangan di dalam membangun perspektif ilmu penelitian. Jadi riset, sebelum melakukan riset juga sudah melihat, apa namanya, kira-kira yang akan dikembang-ké atau yang akan akan menjadi produk dari teknologi yang bukan merugikan manusia secara umum. Tapi kalau merugikan ya harus dilihat dimensinya, misalé, oh ini merugikan kelompok-kelompok elite, tetapi kelompok massal bisa dipenuhi. Atau sebaliknya, kalau ini hanya untuk elite-elite berarti segmentasinya ya lebih sedikit. Nah, itu humanismelah.

Jadi Ghazali menurut kita di IAIIG atau UNUGHA adalah sosok yang sangat humanistik. Humanisme Ghazali itu menjadi kiblat, menjadi ukuran dan menjadi standard keilmuan yang dikembangkan oleh seluruh kelembagaan melalui dosen, melalui penelitian, pengajaran, dan pengabdian masyarakat.

BMC:  Ini terakhir, Kiai . Sepanjang njenengan tahu atau pahami, hasil-hasil penelitian di lingkungan UNUGHA atau IAIIG itu bagaimana kaitan tadi dengan etika Ghazalian?

MA: Secara umum masih dikait-kaitkan sebab penelitian mahasiswa, terutama UNUGHA, lebih banyak menerima pesanan dari Departemen (Kemendikbud-BMC) maupun dari Pemerintah Daerah (Pemkab Cilacap-BMC). Jadi di Pemerintah Daerah kan ada kerja sama penelitian lokal. Itu banyak diisi oleh fakultas-fakultas ekonomi dan industri yang mana berkaitan langsung dengan hal-hal yang teknis, apa namanya, seperti “tepat guna” dan sebagainya. Paling kita hanya mencitrakan, bahwa kalau itu produknya UNUGHA, maka jangan sampai teknologinya itu melanggar humanisme Islam secara umum, seperti itu. Tapi perspektif lebih dalam memang belum terlalu kuat.

Kemudian penelitian di Diknas (Kemendikbud itu memang keilmuannya ujungnya jurnal. Jadi, di jurnal memang belum sampai pada integrasi keilmuan, tapi kita menghendaki diskusi sedapat mungkin ada warna Ghazali atau humanisme kemanusiaan yang dibangun dalam konteks yang disebutkan tadi, etika. Sumber etiknya kemanusiaan, sumber etiknya adalah humanisme universal dan humanisme khusus, yang dibangun atas perspektif keagamaan. Tapi sudah barang tentu belum sampai kepada integrasi keilmuan yang bagus, yang…, yang apa… ee ada indikator jelas dalam setiap keluaran. Memang butuh waktu, tapi tetep diusahakan ketika penelitinya itu ketemu dengan LP2M sebagai operator dasarnya maupun penjamin mutu, dan Ke-Ghazali-an. Tiga hal itu membangun kerangka bersama untuk etika penelitian dosen-dosen UNUGHA. Hasilnya memang belum maksimum, hasil yang kita peroleh paling, karena jurnal itu masih ilmiah murni, belum terlalu kelihatan. Nah, bahwa ini produk dari perguruan tinggi yang khusus pesantren, dengan nilai-nilai Keghazalian belum “sangat” tampak. Tapi kalau di IAIIG sudah lumayan, karena umurnya sudah 30 tahun, sudah mulai jelas. Terutama penelitian yang melibatkan mahasiswa itu jelas-jelas keagamaannya sudah mengarah pada konteks Al-Ghazali. Walaupun tidak harus dimaknakan, ketika Al-Ghazali itu tasawuf. Tidak. Dimensi-dimensi lain Al-Ghazali, tapi platformnya atau blue printnya, dasar pijakannya tetap mengacu pada yang kita sebut “etika Al-Ghazali”.

BMC:  Matur nuwun sanget, pak Kiai . Mugi tetep sehat semangat, di tengah situasi seperti ini. Juga keluarga. Sepindah malih, maturnuwun!

MA: Maturnuwun!

*) Badruddin Emce, Budayawan Cilacap dan Ketua Umum Lesbumi NU Cilacap. Tinggal di Kroya, Cilacap, Jawa Tengah.

*)Penyunting naskah: Ahmad Sultoni, penyair Cilacap dan tinggal di Adipala, Cilacap, Jawa Tengah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button