Haul Virtual Pesantren Al Ihya Ulumaddin, Percikan Taushiyah
NU CILACAP ONLINE – Haul Virtual digelar dan sejumlah Ulama memberikan taushiyah dalam rangkaian Tasyakuran Tahunan Pondok Pesantren Al Ihya Ulumaddin Kesugihan Cilacap. Kontributor NU Cilacap Online Imam Hamidi Antassalam, menuliskan percikan Taushiyah Haul Virtual berikut ini;
Tidak seperti biasanya, haul yang biasa ramai oleh lalu-lalang orang dari berbagai belahan Nusantara, kini tiba-tiba menjadi dibatasi sebab pandemi corona. Namun, meski dilaksanakan melalui virtual, tidak menyurutkan ghiroh santri, acata tetap berjalan semarak dan sukses.
Rangkaian haul virtual Pondok Pesantren Al Ihya Ulumaddin sejak Selasa-Jumat, 9-12 Februari 2021. Dimulai Simaan Alqur’an santri 30 juz bil goib, Rapat Alumni, Khotmil Qur’an, Tahlil Akbar, Ziarah Kubur, Khotmil Kutub, Pengajian, Mujahadah Simthudduror, Istighotsah, dan Pentas Seni dijadwalkan sebagai puncak kegiatan pada hari Jum’at malam, 12 Februari 2021. Acara puncak tersebut akan berlangsung ba’da Isya’ dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.
Tahlil dalam rangka haul virtual Muassis ke 62 KH Achmad Badawi Hanafi dan Masyayikh Ma’had dipimpin oleh KH Imdadurrahman Al ‘Ubudi bin KH Mustolih Badawi. Kemudian dilanjutkan Ziarah ke Makbaroh, dilanjutkan Pengajian, Mau’idzhoh Hasanah oleh KH Yahya Cholil Staquf (Katib Aam PBNU) dan KH Ahmad Muwaffiq.
KH Ahmad Muwaffiq, dalam taushiyah nya memberikan kisah inspiratif para pendahulu, terutama pentingnya menjaga dan mengingat kembali perjuangan para pendahulu.
“Namanya cucu, mesti mengingat riwayat pendahulunya, maka itu salah satu tanda kebaikan”. Beliau membuka sebuah kisah di Tarim, Hadhramaut bahwa ada majelis manaqib yang rutin membaca Sirroturrijal yakni membaca tentang sejarah orang tua. Sebab ini agar anak keturunan termotivasi dengan perjuangan orang tuanya. Jika Dzuriyyat tidak ingat sejarah leluhur mereka, maka mereka akan bingung serta perjuangan leluhur akan hilang dengan sendirinya.
“Ulama-ulama yang saya kenal banyak menceritakan tentang bagaimana orang tua, kakek, leluhur mereka menghafal Al-Qur’an, mengkhatamkan Minhajul Tholibin, membahas kitab Fathul Wahhab, Kitab ini dan itu.” Lanjutnya mengisahkan
Karomah, kerap kali orang-orang mengatakan ulama ini memiliki keramat-keramat khusus. Dan apa yang dimaksud karamah tak lain adalah kemuliaan yang Allah berikan kepada para hamba-Nya.
Dikisahkan ada seorang guide (pemandu jalan) dari kalangan Badui, ketika itu ia sedang mendengarkan para habaib dan para alim ulama yang sedang bercerita dan membacakan biografi dan manaqib. Tiba-tiba guide (orang Badui) itu nyeletuk dan memotong pembicaran para Ulama.
Badui memang terkenal sebagai orang yang bebas dan kurang beradab. Mereka adalah masyarakat pedalaman Arab. Di masa Nabi pun suku Badui memang sudah banyak ulah, pernah suatu ketika Kanjeng Nabi Muhammad sedang khutbah, tiba-tiba ia malah meminta kepada Nabi agar segera selesai dan jangan lama-lama langsung doa saja.
Jika saja ia adalah Sahabat mungkin sudah dihukum oleh Sahabat lainnya. Beruntung ia seorang Badui maka hal itu tidak dilakukan. Begitu pula dalam kelanjutan kisah Badui yang bekerja sebagai petunjuk jalan tadi. Tiba-tiba ia memotong pembicaraan dan bertanya kepada para Ulama dan Habaib “Apa yang kalian baca?”.
Habaib dan Ulama menjawab: “Mereka adalah pendahulu-pendahulu kami”.
Badui itu menjawab:
“خير الاباء هم وبئس الأولاد انتم”
(Sebaik-baik ayah adalah mereka, seburuk-buruk anak adalah kalian).
Sontak jawaban Badui ini membuat para Habaib dan Ulama kaget dengan pernyataan tersebut. Badui menjelaskan sebab perilaku kalian (anak) dan bapak kalian di cerita, beda. Habaib dan ulama ada yang marah dan bertanya “Kalau dengan engkau bagaimana, hai penunjuk jalan?”.
Badui menjawab, “Bapak dan leluhur saya penunjuk jalan, wajar saya begini. Sedangkan kalian tidak seperti yang dibaca dalam manaqib dan biografi tersebut”.
Ulama dan Habaib menjawab “Betul yang diucapkan engkau, demi Alllah kita belum sampai setengahnya dari mereka”. Mereka pun terdiam dan menunduk.
Sebuah kisah yang menjelaskan “Bagaimana manfaat muassis pesantren ini? Berapa banyak orang yang mengambil ilmu dari beliau dan berapa banyak ilmu yang sudah disebarkan? Berapa ribu santri dan berapa ratus ribu orang yang memiliki hubungan ke pondok pesantren Al-Ihya Ulumaddin”.
“Maka ini jadi salah satu motivasi bagi kita, manjada wa jada, barang siapa bersungguh sungguh maka dia akan berhasil. Hasilnya di dunia tidak terlalu penting tapi walal akhiratu khoirullaka minal ula (QS. Al-Dhuha: 4). Kenikmatan di alam akhirat itu lebih utama daripada yang ada di atas muka bumi”.
Beliau mengingatkan bahwa keberhasilan di dunia bukan barometer keberhasilan yang hakiki. Harta dan tahta itu bukan barometer. Seperti dikatakan oleh para alim ulama:
ان الله يأتي الدنيا لمن يحب وممن لا يحب
“Sesungguhnya Allah memberikan kenikmatan dunia kepada siapapun baik kepada yang dicintai maupun tidak”
Tidak sedikit orang yang Allah tidak dicinta, namun Allah melaknat sekaligus memberikan kenikmatan dunia. Contohnya Raja Namrud, Fir’aun, dan Abu Jahal. Akan tetapi
, ولا يأتي الاخرة الا لمن يحب
(Akan tetapi Allah tidak memberikan kenikmatan akhirat kecuali kepada orang yang dicintai-Nya).
Dunia seisinya bahkan bila perlu galaksi Bimasakti, jika dibandingkan cinta dari pada Allah itu tidak ada apa-apanya. Sebab semahal-mahalnya perkara adalah mahabbatullah (cinta kepada Allah).
“Jadi barometer kesuksesan bukan di dunia akan tetapi bagaimana engkau di sisi Allah. Bagaimana cara mengetahuinya?”. Beliau bertanya.
“Jawabannya adalah bagaimana Allah di sisimu? Kalau ingin dekat Allah, Dia harus ada di sisimu. Kemudian diperhatikan bagaimana akhlakmu, adabmu, ubudiyyahmu dan muamalahmu”.
Seorang santri, sebagai seseorang yang pernah punya ikatan dengan pondok pesantren, jika kepada orang yang memberinya ilmu, Kiai dan Assatidz, tidak memiliki hormat. Jangankan kepada Rasulullah, orang yang jelas ditemui, jelas-jelas menyuapi ilmu, amal shalih, engkau tidak berakhlak dan tidak beradab dengan mereka. Bagaimana dengan Kanjeng Nabi? Yang tidak pernah menemuinya dan mencium wanginya.
“Lha wong, dengan yang mengajari tidak berharga di sisimu apalagi dengan yang Rasulullah yang tidak pernah diketahui olehmu?” Tegasnya.
“Karena Al–akhlaq wal–adab muttashilah, adab dan akhlak itu menyambung. Kita beradab kepada guru, sama dengan beradab pada kakek-gurunya, beradab kepada guru sama dengan berakhlak pada sanad yang bersambung pada Rasulullah SAW”.
Dalam cerita lainnya, beliau menjelaskan jikalau menundukkan pandangan kepada guru berarti kita sama saja menghormati guru kita. Kalau saja tidak berakhlak, termasuk orang zaman sekarang yang hormat di depan, sedangkan di belakang penuh amarah, ketidaksukaan, dan su’udzon. bahwa dhamir (hati) orang tersebut termasuk min ‘alamatin–nifaq (tanda kemunafikan). Di depan engkau merasa hormat dan menunduk, akan tetapi di hati engkau merasa lebih baik daripada guru.
ان الله لا ينظر الى صوركم ولا اموالكم ولكن ينظر الى قلوبكم
“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk tubuhmu. Juga bukan pada hartamu. Tetapi Allah melihat kepada hatimu”.
“Oleh karenanya, kita melihat banyak orang yang dianggap ilmunya tidak terlalu besar tapi kenapa dia dicintai banyak orang? Karena mereka orang yang dicintai Allah. Allah berkehendak demikian maka kalian bisa apa? Hanya hati yang suci, penuh dengan husnuzhon, akhlak, dan keindahan Kanjeng Nabi”.
Di penghujung ceramah, beliau mengajak dan memberikan pesan kepada para santri. “Ayo bersama mempersatukan ilmu, akhlak, dan ketiga yang paling penting adalah dakwah. Perlu beramal untuk diri sendiri dan kemudian mengajak orang lain.
من علم بما عمل ثم عَلَّمَ اورثه الله بما لم يعلم
“Barang siapa yang mengetahui lalu mengamalkan lalu mengajarkan, maka Allah akan memberikan kepada dia apa-apa yang tidak diketahui olehnya (Ilmu Laduni)”.
Tiga Kriteria Ulama
Haul Virtual Pondok Pesantren Al Ihya Ulumaddin Kesugihan Cilacap juga dihadiri oleh KH Yahya Cholil Staquf, Rais Aam PBNU. Dalam taushyiah nya beliau menyampaikan orang bisa dikatakan ulama apabila memiliki 3 (3) tiga kriteria.
Pertama, banyak ilmu dan dedikasi, mengabdi terhadap ilmu. Menurutnya, rajinnya seseorang dalam belajar, atau mengaji tidak menjamin keberhasilan, akan tetapi ada kemungkinan berhasil.
“Belajar diibaratkan dengan memakai masker yang tidak menjamin seseorang tidak terpapar virus, akan tetapi lebih banyak kemungkinan terhindar dari virus.” katanya.
Seorang dikatakan Kiai sudah tentu memiliki dedikasi terhadap ilmu dan perjuangannya pasti sangat luar biasa, begitu sudah menjadi berilmu juga harus mengajarkan ilmunya.
“Kehebatan kiai yang berdedikasi terhadap ilmunya itu tidak akan menyampaikan sesuatu apabila belum tau kebenarannya.” tandasnya
Kedua, yakni Ri’ayatul Ummah, mengurusi kepentingan masyarakat, di mana pekerjaan seorang kiai tidak hanya mengurusi santri tetapi ikut terjun ke masyarakat. Inilah yang dinamakan ri’ayatul ummah.
Ketiga, ketulusan, atau ikhlas. kerelaan bukan hanya sifat khususnya kiai, untuk dikatakan orang yang istimewa. tapi Ikhlas sudah menjadi nilai budaya masyarakat santri-santri di kalangan Nahdlatul Ulama. Bahkan, kiai-kiai NU dengan ikhlas mengajak umat Islam mengikuti ajaran NU dan mengajarkan ilmu agama tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Pada akhir mau’idhoh hasanahnya, KH Yahya Cholil Staquf ngendika “Yaa Allah gusti, nek ora ono kiai-kiai mukhlisin (orang yang ikhlas) kuwi, wong meh khusnudzon kalih NU, jalaran soko ngendi?..”
Harapan beliau, apabila kita tidak kuat atau merasa berat meniru perilaku para ulama, setidaknya kita bisa mengikuti walaupun sedikit. pungkasnya.
“Semoga kita menjadi hamba yang bisa diridhoi Allah. Semoga Allah memudahkan itu semua. Allah menjadikan kita membanggakan orang tua. Muridnya yang membanggakan guru dan leluhur”. Sambung beliau.
Kemudian beliau menutup kalamnya dengan doa:
اللهم اجعلنا خيرَ الخلاف لخيرِ السَّلَاف
“Ya Allah jadikanlah kami sebaik-baik penerus daripada sebaik-baik orang yang diteruskan”
Setelah pengajian haul virtual berakhir, para santri, dan alumni akan menonton secara virtual melalui aplikasi pintarnya yakni pentas seni santri di haul yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Al Ihya Ulumaddin Kesugihan Cilacap.
Penulis: Imam Hamidi Antassalam