Pengelolaan Zakat Sesuai Undang Undang, Review Singkat

NU Cilacap Online – Bagaimana Pengelolaan Zakat Sesuai Undang Undang?, bagaimana pula Undang Undang mengatur Organisasi Pengelolaan Zakat? berikut ini review singkat-nya. Zakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan seorang muslim. Selain bernuansa ibadah, yaitu membersihkan dan mensucikan harta; zakat juga memiliki dimensi sosial kemasyarakatan seperti munculnya kedermawanan, solidaritas, empati, mencegah kriminalitas akibat kemiskinan.
Undang-Undang Zakat
Sebagai negara berpenduduk mayoritas beragama Islam, regulasi pengelolaan zakat di Indonesia juga mendapat perhatian dari negara. Pengelolaan Zakat Sesuai Undang Undang telah diatur sedemikian rupa. Pada tahun 1999, telah disahkan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Pengelolaan zakat dalam Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 dilakukan berdasarkan asas iman dan takwa, keterbukaan dan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 menekankan pada aspek pengelolaan zakat mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan dana zakat. Selain itu, di dalam Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang prinsip-prinsip dan teknis pengelolaan zakat.
Organisasi Pengelolaan Zakat
Dalam pengelolaan zakat (dan agar pengelolaan zakat sesuai Undang Undang), pemerintah membentuk organisasi yang bertugas mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat. Organisasi ini diatur dalam BAB III pasal 6 dan 7 tentang Organisasi Pengelolaan Zakat. Dalam pasal 6 Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 menjelaskan bahwa pemerintah memiliki hak penuh atas pembentukan Badan Amil Zakat (BAZ) sesuai dengan tingkat kekuasaan wilayah masing-masing, yaitu:
1) tingkat nasional oleh Presiden atas usul Menteri;
2) daerah propinsi oleh gubernur atas usul kepala kantor wilayah departemen agama propinsi;
3) daerah kabupaten atau daerah kota oleh bupati atau wali kota atas usul kepala kantor departemen agama kabupaten atau kota;
4) daerah kecamatan oleh camat atas usul kepala kantor urusan agama kecamatan.
Semua di atas memiliki hubungan kerja yang bersifat koordinatif, konsultatif dan informatif sesuai dengan
tingkatan masing-masing. Selain itu masyarakat juga memiliki peran aktif dalam pelaksanaan pengelolaan zakat.
Dalam hal ini masyarakat dapat membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ) sebagai wadah untuk peran masyarakat dalam pengelolaan zakat tersebut. Hal ini diatur dalam pasal 7 Bab III Undang Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Organisasi Pengelolaan Zakat.
Organisasi BAZ dan LAZ
Pengelolaan Zakat Sesuai Undang Undang menjamin keterlibatan Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaag Amil Zakat (LAZ). Dalam undang-undang ini, BAZ maupun LAZ memiliki tugas yang sama, yaitu mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat yang diatur dalam pasal 8 Undang-Undang No. 38 Tahun 1999. Selain itu dalam pasal 9 Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 BAZ maupun LAZ memiliki tugas bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai dengan tingkatannya, sehingga dalam undang-undang ini BAZ yang dibentuk oleh pemerintah dan LAZ yang dibentuk oleh masyarakat memiliki posisi yang sejajar dalam pengelolaan zakat,
baik dalam tugas, wewenang maupun pertanggung jawabannya.
Selain itu dalam melaksanakan tugasnya BAZ dan LAZ tidak hanya mengurusi persoalan zakat. Hal tersebut
diatur dalam pasal 13 Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa Badan Amil Zakat dapat menerima harta selain zakat seperti infaq, shadaqah, wasiat waris dan kafarat.
Keanggotaan dalam pasal 6 ayat 4 Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 mengatur secara umum mengenai pengurus Badan Amil Zakat terdiri atas unsur masyarakat yaitu Ulama, kaum cendekiawan dan tokoh masyarakat serta dari unsur pemerintah yang memenuhi persyaratan 52 tertentu antara lain memiliki sifat amanah, adil, berdedikasi, profesional, dan berintegritas tinggi.
Dalam keanggotaan LAZ tidak diatur secara jelas dalam Undang Undang No. 38 Tahun 1999 karena pembentukan LAZ tersebut dibentuk langsung oleh masyarakat sehingga yang diatur dalam Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 bukan mengenai keanggotaan melainkan pembentukan LAZ. Tugas pengawasan terhadap kinerja BAZ dan LAZ dilaksanakan oleh pengawas yang dibentuk oleh pemerintah.
Hal ini diatur dalam pasal 6 ayat 5 dan oleh masyarakat yang memiliki peran keikutsertaan dalam pengawasan atas tugas yang diberikan oleh BAZ dan LAZ. Dalam pengawasan ini diatur dalam Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 pasal 18 dan pasal 20. Terkait dengan sanksi Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 menjabarkannya dalam pasal 21.
Tindak Pidana Zakat
Pengelolaan Zakat Sesuai Undang Undang meniscayakan kepatuhan atas aturan yang ada; termasuk adanya sanksi atas tindak pidana zakat. Pasal 21 ayat 1 mengatur sanksi atas kelalaian administrasi yang dilakukan oleh petugas BAZ dan atau LAZ yaitu kelalaiannya dalam pencatatan baik dengan tidak mencatat atau mencatat dengan tidak benar harta zakat, infaq, shadaqah, wasiat, hibah, waris dan kafarat diancam dengan hukuman kurungan selamalamanya tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) yang mana hal tersebut dalam ayat 2 digolongkan kedalam sebuah pelanggaran.
Selain itu dalam kasus penyalahgunaan atau penyelewengan (tindak pidana) atas harta zakat, infaq, shadaqah, wasiat, hibah, waris dan kafarat yang dilakukan oleh petugas BAZ dan atau LAZ dalam UndangUndang No. 38 Tahun 1999 pasal 21 ayat 3 maka diancam dengan sanksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Seiring dengan problematika pengelolaan zakat yang semakin kompleks, pada tanggal 20 Oktober tahun 2011, DPR dan Presiden mengesahkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat untuk menggantikan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999.
Pembentukan BAZNAS dan UPZ
Dalam undang-undang pengelolaan zakat ini diatur beberapa hal yang berbeda, yaitu: Pemerintah memiliki hak penuh atas pembentukan Organisasi Pengelolaan Zakat. Hal ini diatur dalam pasal 5 ayat 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 bahwa untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah (Menteri) membentuk BAZNAS dalam skala Nasional yang memiliki fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pelaporan atas pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
Sedangkan, untuk membantu dalam pelaksanaan tugas BAZNAS dalam skala Nasional maka menteri dapat membentuk BAZNAS pada tingkat Provinsi dan Kabupaten atau Kota atas usulan kepala daerah pada tingkatan masing-masing setelah 54 mendapat pertimbangan dari BAZNAS di tingkat Nasional. Hal ini diatur dalam pasal 15 ayat 1 sampai 5 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011.
Undang Undang Zakat menjamin pelaksanaan pengelolaan zakat dengan pembentukan organisasi pengelolaan yang diperbolehkan. Pada pasal 16 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 mengatur tentang pembentukan Unit Pengumpulan Zakat (UPZ).
Unit dibentuk oleh BAZNAS untuk membantu tugas dari BAZNAS pada instansi pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, perusahaan swasta, dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri serta dapat membentuk UPZ pada tingkat kecamatan, kelurahan atau lainnya.
Terkait Organisasi Pengelolaan Zakat lainnya yaitu LAZ, Undang Undang No. 23 Tahun 2011 ini memberi batasan hanya LAZ yang mendapatkan izin dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuk oleh menteri yang diakui oleh negara. Selain itu, pembentukan LAZ bukan dibentuk oleh masyarakat seperti yang diatur dalam undang-undang sebelumnya, melainkan dibentuk oleh Organisasi Kemasyarakatan yang harus memenuhi ketentuan yang dituangkan dalam pasal 18 ayat 2 Undang Undang Nomor 23 tahun 2011 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit:
1. Terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial;
2. Berbentuk lembaga berbadan hukum;
3. Mendapat rekomendasi dari BAZNAS;
4. Memiliki pengawas syariat;
5. Memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya;
6. Bersifat nirlaba;
7. Memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan
8. Bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala;
Baznas, LPZ dan UPZ
Pengelolaan Zakat Sesuai Undang Undang meniscayakan juga adanya tugas dan wewenang bagi organisasi terkait. Tugas dan kewenangan Organisasi Pengelolaan Zakat dalam BAZNAS, LPZ dan UPZ memiliki tugas dan wewenang yang berbeda. Dalam pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 menjelaskan tentang tugas BAZNAS yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pelaporan atas pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Sedangkan LAZ memiliki tugas membantu BAZNAS dalam pelaksanaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Hal tersebut di atur dalam pasal 17 Undang Undang No. 23 Tahun 2011. Dan UPZ memiliki tugas membantu BAZNAS hanya dalam pengumpulan zakat yang diatur dalam pasal 1 ayat 9 dan pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011.
Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat oleh BAZNAS Kabupaten/Kota wajib dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada BAZNAS di tingkat wilayah yang lebih tinggi dan pemerintah daerah di masing-masing, selanjutnya BAZNAS pusat melaporkan pertanggungjawabannya kepada menteri.
Adapun LAZ berkewajiban melaporkan pertanggungjawabannya kepada BAZNAS dan pemerintah daerah di masing masing tingkatan wilayah, yang mana hal ini di atur dalam pasal 29 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011. Sehingga dari aturan tersebut pemerintah berupaya untuk mensentralisasi Organisasi Pengelolaan Zakat dengan memposisikan BAZNAS lebih tinggi dari pada LAZ.
Selain itu terdapat aturan yang bersifat administratif yang diatur dalam pasal 23 Undang Undang No. 23 Tahun 2011 yang mewajibkan BASNAS atau LAZ memberikan bukti pembayaran atas zakat yang telah dibayarkan. Bukti pembayaran tersebut dapat digunakan oleh muzakki sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
Keanggotaan BAZNAS
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 yang lebih detail mengatur tentang keanggotaan yaitu dalam pasal 8 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 bahwa anggota BAZNAS terdiri dari 11 orang, 8 orang dari unsur masyarakat dan 3 lainnya dari unsur pemerintah.
Selanjutnya masa jabatan serta pengangkatan atau pemberhentian anggota BAZNAS serta persyaratannya juga diatur dalam pasal 9, 10, 11 dan 12 Undang Undang No. 23 Tahun 2011. Menteri dan pejabat daerah memiliki kewajiban membina dan mengawasi BAZNAS dan LAZ dalam melaksanakan tugasnya. Selain itu, masyarakat juga memiliki kontribusi dalam pengawasan atas tugas yang diberikan oleh BAZNAS dan LAZ.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Bab V tentang pengawasan dan pembinaan. Sanksi dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 diatur dalam pasal 26 ayat 1 yang menjelaskan sanksi administratif terhadap kelalaian atas tugas yang diemban oleh BAZNAS dan LAZ, yaitu terkait pasal 19 tentang pelaporan pertanggungjawaban LAZ kepada BAZNAS, pasal 23 tentang pemberian bukti pembayaran zakat, pasal 28 tentang pengolahan dan pendistribusian dana infak dan pasal 9 ayat 3 tentang pelaporan pertanggungjawaban BAZNAS kepada menteri berupa sanksi berupa peringatan tertulis, penghentian sementara dari kegiatan sapai pada pencabutan izin.
Pembentukan BAZNAS
Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Zakat terdapat beberapa poin penting dalam pengelolaan zakat, di-antaranya adalah ; Dalam pembentukan Organisasi Pengelolaan Zakat Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 menjelaskan bahwa pembentukan BAZNAS di tingkat Provinsi, Kabupaten atau Kota dan Kecamatan adalah kewenangan dari Kepala Daerah atas usulan Kepala Kantor Departemen Agama pada masing-masing wilayah; sedangkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 mengatur pembentukan BAZNAS di tingkat Provinsi, Kabupaten atau Kota adalah wewenang dari Menteri, kemudian pada tingkat kecamatan BAZNAS dapat bentuk UPZ untuk membantu tugas pengumpulan zakat.
Dalam pembentukan LAZ Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 mengatur bahwa pembentukan LAZ adalah wewenang masyarakat secara penuh, tetapi dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 terdapat pembatasan yaitu pembentukan LAZ adalah wewenang dari Organisasi Kemasyarakatan dengan ketentuan yang telah diatur di dalam UndangUndang No. 23 Tahun 2011 tersebut.
Tugas Wewenang Organisasi Pengelolaan Zakat
Dalam Tugas dan wewenang Organisasi Pengelolaan Zakat, dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 pemerintah mencoba membuat sentralisasi terhadap Organisasi Pengelolaan Zakat dengan memposisikan BAZNAS lebih tinggi dari LAZ, dengan demikian menjadikan adanya perbedaan tugas antara BAZNAS dan LAZ, yaitu LAZ bertugas membantu tugas BAZNAS dalam pelaksanaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang sebelumnya dalam Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 BAZNAS dan LAZ memiliki tugas pokok yang sama.
Selain itu dalam pasal 23 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 terdapat tugas tambahan yang bersifat administratif yang mewajibkan BASNAS atau LAZ memberikan bukti pembayaran atas zakat yang dibayarkan kemudian dapat digunakan oleh muzaki sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Pengawasan BAZNAS dan LAZ terdapat pengalihan tugas yang diatur dalam Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 bahwa pengawasan
merupakan tugas dari petugas yang dibentuk oleh pemerintah di dalam BAZNAS.
Sedangkan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 menyatakan bahwa pengawasan BAZNAS dan LAZ dilakukan oleh menteri serta Kepala Daerah di masing-masing Wilayah dan masyarakat juga berperan aktif dalam pengawasan terhadap BAZNAS dan LAZ. Ini semua dalam rangka praktik Pengelolaan Zakat sesuai Undang Undang.