Momen Istimewa Orang Desa Nonton Film Layar Tanjleb Bersama Elisabeth Inandiak (Prancis)
NU CILACAP ONLINE – Beralaskan rerumputan, beratapkan langit, dalam relung malam dan pijaran bintang serta purnama bulan Rabiul Awwal 1446 H, ratusan orang-orang desa berkumpul. Kali ini mereka mendapati momen istimewa menonton Film Layar Tanjleb bersama Elisabeth Inandiak (Prancis). Pada Ahad (22/08/2024) malam.
Ratusan orang desa itu duduk berjejer memenuhi tribun pelataran Pesantren Karanggedang, Salebu, Majenang, Cilacap, Jawa Tengah. Sebagian dari mereka memakai jaket tebal dan sarung untuk menghalau hawa dingin.
Sebagian sambil minum kopi, ada pula yang mengunyah sosis bakar, mie telor, pentol, dan jajanan lokal lainnya. Mereka asyik menonton film pada layar lebar yang tayang pada malam itu.
Adapun dari ratusan penonton yang hadir, ada Fahrur Rozi (Cawabub Cilacap 2024-2029), beliau datang bersama rombongan jauh-jauh dari Kroya, asal tempat tinggalnya.
Ada pula Maslan Durori (44) asal Desa Padangsari yang datang bersama istri dan anak laki-lakinya. Ada pula Kuwu Kuta Ngudiarto (55) sang Kepala Desa Karangpaningal, Tambaksari, Ciamis.
Dan banyak lagi dari mereka yang datang dengan niat untuk mengaji dan memaknai kaweruh hari kelahiran kanjeng Nabi SAW maupun sekedar untuk mengisi waktu luang saja.
Setelah melepas sandal, secara komunal mereka segera menempatkan kenyamanan, duduk dengan khusuk menyimak pemutaran film yang berlangsung.
Dengan penuh khidmat mereka menonton film yang tersuguhkan. Mata mereka begitu lekat pada layar tanjleb yang membentang lebar menawarkan imajinasi dari selasar tayangan film.
Baca Juga : Asyiknya Nobar Layar Tanjleb FFP 2023 di Majenang
Pantauan NU Cilacap Online film yang tayang pada malam itu merupakan kumpulan film koleksi Elisabeth D. Inandiak. Dengan genre film Dokumenter dan film Animasi yang memuat kenyataan peradaban dunia. Dari perkara Lingkungan, Pendidikan, Budaya maupun Peradaban manusia terutama pada jagad Muaro Jambi Sumatra Dulu dan kini.
Sebuah film dokumenter yang memuat pengetahuan tentang waktu, film yang merekam nilai-nilai agama, sejarah budaya dan peninggalannya. Adapun film animasi menampilkan terkait situs yang begitu mempesona, penuh makna dan kedalaman cerita.
Kendati keberadaan dan kehadiran ratusan penonton itu merupakan penghormatan mereka atas agenda Pesantren Karanggedang dan Sanggar Maturnuwun dalam rangka memperingati maulid Nabi Besar Muhammad SAW. Mereka pun mengaku mendapat kesempatan istimewa dan kegembiraan besar.
Pasalnya, usai pemutaran film para penonton dapat bertemu dan berbincang secara hangat, bahkan mereka mengabadikannya dengan berfoto bareng dengan narasumber utama yakni Elisabeth D. Inandiak (75) yang merupakan seorang jurnalis terkemuka, penggiat sosial budaya dan penerjemah ulung berkebangsaan Prancis.
“Betapa saya jatuh cinta dengan budaya Indonesia, dan/atau peradaban Nusantara. Mungkin keberadaan saya bersama bapak/ibu, saudara/i ini bisa berarti bahwa, katakanlah ini wujud, atau tanda cinta.” Akunya dengan senyuman dan kekhasan logat seorang bule.
Pengakuan kejujuran seorang warga negara asing (WNA) Prancis itu sontak membuat tertegun pemirsa sekalian penonton. Pasalnya betapa dia begitu fasih berbahasa Indonesia dan jawa, kata-katanya menyihir laksana penyair dan keberhasilannya dalam berbahasa itu memikat penononton bertahan hingga akhir. Pemaparannya pun mengalir.
Pemaparannya sewaktu apresiasi seusai pemutaran film. Dia pun menyadari walau bukan warga sebangsa dan setanah air Indonesia tapi perhatiannya dan dedikasinya pada peradaban nusantara tak diragukan lagi. Dialah yang berhasil menerjemahkah serat Chentini dari bahasa sansekerta ke dalam bahasa Prancis dan Indonesia.
Rupanya sejak 1989, ia “jatuh cinta” terhadap sastra Jawa dan memutuskan untuk menetapkan niatnya guna menerjemahkan Serat Centhini yang kemudian menjadi gerbang baginya (Elisabeth D. Inandiak) budayawan dan peneliti asal Prancis untuk mendalami lebih dalam dan luas tentang budaya Jawa.
Baca Juga : INSIMA Gelar Kuliah Umum, Undang Elisabeth Inandiak (Prancis)
Lawatan Sejarah Budaya Dayeuhluhur
Sejak itu kegandrungannya menjadi, bukan hanya pada kebudayaan jawa namun pada peradaban nusantara ini, yang beragam suku, bahasa, adat istiadat dan peninggalan budayanya. Maka tak heran jika itu memantiknya dan menariknya sampai kepada Kebudayaan Majenang Raya ini.
Dalam kunjungannya yang terbatas waktu, maka ambil kesempatan lakukan lawatan sejarah budaya agar waktu tidak sia-sia,
Dan walau dalam pedalaman dan pelosok Dayaluhur (dayeuhluhur) konon sebuah daerah yang tertua dalam wilayah Kabupaten Cilacap. Dan mengaku gembira dan terpesona.
“Saya tadi, dengan bapak Ucup (Yusup Martani), ada ibu Rita (Candella Natadisastra) yang mendampingi saya, dan beberapa teman-teman dari mahasiswa dan santri. Sesampainya di sana (Dayeuhluhur), kami ketemu dengan Bapak Adat, Ceceng Rusmana namanya, lalu mengunjungi beberapa situs kuno, dan itu alangkah baik. Dan betapa masih terjaga asri. itu situs, situs-situs kuno itu sangat mempesona,” Akunya.
Lebih lanjut dia menuturkan sepulang dari lawatan sejarah budaya pada sebuah situs kuno Dayeuhluhur tersebut, adalah menjadi pengalaman pertamanya bahwa dalam sejarah dirinya merasakan ‘traditional medical’ yakni pijat refleksi ahli tulang Panulisan.
“Masalah tulang adalah hal yang niscaya untuk orang setua usia saya (75) tahun. Tadi saya mencoba berani untuk pijat refleksi ke ahli tulang di Panulisan. Kepada abah jenggot, Koko Waskono namanya.”
“Punggung saya dipijit olehnya. Walau awalnya wedhi (takut). Saya ini orang takut sakit oleh karenanya saya beranikan, dan percayakan ke ahlinya. Dia (Abah Koko Waskono) rupanya membaca mantra-mantra yang saya tidak ketahui, lalu dia memijat-mijat bagian tulang belakang saya. Dalam beberapa menit saja. Saat itu saya rasakan energi merasuk dan menusuk. Semoga hasilnya membaik.” Harapnya.
Para penonton yang hadir terkesima bahkan tidak banyak orang yang menyangka bahwa beliau telah berusia lanjut oleh karena semangat dan saat memaparkan pun terlihat begitu enerjik.
“Resepnya karenanya saya lebih memilih duduk pada kursi kayu, maupun tidur di teras beralaskan klasa tebal. Dan tidak dengan busa,” Jawabnya atas pertanyaan penonton apa sih resep awet muda dan berstamina baik.
Pada kesempatan itu Elisabeth D. Inandiak juga memaparkan cerita bagaimana pengalamannya berkeliling ke beberapa negara dan bangsa saat menjadi seorang jurnalis.
“Saya bermodal keberanian saja, tentunya dengan ilmu menguasai bahasa dan keterampilan pena, dengan begitu, sembari melakukan berbagai usaha pada suatu hal, dan berbagai daerah, bahkan negara.”
“Kemudian mengembangkan, dan upaya menjaga, melestarikan bersama warga pemilik hak atas budaya. Agar tetap sesuai dengan perkembangan zaman, dengan buat buku atau felem. Semua itu demi terciptanya harapan, kehidupan yang lebih bermakna, dan manusiawi.” Pungkasnya.
Sejarah Pertama Ke Pesantren Karanggedang
Adapun sebelum pemutaran film berlangsung, ungkapan sekapursirih dari ahli bait Pengasuh Pesantren Karanggedang KH Faisal Kamandobat yang menghelat acara pemutaran film layar tanjleb tersebut mengutarakan sambutan hangat selamat datang kepada Ibu Elisabeth D. Inandiak.
“Ini momen istimewa bagi kita selaku warga desa dan terutama bagi orang Prancis yang telah mencatat sejarah pertamanya ke Pesantren Karanggedang, Salebu, Majenang, Cilacap. Semoga menjadi berkah untuk kita semua.”
Riuh gemuruh tepuk tangan ratusan penonton pada ahad malam itu suasana uang sebelumnya hening jadi riang penuhi komplek pelataran Pesantren.
Sambutannya berharap kehadiran Ibu Eli (Sapaan Akrab Elisabeth D. Inandiak) pada kesempatan istimewa itu selain memberi manfaat guna semangat literasi generasi juga sebagai edukasi, bahkan medium inspirasi dan refleksi.
“Semoga antusiasme dari masyarakat pada kesempatan pemutaran film layar tanjleb ini tidak hanya sebagai tontonan atau media hiburan namun sekaligus menjadi sarana apresiasi dan edukasi,” harapnya.
“Terakhir semoga dengan kegiatan Maulid Nabi yang kita peringati ini semakin melimpahi kita dengan manfaat dan berkah, serta ilmu dan adab yang semakin indah.” Pungkasnya.
Baca Juga: Kantata Takwa, Film Layar Tanjleb Tayang Perdana di Pelosok Desa
Menilik Layar Tanjleb Indonesia
Sementara itu, pengamat sosial dan filmaker Sekolah Seni Lesbumi NU Majenang Asrof Khaerudin menjelaskan bahwasannya Layar Tanjleb merupakan pemutaran film pada ruang terbuka.
Hal itu sebagai penyeimbang gerak zaman karena pada era sekarang orang menonton film paling dominan melalui media streaming melalui internet.
“Maka apabila menilik jauh ke belakang di Indonesia pernah tenar yang namanya Layar Tancap (tanjleb). Sebuah pertunjukan film di alam terbuka seperti malam ini”. ungkapnya.
“Kendati kini pada suatau desa, atau daerah bahkan di Indonesia sulit kita menjumpainya. Itulah mengapa malam ini kami menggelarnya. Karena menonton film melalui layar tanjleb (layar tancap) ada keasikan dan sensasi tersendiri.” Imbuhnya.
Layar tanjleb merupakan acara yang menyenangkan, penuh kesegaran, dan makna, dan persahabatan antar sesama pun tercipta sehangat hitam kopi. (IHA).