Tradisi Sedekah Gunung

NU CILACAP ONLINE – Bulan Maulud atau Rabiul awal dalam kamus hidup orang sunda Dayeuhluhur, Cilacap, Jawa Tengah merupakan bulan sakral. Yakni bulan memperingati keagungan dengan menggelar Tradisi Sedekah Gunung.

Tradisi Sidekah Gunung sebagai peringatan ‘selametan’ ini mengandung makna ungkapan wujud nikmat syukur kepada Allah SWT atas segala karuniaNya terutama anugerah diberi desa yang subur.

Tradisi Sidekah Gunung juga sebagai bentuk bakti. Yaitu tanda bukti terima kasih warga masyarakat kepada leluhur mereka. Selain membuat juga membangun. Mereka juga meninggalkan amanah beserta ilmu pengetahuannya. Oleh karenanya semua warga sekitar gunung melakukan tetirah jatidiri dan rohani pada kawasan pesarean keramat leluhur mereka.

Maulud adalah waktu guna mengingat nilai keberkahan dan kemanusiaan yakni melakukan tetirah Jatidiri dan rohani.

Tetirah rohani merupakan laku lampah spiritual masyarakat untuk bermunajat kepada Illahi Rabbi.

Semua warga lintas usia dan generasi melakoni pendakian Gunung Dayaluhur untuk berkumpul, berziarah, bertawasul, dan berdoa Bersama.

Juru kunci sebagai tokoh spiritual memimpin jalannya acara seraya mengucapkan kalimat-kalimat tahmid, takbir, dan tahlil.

Sedekah Gunung sebagai adat budaya masyarakat Dayeuhluhur ini telah mentradisi sejak lama. Penyelenggaraannya setahun sekali dan pada waktu yang telah ditentukan.

Tepatnya mengacu pada penanggalan jawa dan kalender hijriyah yakni pada hari Jumat Kliwon maupun Senin Kliwon pada bulan Rabiul Awal atau Bulan mulud, Bulan mulianya Kelahiran Nabi Agung Muhammad SAW.

sidikah-gunung

Laku Lampah Spiritual

Menurut cacatan Lembaga Adat Desa Hanum, laku lampah spiritual masyarakat ini telah berlangsung lama. Adapun perkiraan yang pertama memberi amanat kepada keturunannya agar Gunung Dayeuhluhur terpelihara dan pesareannya dijaga adalah Eyang Bungsu Gunung Cimuncang ( hidup Era 1780-an) yang merupakan ayah dari Ki Kuwu Leutik yang merupakan kuwu atau Kepala Desa pertama Desa Hanum Era Modern.

Berikut nama-nama Juru Kunci Gunung Dayaluhur dari masa ke masa yang perlu diketahui yaitu diantaranya;

  1. Ki Raksangali Sekitar era tahun 1840an ( Putra Ketiga dari Kuwu Leutik)
  2. Ki Astrangali era 1870an ( Putra Ki Raksangali )
  3. Ki Kaiman era 1920an ( Putra Ki Astrangali )
  4. Embah Sanromi era 1950an ( Putra Ki Kaiman)
  5. Ki Sanurwi era 1990an ( Putra Ki Kaiman Adik Embah Sanromi)
  6. Ki Sukardi era 2000an ( Cucu Ki Kaiman)
  7. Ki Cocon era sekarang ( Cucu Embah Sanromi )

Ada Beberapa Versi yang menyebutkan penamaan Gunung Dayeuhluhur atau Gunung Dayaluhur, diantaranya :

  1. Berdasar legenda di era Ciung Wanara, bahwa setelah menjadi raja, ketika Raja mendengar kabar bahwa para pencari ibunya telah menemukan ibunya kembali yaitu Dewi Naganingrum untuk rasa syukurnya dia menamakan seluruh wilayah yang luas dari Cisarayu sampai Cijolang itu bernama Dayaluhur dari titik lokasi ini, kemudian lokasi dia bertemu kembali dengan ibunya di muara Cijurey ke Cibaganjing bernama Tarik Kolot atau Talari Kolot.
  2. Pada Era Raja Gagak Ngampar mendirikan Kerajaan Dayaluhur era pertengahan abad 15 M, dan bermaksud mendirikan ibukota atau istana di Tarik Kolot dia tidak menyukai nama Tarik Kolot itu, lalu menganti nama Tarik Kolot dengan Dayaluhur seperti nama Kerajaannya. Sementara untuk membedakannya daerah sekitar Gunung Dayaluhur dia namakan Hanum, berdasar Kisah Dewi Pangrenyep yang merupakan Istri Muda Raja Permana Dikusuma yang dibuang ke hutan hulu Cihanum, Tetapi nama lokasi Raja Ciung Wanara berdiri dahulu tetap dinamakan Gunung Dayaluhur.
  3. Versi Berikutnya adalah berdasarkan leluhur utama yang dihormati oleh Masyarakat Dayaluhur era itu hingga sekarang, yang dikuburkan di Gunung

Gunung Dayeuhluhur telah memberikan berkah oleh karena mereka memegang Teguh Kedayaluhuran. Lalu siapakah mereka? merakalah yang pada jiwanya memiliki sikap budaya agung sperti gunung yaitu yang penyabar, pengasih, dan suka memaafkan.

Gunung Dayeuhluhur merupakan gunung hutan yang sudah lama disakralkan, secara georafis gunung ini masuk wilayah Dusun Rimpaknangsi Desa Hanum.

Gunung Dayeuhluhur adalah hulu Sungai Cihanum dan merupakan juga sumber mata air bagi sungai Cijumbaer, Cikerebek, serta Cibeurih.

Maka lokasi Gunung tersebut memenuhi aturan leluhur tentang Ilmu Wurugan Lemah ( ilmu tata letak perkampungan) dan Dharma Patanjala ( ilmu fungsi air ).

Maka sejak dulu Gunung Dayeuhluhur menjadi sumber utama air kehidupan (cai Kahuripan) masyarakat ini. Airnya mengaliri kesemua warga sekitar terutama masyarakat dusun rimpagnasi bahkan tidak ada satu pun warga yang menggali sumur.

Dalam lintasan sejarah dan Waktu, sedekah gunung ada keterkaitan dengan nilai budaya dan sejarah tradisi masyarakat dayeuhluhur seperti tradisi sidekah kupat, tradisi ngabubang dan lainnya.

Dahulu kawasan Dayahulur merupakan alur puraga atau jalur (darat) kuna, sebelum adanya Jalan Daendels. Pada waktu zaman Mataram Kuna banyak raja Pasundan yang berziarah ke Candi Dieng atau Prambanan lewat sini. Begitu pula saat Mataram Islam, banyak yang ziarah. Waktu dulu jalur utara atau selatan merupakan rawa-rawa.

Saat para raja berziarah membawa rombongan cukup besar. Mulai dari prajurit hingga para petinggi kerajaan.
Nah, sebagai rasa bakti warga, para penduduk yang wilayahnya dilewati rute ziarah raja-raja Pasundan, mereka pun menyediakan tempat untuk beristirahat, berlindung dan ketupat sebagi sajian pun berkat mereka.

Sejak itulah warga sekitar gunung ini bergiat secara sadar dan komunal, mereka menyediakan bekal untuk iring-iringan raja. Sebelum itu, warga telah menyiapkan tempat istirahat, membersihkan jalan desa untuk menghormati rombongan raja yang melakukan perjalanan atau Sapar.

Jika Tradisi Sidekah Kupat pada bulan Sapar yang berarti perjalanan raja, maka bulan maulud merupakan bulan kelahiran atau keselamatan warga desa.

Secara tradisi pula, Sedekah Gunung merupakan hari penutup dari acara Sidekah Kupat di waktu sebelumnya. Dan juga hari penutup bagi orang yang berpantangan mengolah hutan. Artinya inilah kunci, dan waktunya bagi para petani dan peladang untuk memulai membuka lahan dan bercocok tanam.

Selanjutnya, tradisi ini terus dilakukan sebagai pesan bahwa warga masyarakat Dayaeuhluhur sangat menghormati orang terutama para pahlawan, para pendahulu mereka, yang kini bersemayam pada pesarean kuna ataupun situs-situs keramat.

Acara Sedekah Gunung syarat akan nilai sejarah, gotong – royong, pelestarian lingkungan hutan dan sumber air, tata lokasi pedesaan.

Sedekah Gunung adalah wujud syukur kepada Allah SWT dan juga sebagai bakti terima kasih warga masyarakat kepada leluhur yang dahulu membuat perkampungan serta membangun perkampungan, kemudian melestarikan dan meneruskan amanat warisan beserta ilmu pengetahuan para leluhur Dayaluhur/Dayeuhluhur.

Warisan Budaya

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mencatat dari sekitar 726 karya budaya asal Jawa Tengah baru 103 yang tercatat dan ditetapkan sebagai WBTB.

Maka, upaya pendokumentasian sangat perlu untuk menjadi sumber primer sebagai syarat administratif dalam membumikan adat ini agar dapat diakui sebagai Warisan Budaya tak benda (WBTB) atau Intangible Heritage.

Sidekah Gunung tidak saja soal perlindungan pemerintah dalam pelestarian lingkungan, adat budaya dalam Kawasan hutan adat. Tapi, jika Tradisi Sidekah Gunung serius digarap, kegiatan ini bisa menambah pundi-pundi ekonomi warganya, dalam menggeliatkan perekonomian warga setempat bisa lewat atraksi wisata maupun budaya. (IHA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button