Gus Mus: Jangan Berlebih-lebihan
REMBANG, NU Cilacap Online – Ketika mendukung sosok tertentu, sisakan ruang untuk sebuah keraguan. Ini untuk mengendalikan sikap berlebih-lebihan.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, sistem demokrasi yang sedang berlaku di negeri ini jelas perlu disyukuri. Yang kurang dalam sistem ini, perlu terus disempurnakan.
Praktik-praktik politik yang dianggap menyimpang, kurang etis atau menyalahi aturan, tentu perlu dikritik.
Sementara, yang sudah berjalan baik, perlu terus ditingkatkan.
Kritik adalah pupuk bagi kemajuan sistem apa pun, termasuk sistem politik. Jika kritik dihambat, maka hilanglah kesempatan bagi sistem itu untuk memperbaiki diri sendiri.
Meski demikian, kita tidak boleh terjerembap dalam detail pohon, lalu lupa pada keluasan hutan.
Kita tidak boleh lupa pada gambar besar, bahwa kita hidup di negeri yang relatif demokratis.
Berkat demokrasi inilah kita dianugerahi nikmat yang luar biasa, yaitu pemilu yang dilangsungkan secara rutin setiap lima tahun.
Tujuan Besar dan Tujuan Kecil
Dengan segala kekurangannya, jelas pemilu yang kita miliki saat ini jauh lebih baik dari segi kualitasnya dibandingkan dengan pemilu-pemilu lampau di zaman Orde Baru.
Kita tahu semua, fungsi pemilu pada saat itu hanya sebatas ”stempel politik” saja bagi kekuasaan. Tak lebih, tak kurang.
Jangan sampai pemilu kita hari ini terjatuh pada kesalahan serupa. Jangan sampai pemilu dimerosotkan kembali sebagai stempel saja.
Akan tetapi, di sisi lain, pemilu harap dilihat bukan semata-mata sebagai pemilu saja, dilepaskan dari gambar besarnya.
Pemilu hanyalah wasilah atau sarana saja untuk meraih al-maqshad al-a’dzam alias tujuan besar: yaitu negara Indonesia yang Bhineka, melindungi semua, berkeadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Ada bahkan mungkin banyak politisi yang terlibat dalam kompetisi politik, terkurung dalam tujuan-tujuan kecil untuk memenangkan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, seraya melupakan gambar besar ini.
Bahasa pesantrennya: al-ghayah tubarrir al-wasa’il, tujuan menghalalkan cara. Ini adalah tindakan politik yang kerdil.
Tindakan politisi yang kerdil seperti ini, aneh bin ajaibnya, diikuti pula oleh sebagian para pendukung dan penyorak politik dengan cara memberikan dukungan
Pentingnya Sikap Moderat
Dukungan kerdil itu tampak jelas dalam perilaku sebagian kalangan yang mendukung tokoh-tokoh tertentu secara berlebih-lebihan sehingga lupa pada gambar besar.
Dukungan yang berlebihan ini kemudian menimbulkan dampak-dampak yang kurang baik dalam hubungan-hubungan sosial.
Dampak yang paling serius adalah anggapan bahwa kalau bukan calon saya yang menang, maka akan hancurlah negeri ini. Inilah sikap mutlak-mutlakan.
Hubungan-hubungan sosial bisa pecah karena sikap mutlak-mutlakan dan berlebih-lebihan semacam ini.
Indonesia sebagai rumah besar bisa rubuh dengan sikap mutlak-mutlakan seperti ini.
Dari sono-nya, proses-proses politik itu memang cenderung ”lunyu” atau licin.
Setiap perubahan gampang terjadi di sana. Perubahannya tidak sekadar tahun, tapi bisa bulan bahkan hari.
Baca juga Inilah Jaman Kemajuan, Puisi Sindiran Gus Mus Terbaru
Politik Sifatnya Dinamis
Apa yang terjadi hari ini belum tentu sama esok harinya. Mereka yang memperlakukan politik seperti barang padat yang ”keset” akan mudah kewirangan (malu) dan kecelik (kecele).
Oleh karena itu, mereka yang mati-matian mendukung tokoh tertentu secara berlebihan akan gampang kecele di kemudian hari.
Konon, kata para ahli, politik adalah seni segala kemungkinan. Tetapi, sebagian para penyorak dan pendukung dalam kompetisi politik malah memperlakukannya sebagai seni sebuah kepastian.
Sikap moderat dan sak madya, karena itu, adalah sikap yang paling baik dan tepat. Sikap ini tepat bukan saja dalam konteks pemilu saja, melainkan untuk segala hal.
Ini adalah kaidah sederhana yang telah diajarkan oleh para kaum bijak dari segala tradisi agama sejak dahulu kala.
Di tengah riuh-rendahnya kompetisi politik, kita tidak boleh lupa pada kaidah sederhana ini. Kita perlu bersikap moderat dan sedang-sedang saja dalam segala hal. Jangan sampai kita berlebih-lebihan.
Ketika mendukung sosok tertentu, sisakanlah ruang, walau hanya secuil saja, untuk sebuah keragu-raguan bahwa tokoh yang kita dukung ini jangan-jangan tidaklah seperti yang kita persangkakan selama ini.
Keragu-raguan ini diperlukan untuk mengendalikan sikap yang berlebih-lebihan itu.
Yang patut terus diingat oleh semua pihak, politik pilpres hanyalah peristiwa rutin lima tahunan.
Sementara urusan merawat Indonesia adalah kepentingan jangka panjang yang jauh lebih penting.
Jangan sampai peristiwa singkat ini dibesarkan melebihi proporsinya sehingga menenggelamkan tujuan jangka panjang itu.
Inilah kewarasan dalam berpolitik. Kita perlu menjaga kewarasan ini secara bersama-sama, antara lain dengan menghindari sikap berlebih-lebihan dalam urusan kompetisi politik.
Godaan untuk tidak waras hari-hari ini memang sangatlah besar. Godaan ini ada pada kedua belah pihak sekaligus; pada pemain politik, dan juga pada penyorak politik. Masing-masing pihak mesti mengendalikan diri.
Negeri ini akan bermasalah jika masing-masing pihak bertindak melebihi batas-batas kepantasan.
Para pendiri negara ini telah meninggalkan warisan penting bagi generasi sekarang, yaitu sikap-sikap politik yang selalu menempatkan kepentingan negara dan rakyat di atas segala-galanya.
Inilah kebalikan dari kekerdilan politik yang kita lihat di sebagian kalangan hari-hari ini.
Generasi pendiri negara ini memang tidak mewariskan negeri dengan kelimpahan materi. Tetapi, mereka mewariskan sebuah sikap dan perilaku yang bersifat teladan. Warisan ini perlu terus dijaga agar kita tetap bisa waras. (IHA)
Penulis Ahmad Mustofa Bisri Bin KH Bisri Mustofa adalah Kiai dan Penyair asal Rembang