Islam dan Penguatan Hak Penyandang Disabilitas

NU Cilacap Online – Bagaimana pandangan dan upaya Islam untuk memberikan dukungan dan penguatan terhadap penyandang disabilitas (termasuk hak) dari perspektif fikih ?, Artikel berikut ini menjelaskan secara singkat.
Telah dimaklumi, Islam diturunkan untuk menciptakan tata kehidupan yang damai dan penuh kasih sayang (rahmatan lil alamin). Visi ini terefleksi dalam keseluruhan teks ilahiah, baik yang berkenaan dengan masalah akidah, syariah maupun tasawuf atau etika.
Islam dan hak dasar manusia
Konsep rahmatan lil alamin ini secara tidak langsung menekakan peran Islam dalam memenuhi hak-hak dasar manusia (huququl insan).
Islam sebagai agama samawi tidak terlepas dari empat tujuan. Pertama, untuk mengenal Allah Swt (ma’rifatullah) dan mengesakan-Nya (tauhid); Kedua, menjalankan segenap ritual dan ibadah kepada Allah Swt sebagai manisfestasi rasa syukur kepada-Nya; Ketiga, untuk mendorong amar ma’ruf nahi munkar (menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran); serta menghasilkan hidup manusia dengan etika dan akhlak mulia (tasawuf); Keempat, untuk menetapkan peraturan yang berkaitan dengan hubungan sosial (muamalah) di antara sesama manusia.
Keempat poin inilah yang disebut oleh Syaikh Ali Ahmad Al-Jurjawi sebagai maksud dan hikmah diturunkannya hukum Islam (hikmatut tasyri’). Dan salah satu aspek kehidupan manusia yang sangat diperhatikan oleh Islam sejak diturunkannya adalah masalah pemenuhan hak-hak dasar manusia, terutama bagi penyandang disabilitas.
Hak penyandang disabilitas
Misi Islam dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas, ada contoh dan teladan umat Islam dari Nabi Muhammad Saw. Terdapat riwayat, ketika sahabat Abdullah Ibnu Umi Maktum mendatangi Nabi Muhammad Saw untuk memohon bimbingan Islam, Nabi Saw mengabaikannya, karena Nabi Saw sedang sibuk mengadakan rapat bersama petinggi kaum Quraisy tentang hal yang sebenarnya merupakan prioritas, karena terkait nasib kaum muslimin secara umum.
Kemudian, turun Surat ‘Abasa sebagai peringatan agar Nabi Saw. lebih memperhatikan Abdullah Ibnu Umi Maktum yang disabilitas netra, daripada para pemuka Quraisy itu. Sejak saat itu, Nabi Muhammad Saw. sangat memuliakan Ibnu Ummi Maktum dan bila menjumpainya langsung menyapa dengan kalimat:
مَرْحَبًا بِمَنْ عاَتبَنِي رَبِّ فِيهِ
“Selamat berjumpa wahai orang yang karenanya aku telah diberi peringatan oleh Tuhanku.”
Melihat asbābunnuzūl (sebab turun) Surat Abasa, Islam sangat memperhatikan penyandang disabilitas, menerimanya setara sebagaimana manusia lainnya dan bahkan memprioritaskannya.
Rasulullah Saw. sendiri terhadap penyandang disabilitas melakukan pemberdayaan dan pengembangan potensinya. Hal ini setidaknya terjadi terhadap sahabat Ibnu Ummi Maktum, yang dapat berkembang sebagai individu penyandang disabilitas netra yang tangguh dan mandiri serta mempunyai skill kepemimpinan yang kuat.
Terbukti, Rasulullah Saw. pernah mengangkat sahabat Ibnu Ummi Maktum untuk mewakilinya menjadi imam di Madinah ketika Nabi Muhammad Saw. sedang bepergian ke luar Madinah. Demikian ajaran Islam dalam pemenuhan hak dan pemberdayaan penyandang disabilitas.
Namun, ajaran seperti ini belum digunakan secara maksimal sebagai spirit untuk melakukan upaya-upaya pemenuhan “hak penyandang disabilitas” oleh umat Islam; termasuk umat Islam di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan, sekalipun “jumlah penyandang disabilitas” di Indonesia cukup besar; yakni lebih dari 6 (enam) juta jiwa, namun perhatian masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, terhadap penyandang disabilitas masih tergolong rendah.
Tak sedikit para “penyandang disabilitas“; yang mengalami perlakuan diskriminatif, mulai dari lingkungan keluarga hingga masyarakat.
NU dan Hak penyandang disabilitas
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah) telah merespon masalah “penyandang disabilitas” ini; dengan sejumlah aksi dan tindakan; termasuk juga, membahas permasalahan disabilitas dengan melibatkan para Kiai.
Nahdlatul Ulama memandang penyandang disabilitas bukan sebagai persoalan medis, melainkan merupakan persoalan sosial. Oleh karena itu Nahdlatul Ulama merasa perlu terlibat dalam penguatan hak dan pemberdayaan penyandang disabilitas secara serius dan berkeadilan.
Kemudian, Nahdlatul Ulama harus selalu hadir dalam upaya menyelesaikan masalah tersebut guna menciptakan kemaslahatan. Respon Nahdlatul Ulama yang demikian itu merupakan salah satu bentuk kepeduliannya terhadap masalah-masalah sosial yang tidak hanya sebagai mandat jam’iyah tetapi juga perintah agama. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 143:
ؕوَكَذٰلِكَ جَعَلۡنٰكُمۡ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَکُوۡنُوۡا شُهَدَآءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوۡنَ الرَّسُوۡلُ عَلَيۡكُمۡ شَهِيۡدًا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”.
Untuk menjadi saksi di- syaratkan adanya kehadiran (hudlur). Artinya, harus ada keterlibatan secara aktif dalam kehidupan sehingga spiritualitas Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin bisa mewujud dan mengada dalam bentuk kepedulian terhadap persoalan yang menyelimuti masyarakat.
Seorang saksi tidak bisa hanya bertindak sebagai penonton. Ia punya hak untuk mengawal, mengarahkan dan mengoreksi segala apa yang di- saksikan; demi kemaslahatan yang bertumpu pada perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Selain itu, Islam sangat menganjurkan umatnya untuk solidaritas terhadap sesama muslim, dan bahkan Rasulullah Saw. memberikan peringatan keras; bukan muslim jika tidak peduli terhadap persoalan muslim lainnya. Rasulullah Saw. bersabda:
مَنْ لَمْ يَهْتَم بِأ مْرِ الْمُسْلِمِيْنْ فَلَيْسَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang tidak peduli dengan urusan kaum Muslimin, maka dia tidak termasuk dalam golongan mereka.”
Melalui Lembaga Bahtsul Masail PBNU, NU merespon masalah disabilitas. Pembahasan penting mengenai penyandang disabilitas mendapat perhatian serius kalangan jamiyyah dan jamaah NU di sejumlah daerah. Rabitah Ma’ahid Islamiyah (RMI) turut menaruh perhatian pada persoalan tersebut dengan menyelenggarakan peluncuran paradigma pesantren inklusif; di Pondok Pesantren Luhur Tsaqafah, Jagakarsa.
Baca juga Ranting NU Tritih Wetan Peringati Hari Disabilitas Internasional
Dalam forum peluncuran paradigma pesantren inklusif tersebut, saya sampaikan bahwa komitmen NU dalam memperkuat kapasitas, mendorong penerimaan (rekognisi); dan mengupayakan sejumlah kebijakan inklusif melalui mekanisme perumusan pada Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama (Munas NU); pada 23-25 November 2017 di Lombok, NTB telah kami lakukan.
Pembahasan atas pertanyaan yang berkembang di masyarakat kami jawab dalam sidang bahtsul masail dan dalam buku ini; jawaban atas pertanyaan tersebut sudah terumuskan dengan amat sangat baik dan mendudukkan penyandang disabilitas setara.
Saya percaya, saudara-saudara kita penyandang disabilitas mampu bahkan bisa jauh lebih baik dari saya dan lainnya.
Tokoh penyandang disabilitas
Sebagai contoh, banyak sekali orang hebat yang menoreh sejarah dalam Islam, padahal disabilitas netra atau tidak bisa melihat. Sejarah kontemporer mencatat, Prof Dr Thoha Husain dari Mesir.
Beliau sejak kecil disabilitas netra, kemudian menempuh studi ke al Azhar Kairo untuk studi kesastraan Arab. Melanjutkan pendidikan doktoralnya di Sorbonne Paris dan menikah dengan warga negara Perancis. Ketika menulis disertasi, dia sudah punya satu anak.
Thaha Husain sambil menggendong anaknya dan istrinya membacakan literatur. Beliau menyimpulkan, dan istri yang menuliskannya. Pulang dari sana, nama beliau mulai populer dengan gelar sebagai Amidul Adabi Arabi; sebagai pelopor sastra arab yang melakukan perombakan dalam gaya sastra arab. Mulanya sastra arab berakhir pada sajak-sajak, namun beliau melakukan transformasi dalam tradisi literatur sastra arab dengan tidak melupakan aspek estetikanya.
Kemudian presiden kita K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Beliau punya keterbatasan dalam penglihatan, namun beliau berjasa sangat besar bagi bangsa dan negara. Salah satunya, dalam politik internasional beliau menyampaikan kepada sejumlah negara di Eropa agar Papua tidak lepas dari NKRI yang berniat membuat referendum kemerdekaan.
Gus Dur membuat kesepakatan-kesepakatan yang meyakinkan agar Papua tetap menjadi bagian dari NKRI. Apabila Gus Dur ke sejumlah negara di Timur Tengah, beliau meyakinkan para kepala negara tersebut untuk tetap mendukung kemajuan masyarakat Aceh; namun tetap dalam satu bagian dari NKRI.
Begitu juga sejumlah provinsi lainnya yang berupaya memisahkan diri dari Indonesia; tidak henti-hentinya Gus Dur membangun keyakinan Internasional bahwa Indonesia tetap negara kesatuan. Gus Dur dengan keahlian dan upayanya mampu menjaga dan tetap mempersatukan Indonesia.
Almarhum Gus Dur yang disabilitas netra mampu menyelamatkan Indonesia dari disintegrasi, serta memastikan keselamatan bangsa dan negara dari bahaya perang saudara.
Gus Dur presiden pertama yang membentuk kementerian bidang perikanan dan kelautan. Dengan Indonesia yang luas wilayahnya terbesar adalah lautan, Gus Dur sangat sadar bahwa kekayaan bangsa yang bersumber dari lautan sangat luar biasa. Jutaan ton ikan tuna bisa menjadi amat bernilai ekonomi untuk kebutuhan dalam negeri dan pasar internasional.
Pemenuhan hak penyandang disabilitas
Dengan lautan yang sangat luas, butuh kemampuan sehingga masyarakat mendapat manfaat. Begitu juga kebijakan lainnya, Gus Dur membentuk Direktorat Pesantren yang sebelumnya di bawah Direktorat Bimas Islam. Gus Dur berkuasa hanya 23 bulan namun prestasinya sangat luar biasa. Hingga saat ini, para pemimpin di dunia internasional mengakui kehebatan Gus Dur.
Rakyat Indonesia pun menjadi bangga sebagai bangsa yang bermartabat meskipun tengah menghadapi cobaan gelombang krisis ekonomi dan politik.
Atas nama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, saya sangat apresiasi dan menyambut baik terbitnya buku ini. Buku ini tidak hanya menunjukkan komitmen NU dalam berperan serta mendorong penerimaan (rekognisi) terhadap saudara-saudara kita penyandang disabilitas.
Namun juga, menggerakkan masyarakat agar lebih peka dengan persoalan yang para penyandang disabilitas. Terutama yang tidak kalah penting, upaya pemerintah mengambil peran sentral melalui kebijakan dalam rangka pemenuhan hak seluruh warga negara.
Saya menyarankan agar para pemangku kebijakan, tokoh agama dan tokoh masyarakat, pengurus NU semua tingkatan, para kyai pesantren, akademisi dan juga masyarakat umum; perlu membaca buku ini agar memahami kebutuhan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas sebagai bagian dari warga negara. Pembaca juga bisa memetik hikmah bahwa sejatinya penyandang disabilitas memiliki kedudukan yang setara.
Di samping putusan-putusan bahtsul masail dan rekomendasi NU terkait “persoalan disabilitas”, buku ini juga menjelaskan perkembangan persoalan aktual yang dialami masyarakat dalam memandang masalah disabilitas yang masih membutuhkan jawaban-jawaban keagamaan dari sisi Fikih. [Artikel oleh Prof Dr KH Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU]