Asbabunnuzul, Memahami Sebab-Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an

NU CILACAP ONLINE – Asbabunnuzul berarti sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat Al-Qur’an. Secara terminologi lafal Asababunnuzul terdiri dari dua lafal, yaitu asbab dan nuzul. Asbab berbentuk jamak yang bermakna beberapa sebab, nuzul artinya bertempat.

Latar belakang tersebut bisa berupa pertanyaan-pertanyaan yang sampai kepada Nabi Muhammad, atau berupa kejadian-kejadian yang terjadi baik di kalangan umat Islam maupun di sekitar Makkah dan Madinah.

Begitu pentingnya memahami Asbabunnuzul untuk memahami ayat Al-Qur’an, beliau Al-Imam Ibnu Taimiyah mengatakan Inna Ma’rifata Asbabunnuzuli Yun’inu;  “Sesungguhnya mengetahui Asbabunnuzul itu bisa membantu untuk memahami makna dari Al-Qur’an.

Imam Suyuti mengatakan, Innalbayana Asbabunnuzuli Sababun Qowiyun Li Fahmi Ma’aniyalqur’an; “Memperjelas asbabunnuzul itu menjadi sebab yang sangat kuat untuk memahami makna daripada Al-Qur’an.

Sementara itu Imam Al-Wahidi, bagi orang yang mau memahami, menafsiri, maka yang pertama dipelajari yaitu Asbabunnuzul. Maka begitu pentingnya memelajari ilmu Asbabunnuzul untuk dapat menginterpretasikan Al-Qur’an.

Baca juga

Ada beberapa kepentingan yang bisa kita dapat kita petik dengan memahami Asbabunnuzul, antara lain;

1. Kita bisa mengetahui hikmatussyar’i, yaitu mengambil hikmah atau ketenangan batin dalam hukum-hukum syar’i yang diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an.
2. Istinbatul Hukmi, yaitu mengeluarkan hukum-hukum dari ayat-ayat Al-Qur’an secara tepat.
3. Mengetahui Khos dan Aam, yaitu mengetahui kepada siapakah hukum ayat itu ditujukan.

Contohnya, mengenai adanya rukhsah atau kemurahan untuk melaksanakan shalat jamak dan qasar. Ayat tersebut turun ketika kaum muslimin merasa takut dengan orang-orang kafir.

Namun, setelah ketakutan itu sudah selesai atau adanya Fathul Makkah, para sahabat bertanya kepada Rasulullah “Apakah masih diperbolehkan melakukan Jamak dan Qasar?”. Rasulullah menjawab “Sodaqotu Minallah”.

Shalat jamak dan Qasar merupakan kemurahan dari Allah, maka masih berlanjut meskipun sebab yang menjadikan ayat tersebut telah selesai, masih bisa dilakukan untuk umum.

4. Dapat memaknai lafal yang memiliki beberapa makna. Dalam Bahasa Arab, ada sebuah kata yang memiliki makna yang banyak. Dengan mengetahui Asbabunnuzul ini, kita dapat memahami makna yang tepat dari ayat-ayat Al-Qur’an.

5. Yang terpenting adalah kita tidak akan terjebak dengan dzohirul ayat setelah memahami Asbabunnuzul. Karena jikalau kita terjebak dalam dzohirul ayat, kita dapat mengambil kesimpulan yang salah dan fatal.

Sebagai contoh, ayat Al-Qur’an Surat Al-Anam 145;

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Artinya: Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi — karena sesungguhnya semua itu kotor — atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Dari perspektif Asbabunnuzul, ayat ini kalau kita pahami secara dzohir, maka akan mengatakan tidak ada makanan yang diharamkan kecuali 4 perkara ini. Maka bisa berbahaya jika kemudian mengartikan tanpa memahami Asbabun nuzul ayat terebut.

Pada saat itu ketika Rasulullah menyampaikan wahyu tentang halalnya makanan, orang-orang kafir membuat haram makanan-makanan tersebut. Mereka memahami makanan seperti hati, hewan, dan limpa yang memiliki darah adalah haram.

Maka dalam ayat tersebut, Allah menyampaikan pada ayat tersebut tidak mengharamkan darah melainkan darah yang mengalir atau mengucur. Artinya ayat ini menjelaskan bantahan terhadap orang-orang kafir tentang makanan yang dihalalkan oleh Rasul lalu diharamkan oleh orang kafir.

Kemudian Allah juga menjelaskan dalam ayat yang lain;

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala…” QS. Al-Maidah; 3.

Sehingga jika ada orang yang memahami ayat sebelumnya secara dzohir, maka dia akan menyimpulkan bahwa tidak ada yang diharamkan kecuali 4 perkara. Selain itu, halal semua.

Maka jangan kaget jika ada suatu kelompok yang menghalalkan daging anjing. Sebab dalam dzohir ayat tersebut tidak tertulis daging anjing. Mengkhawatirkan sekali dan sangat sesat apabila memahami ayat secara dzohir tanpa mengetahui asbabun nuzul. Baik dapat menjadi sebab tersesat maupun menyesatkan.

Contoh lain ayat tentang arah kiblat dalam surat Al-Baqarah Ayat 115 yang dilihat dari aspek Asbabunnuzul.

وَلِلَّهِ ٱلْمَشْرِقُ وَٱلْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجْهُ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ

Artinya; “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

Apabila memahami secara dzahir, orang-orang akan mengatakan shalat boleh menghadap ke arah saja. Sesuai arti ayat tersebut “di manapun menghadap pasti ketemu Allah”. Padahal, Asbabunnuzul ayat ini adalah kejadian ketika Rasul di Madinah sudah 16 atau 17 bulan shalat menghadap Masjidil Aqsa, arah utara Kota Madinah.

Pada saat itu, orang-orang Yahudi sangat senang sebab arah kiblat mereka sama. Pada saat itu juga Rasulullah menginginkan arah kiblat kaum muslim berpindah, kemudian Allah memberikan wahyu untuk shalat menghadap ke Masjidil Haram. Maka sejak saat itu, Rasulullah dan para sahabat tidak lagi shalat menghadap utara yaitu Masjidil Aqsa, melainkan arah selatan yaitu Masjidil Haram.

Orang-orang Yahudi kemudian provokasi kaum muslim dengan mengatakan Nabi Muhammad SAW merupakan orang yang bingung dalam beragama. Sehingga kita harus lebih dewasa, berwawasan luas agar tidak mudah terprovokasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button