Bencana, Religiusitas dan Intelektualitas

NU CILACAP ONLINE – Bagaimana bencana seperti gempa bumi dan tsunami terjadi? Sudut pandang religiusitas dan intelektualitas bisa membantu menjawab pertanyaan itu.

Mental kita terbangun dari proses pendidikan yang membentuk cara pandang. Cara pandang yang membuahkan pengetahuan, sangat mempengaruhi kesadaran, sikap dan perbuatan kita. Cara pandang yang sempit dan setengah-setengah akan melahirkan kesadaran yang minim dan rendah, sikap acuh tak acuh setengah hati, dan perbuatan tidak tepat guna karena dilakukan tanpa pengetahuan dan dengan kemauannya sendiri. Cara pandang seperti itu masih menyelimuti sebagian besar masyarakat kita.

Di seluruh Indonesia, tercatat 5.590 sungai induk dan 600 di antaranya berpotensi menimbulkan banjir. Daerah rawan banjir yang dicakup sungai-sungai induk ini mencapai 1,4 juta hektar. Kerugian akibat banjir yang melanda berbagai kota dan wilayah hampir pasti mencakup korban manusia yang terluka, hilang terseret arus atau tenggelam dan meninggal dunia; kehilangan harta benda; kerusakan rumah penduduk; sekolah yang tidak berfungsi dan bangunan sosial-ekonomi lainnya, prasarana yang rusak seperti jalan, jembatan, tanggul sungai, jaringan irigasi, dan prasarana publik lainnya; terganggunya transportasi, serta rusak hingga hilangnya lahan budidaya seperti sawah, tambak dan kolam ikan.

Di samping kerugian yang bersifat material, banjir juga membawa kerugian non material, antara lain kerawanan sosial, wabah penyakit, menurunnya kenyamanan lingkungan, serta menurunnya kesejahteraan masyarakat akibat kegiatan perekonomian mereka terhambat. Kita memerlukan sikap bijak dalam menghadapi bencana banjir dan bencana lainnya yang kerap melanda. Sikap bijak itu merupakan bagian integral dari jati diri kita sebagai mahluk religius dan memiliki daya intelektualitas.

Orang dengan kadar religiusitas tinggi, memiliki pemahaman bahwa bencana adalah takdir Tuhan, bagian dari Hukum Alam, Sunnatullah yang tidak bisa dirubah oleh manusia. Selanjutnya, orang dengan kadar religiusitas dan intelektualitas yang tinggi, memiliki pemahaman bahwa bencana bukan takdir Tuhan unsich, melainkan misteri dari Tuhan yang manusia diberi kewenangan oleh-Nya untuk mengungkapnya.

Itulah antara lain argumentasi keagamaan untuk menjawab pertanyaan; mengapa Tuhan menjadikan manusia sebagai khalifahnya di bumi ini. Ada sebagian urusan Tuhan yang diserahkan-Nya kepada manusia, yang dalam pemenuhannya memerlukan kerja keras dalam konteks keseimbangan antara aspek religiusitas dengan aspek intelektualitasnya.

Hari ini, menjelaskan bencana tidak lagi efektif hanya dari perspektif dogma dan ajaran agama. Ia memerlukan keterlibatan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi yang merupakan hasil dari imajinasi dan observasi ilmiah sebagai cermin ketinggian intelektualitas.

Penjelasan tentang bencana tak boleh lagi berhenti pada pernyataan bahwa “bencana adalah murka Tuhan”, bahwa “Tuhan sedang menurunkan azabnya karena manusia melanggar perintah-Nya”. Pernyataan itu benar dan sama sekali tidak mengurangi kemahaperkasaan Tuhan. Tapi pernyatan itu mendistorsi  sifat Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Memelihara yang manusia memiliki hak untuk mendapatkannya dari Tuhan, termasuk dalam situasi terjadi bencana.

Karena satu hal; bencana — yang kadang diidentikkan dengan musibah cobaan hingga azab — tidak terjadi dan menimpa hanya kepada para pendosa, melainkan juga kepada kaum beriman yang memiliki akhlak dan kebajikan.

Memiliki kesadaran dan pemahaman bahwa bencana adalah Takdir (ketentuan dan ketetepan dalam rencana Tuhan), adalah hal yang paling utama karena kita adalah masyarakat beragama dan berketuhanan. Penting untuk memegang teguh kesadaran bahwa dalam keadaan terjadi bencana, Tuhan hadir, ada dan selalu bersama kita dan pasti mendengar lalu mengabulkan permintaan kita. Dan melalui agama, Tuhan telah menyediakan panduan untuk mengambil tindakan dalam menyikapi bencana.

Di satu sisi, kesadaran itu penting untuk menepis kepasrahan total terhadap Tuhan yang tanpa upaya apapun dalam menghadapi bencana. Juga penting untuk mengelaborasi makan takdir agar tidak menjerat dan membelenggu karena pemahaman seperti itu bertentangan dengan ajakan Tuhan untuk mendinamisasi diri dalam upaya yang kongkrit untuk sebuah perubahan dalam kehidupan.

Di sisi lain, kesadaran itu diperlukan untuk mengerem laju sekularisasi pemikiran dan pemahaman tentang kebencanaan, yaitu pemikiran dan pengetahuan yang meninggalkan ruang agama dan ketuhanan, mendewakan intelektualitas dan kedigdayaan sains dan teknologi, yang menempatkan manusia sebagai penguasa bumi yang rakus, merasa memiliki kebebasan dalam memperlakukan alam secara tidak bertanggungjawab, sehingga menimbulkan terjadinya bencana.

Ketika musim kemarau datang dengan durasi yang sangat panjang, semua membutuhkan air, untuk keperluan sehari-hari hingga untuk memadamkan api yang membakar lahan dan hutan. Berapa biaya yang dibutuhkan untuk melakukan water boombing, untuk merekayasa teknologi membuat hujan buatan? Namun tidak menghasilkan apapun? Bahwa bulir-bulir garam dan partikel lain yang ditabur benar-benar menjadi hujan atau terbawa angin, itu menjadi domain Tuhan. Tidak ada yang terlihat terlalu sia-sia dalam usaha itu, justeru tantangan baru muncul, agar ketepatgunaan teknologi harus disempurnakan.

Di puncak musim kemarau, shalat istisqa (shalat meminta hujan) dihelat disejumlah daerah. Asbabul wurud Hadits menunjukkan bahwa Negeri Rasul Muhammad Saw., Arab adalah negeri tandus, tapi subur. Ada saat curah hujan berada di titik nadzir dan mengalami kemarau panjang, maka dijalankanlah shalat Istisqa, dan Tuhan mengabulkan; bukan karena ketinggian rekayasa teknologi, melainkan karena totalitas religius manusia. Umat Islam di Indonesia melakukan hal yang sama di puncak-puncak musim kemarau beberapa waktu yang lalu, dan Tuhan mengabulkan. Hujan turun, bukan hanya untuk umat Islam, tapi untuk semua masyarakat Indonesia, dan untuk ekosistem dan lingkungan hidup.

Saat ini, Indonesia sedang memasuki puncak musim hujan. Musibah Banjir melanda sejumlah daerah. Air sedang melimpah, tapi dalam bentuk banjir. Air bukan lagi berkah, tapi menjadi musibah, menjadi bencana. Tuhan menunjukkan misteri agar manusia berusaha untuk mengungkapnya; mengapa ada perintah melaksanakan shalat meminta hujan, tetapi tidak ada perintah shalat agar Tuhan menghentikan hujan sehingga terbebas dari banjir?

Pada zamannya, Nabi Nuh As., melakukan rekayasa sains dan teknologi dengan membuat kapal untuk mengurangi risiko bencana banjir. Kapal Nabi Nuh adalah simbol karya intelektualitas yang digerakkan oleh religiusitas dan kebajikan untuk memitigasi bencana banjir. Bukan rekayasa dan mitigasi di hulu, karena di sana tidak ada hutan, melainkan di hilir, di tempat akan terjadinya banjir. Nabi Nuh yakin bahwa kebajikan akhirnya akan memperoleh kemenangan.

Seperti diriwayatkan tentang musibah dalam Al Qur’an, Tuhan menyelamatkan Nabi Nuh dari ancaman bencana banjir. Tuhan membela Nabi Nuh beserta sebagian umatnya dan hewan-hewan piaraannya. Mitigasi Nabi Nuh menunjukkan;  takdir bencana banjir tidak harus menjadi jerat yang membelenggu tapi justeru menjadi pelecut untuk menyiapkan respon yang lebih tepat, yaitu respon yang dilandasi dengan rekayasa sains dan teknologi yang dilandasi oleh kebajikan. Mitigasi Nabi Nuh menunjukkan kemenangan kebajikan atas kerakusan manusia.

Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Saat ini, bangsa Indonesia menghadapi sekurang-kurangnya tiga persoalan sekaligus yang sangat berkaitan erat; perubahan iklim yang menyebabkan cuaca ekstrim, kerusakan hutan dan lahan, dan curah hujan tinggi yang menyebabkan banjir yang terjadi berulang-ulang.

Semuanya berpotensi menghadirkan bencana yang lebih ekstrim, namun menghadirkan panggilan yang mengharuskan untuk melakukan mitigasi yang berkelanjutan. Dalam menghadapi semua jenis bencana, bangsa Indonesia membutuhkan tidak hanya mitigasi struktural dan non struktural, melainkan juga mitigasi spiritual, agar harmoni kesadaran tentang Tuhan, manusia dan bencana tetap terjaga dan kehidupan berjalan dalam ranah kebajikan yang lebih bermanfaat.

Demikian dua sudut pandang religiusitas dan intelektualitas untuk menjawab pertanyaan bagaimana bencana seperti gempa bumi dan tsunami terjadi? Semoga bermanfaat.

Artikel Bencana, Religiusitas dan Intelektualitas ditulis oleh Munawar A.M., Wakil Sekretaris PCNU Cilacap.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button