Wajah Warga NU (Nahdlatul Ulama) Yang Khas
NU Cilacap Online – Wajah wajah warga NU (Nahdlatul Ulama), mempunyai aura tersendiri yang menjadi paritasi dengan yang lain. Sebagaimana juga, manhaj NU, yang menjadi diakritik bagi ajaran yang lainnya. Entah bagaimana, ini mungkin design dan sinyal dari Tuhan. Andaikan bukan hal yang pokok, NU menjadi ras tersendiri dalam penciptaan manusia.
Sebuah kisah menarik, di awal tahun 90-an, di mana Anak Cabang IPNU Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap, mengadakan Kemah Pemuda NU se-Eks Karsidenan Banyumas, yaitu Kabupaten Cilacap, Banyumas, Purbalingga dan Banjarnegara.
Kegiatan dilaksanakan di Desa Gentasari. Untuk kemah, di Lapangan, kegiatan seni dan lomba pidato di SMPN 4 Kroya, dan untuk sarasehan, di Pendopo Museum Soesilo Soedarman. Untuk kegiatan sarasehan, menghadirkan Budayawan Ahmad Tohari dan Rektor Unsoed waktu itu, Prof. Rubianto Misman. Saya kebetulan ditunjuk sebagai moderator.
Tapi yang menarik justru bukan kegiatannya. Melainkan satu segmen awal pencarian tempat pendaftaran peserta Kemah Bhakti. Panitia sengaja tidak menuliskan papan atau spanduk. Waktu itu, sekretariat panitia. Lucunya, Sekretariat panitia berada di tengah-tengah Kompleks Perguruan Muhammadiyah Desa Gentasari. Mulai dari TK, SD, sampai SMP.
Ada peserta dari Purbalingga, kebingungan mencari tempat pendaftaran. Sampailah dia dan kawan2 di Kompleks Perguruan Muhammadiyah. Lantas menghampiri kami, yang sedang santai-santai tanpa memakai atribut panitia.
Rekan-rekan panitia, berdasarkan penuturannya mengatakan, ini pasti sekretariat panitia, karena banyak ada anak-anak muda, yang mempunyai wajah khas warga NU. Tentu saja diagnosa rekan dari Purbalingga itu tepat sekali. Inilah sekretariat Panitia Kemah Bhakti IPNU IPPNU, walau berada di tengah Kompleks Perguruan Muhammadiyah. Ini baru wajah pemudanya.
Kekhasan Wajah Warga NU
Wajah Warga NU teduh, tatapan matanya memancarkan kelembutan dan kasih sayang, senyumnya merefleksikan keikhlasan. Gerak langkahnya menampakan ke-tawadlu-an. Perkataannya penuh hikmah dan nasihat. Pola hidupnya yang sederhana dan memancarkan keteladanan. Apalagi wajah para kiainya, ulamanya, sangat berciri khas.
Ciri khas itu bisa untuk membedakannya dengan gestur orang di luar NU. Bisa kita bandingkan, misal dengan wajah-wajah kaum radikal. Sorot mata mereka saja nampak tajam. Wajahnya menampakan kegarangan.
Tutur bahasanya jauh dari lemah-lembut, bahkan muncul hujatan dan cacian. Sikapnya arogan, merasa benar dan hebat sendiri. Ini kenyataan dan itu bukan wajah warga NU
Dengan maaf, wajah orang Muhammadiyah pun bisa dibedakan. Saya dulu waktu di Wates, di lingkungan Muhammadiyah, ada orang berwajah putih bersih, tapi ketika dia naik mimbar untuk kultum ba’da shalat isya menjelang tarawih, saya pulang. Belakangan saya ketahui dia tokoh Muhammadiyah.
Pak Amien Rais, wajahnya Muhammadiyah banget. Pakai banget, ya, karena ada orang Muhammadiyah yang wajahnya tidak “banget”.
Prof. Abdul Mu’ti, misal. Sejak beliau jadi Ketua Pemuda Muhammadiyah, saya sudah “angkat topi”, lah terhadap pikiran-pikirannya, walau hanya mengikuti beliau lewat media massa. Sampai kemudian, beberapa waktu yang lalu, saya ikut twitter, walau sekarang sudah keluar lagi, ngetwit ke beliau.
Saya katakan kepada Prof.Abdul Mu’ti, bapak ini orang Muhammadiyah ( sekarang sekjen ), tapi kok kaya orang NU? Beliau menjawab, benar dia orang Muhammadiyah, tapi dia besar di lingkungan NU. Beliau kelahiran Demak. Jadi beliau sudah terbiasa dengan tradisi-tradisi NU, seperti tahlil, yaasin, barzanji, Maulid Nabi, dan sebagainya.
Seperti orang NU
Mungkin juga beliau waktu di kandungan ibunya, dilakukan kegiatan patang wulananan dan pitung wulanan. Boleh jadi, tradisi-tradisi NU itu, membentuk ciri khas orang NU, termasul sosok Prof. Abdul Mu’ti yang Sekjen PP Muhammadiyah, tapi seperti orang NU.
Tapi NU atau bukan, menjadi tidak ditentukan dengan simbol tradisi, peci NU, tradisi NU, atau bahkan hanya sebagai pengurus NU. Bukan jaminan. Ilmu dan amaliah, adab, dan cara pandang yang toleran, terhadap perbedaan, jalan moderasi, menjaga keseimbangan kosmologi, sera memperjuangankan law enforcement, bagian dari karakter orang NU yang sangat penting.
DR. Anwar Abbas, Ketua MUI itu, juga tipikal Muhammadiyah sekali. Berbeda dengan Buya Syafii Maarif, atau Azrumardy Azra. Itu ‘sedikit” lebih hijrah dari Muhammadiyah, menuju “miri bukan Muhamnadiyah”, atau justru inilah wajah asli moderasi Muhammadiyah? walau belum sampai ke NU.
Tapi Muhammadiyah di bawah kendali Prof. Haedar Nashir pun saat ini lebih menampakan wajah kosmopolit dan relatif mirip dengan NU, melalui cita-cita Islam berkemajuannya. Muhammadiyah dan NU bahu membahu membangun islam wasathiyah untuk menjaga harmoni pluralisme di Indonesia.
Almaghfurlah Kiai AR. Fahruddin, atau Kiai Azhar Basyir, sedikit banyak lebih moderat dan menampakan kesahajaan dalam pikiran, dan tindakan. Beliau-beliau yang menampakan kesejukan, tidak sekedar punya ilmu, tapi juga “ngelmu”, atau wisdom, mempunyai kearifan, sebab memiliki konfigurasi ilmu yang mengendap menjadi sikap hidup yang andhap asor, manjing ajur ajer.
Itulah yang harus kita miliki. Mempunyai banyak ilmu, pinter, cerdas, itu perlu. Tapi memiliki kearifan sangat penting, agar harmoni kehidupan terus terjaga serta lestari.
~Artikel Wajah Warga NU Yang Khas didtulis oleh Toufik Imtikhani, Cilacap, 14-04-21