Tasawuf Aswaja (Ahlussunnah Wal Jamaah), Tinjauan Sekilas

Tasawuf Aswaja, Ahlussunnah wal Jamaah, tidak bisa dipisahkan dengan tasawuf, karena salah satu ciri khas yang kuat dalam manhaj Aswaja adalah tasawuf, atau dikenal juga dengan amaliyah dan ibadah melalui jalan Tarekat.
Dalam bidang tasawuf, Aswaja memiliki prinsip untuk dijadikan pedoman bagi pengikutnya. Sebagaimana dalam masalah akidah dan fiqih, di mana Aswaja mengambil posisi yang moderat, tasawuf Aswaja juga demikian adanya.
Dasar Tasawuf Aswaja
Manusia diciptakan Allah semata-mata untuk beribadah, tetapi bukan berarti meninggalkan urusan dunia sepenuhnya. Akhirat memang wajib diutamakan ketimbang kepentingan dunia, namun kehidupan dunia juga tidak boleh disepelekan. Dalam memenuhi urusan dunia dan akhirat mesti seimbang dan proporsional.
Dasar utama Tasawuf Aswaja tidak lain adalah al-Qur’an dan as Sunnah. Oleh karena itu, jika ada orang yang mengaku telah mencapai derajat Ma’rifat namun meninggalkan al-Qur’an dan sunnah, maka ia bukan termasuk golongan Aswaja.
Meski Aswaja mengakui tingkatan tingkatan kehidupan rohani para sufi, tetapi Aswaja menentang jalan rohani yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Imam Malik pernah mengatakan, “Orang yang bertasawuf tanpa mempelajari fikih telah merusak imannya, sedangkan orang yang memahami fikih tanpa menjalankan tasawuf telah merusak dirinya sendiri. Hanya orang yang memadukan keduanyalah yang akan menemukan kebenaran.”
Sudah sepantasnya, para sufi harus selalu memahami dan menghayati pengalaman-pengalaman yang pernah dilalui oleh Nabi Muhammad SAW selama kehidupannya. Demikian juga pengalaman-pengalaman para sahabat yang kemudian diteruskan oleh tabi’in, tabi’ut tabi’in sampai pada para ulama sufi hingga sekarang.
Memahami sejarah kehidupan (suluk) Nabi Muhammad SAW hingga para ulama waliyullah itu, dapat dilihat dari kehidupan pribadi dan sosial mereka. Kehidupan individu artinya, ke-zuhud-an (kesederhanaan duniawi), wara’ (menjauhkan diri dari perbuatan tercela) dan dzikir yang dilakukan mereka.
Kehidupan sosial, yakni bagaimana mereka bergaul dan berhubungan dengan sesama manusia. Sebab tasawuf tercermin dalam akhlak; bukan semata hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Jalan Sufi Nabi Muhammad SAW
Jalan sufi yang telah dicontohkan olch Nabi Muhammad SAW dan para pewarisnya adalah jalan yang tetap memegang teguh perintah-perintah syariah. Apakah Nabi Muhammad SAW seorang Sufi atau Pengamal Tasawuf ? Benih-benih tasawuf sudah ada sejak kehidupan Nabi Muhammad SAW. Hal ini dapat dilihat dari perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah, dan pribadi Nabi SAW.
Peristiwa dan perilaku Nabi SAW sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul, beliau sering berkhalwat (menyendiri) di Gua Hira. Di Gua Hira, beliau melakukan dzikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri pada Allah SWT.
Peristiwa ini merupakan acuan kaum sufi dalam melakukan khalwat. Begitu juga, dengan peristiwa yang dialami Rasulullah SAW saat beliau melaksanakan Isra Mi’raj hingga sampai ke sidratul muntaha dan berdialog dengan Allah SWT.
Baca juga 9 Rekomendasi Muktamar Sufi Internasional 2023
Sementara itu, dalam ibadah Rasulullah SAW senantiasa mengerjakan apa yang diperintahkan Allah. Beliau beribadah (shalat malam) hingga kakinya bengkak dan melaksanakan puasa. Beliau sangat tekun dalam beribadah. Nabi SAW merupakan tipe ideal bagi seluruh kaum muslimin, termasuk pula para sufi.
Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya: ”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.”.
Tasawuf Sahabat Nabi
Pada masa Khulafa’ur Rasyidin (sahabat Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali), para kaum sufi mencontoh perilaku sahabat dalam hal keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan, dan budi pekerti yang luhur. Sahabat merupakan perwujudan langsung murid Rasulullah yang terpercaya. Mereka juga senantiasa meneladani dan mengikuti kehidupan Nabi SAW.
Dalam kitab al-Luma’, mengutip ucapan Ali Utbah al-Hilwani (salah seorang tabiin), Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi menulis tentang kehidupan sahabat.
”Maukah saya beri tahukan kepadamu tentang kehidupan para sahabat Rasulullah SAW? Pertama, bertemu dengan Allah lebih mereka sukai daripada kehidupan dunia. Kedua, mereka tidak pernah takut terhadap musuh, baik sedikit maupun banyak. Ketiga, mereka tidak takut miskin dalam urusan duniawi dan mereka percaya semua rezeki berasal dari Allah.”
Sahabat Abu Bakar dikenal sebagai seorang saudagar kaya, yang kemudian setelah ber-Islam memilih hidup sederhana dan memberikan sebagian besar hartanya untuk membantu perjuangan Islam. Ia juga berpakaian sangat sederhana dan memilih pakaian takwa dengan hiasannya berupa sifat rendah hati, santun, sabar, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah.
Sementara itu, Sahabat Umar bin Khattab terkenal dengan keheningan jiwa dan kebersihan kalbunya. Sehingga, Rasulullah SAW berkata: ”Allah telah menjadikan kebenaran pada lidah dan hati Umar.” Ia terkenal dengan kezuhudan dan kesederhanaannya. Dalam sebuah riwayat diceritakan, sebagai seorang khalifah, Umar menggunakan pakaian yang bertambal dengan 12 tambalan saat berpidato.
Usman bin Affan menjadi teladan sufi dalam banyak hal. Usman adalah seorang yang kaya raya, namun bersifat zuhud, tawadlu’, banyak mengingat Allah, dan memiliki akhlak yang terpuji. Hartanya dipergunakan untuk kepentingan agama Islam.
Selanjutnya, Sahabat Ali bin Abi Thalib Karomallahu Wajhahu memiliki keteladanan dalam dunia kerohanian. Ia mendapat tempat khusus di kalangan sufi. Ali dianggap sebagai guru kerohanian karena dianggap mendapatkan warisan langsung dari Rasulullah SAW. Ali juga disebutkan memiliki ilmu laduni, yaitu ilmu yang diberikan hanya pada orang-orang tertentu. Ia juga tidak merasa malu memakai pakaian yang robek dan menambalnya sendiri, sebagaimana hal ini juga dicontohkan Rasulullah SAW.
Tasawuf ahl al-Shuffah
Selain keempat khalifah di atas, sebagai rujukan para sufi dikenal pula para Ahl al-Suffah; yaitu orang-orang yang tinggal di Masjid Nabawi dalam keadaan serbakekurangan, namun memiliki keteguhan hati dalam beribadah kepada Allah.
Mereka para Ahl al-Suffah ini tinggal di Mesjid Nabawi di Madinah dalam keadaan serba miskin, teguh dalam memegang akidah, dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Di antara Ahl as-Suffah itu adalah Abu Hurairah, Abu Zar al-Giffari, Salman al-Farisi, Mu’az bin Jabal, Imran bin Husin, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan Huzaifah bin Yaman.
Abu Nu’aim al-Isfahani, penulis tasawuf (w. 430/1038) menggambarkan sifat Ahl al-Suffah di dalam bukunya Hilyat al-Aulia`(Permata para wali) yang artinya: Mereka adalah kelompok yang terjaga dari kecendrungan duniawi, terpelihara dari kelalaian terhadap kewajiban dan menjadi panutan kaum miskin yang menjauhi keduniaan.
Mereka tidak memiliki keluarga dan harta benda. Bahkan pekerjaan dagang ataupun peristiwa yang berlangsung disekitar mereka tidak lah melalaikan mereka dari mengingat Allah SWT. Mereka tidak disedihkan oleh kemiskinan material dan mereka tidak digembirakan kecuali oleh suatu yang mereka tuju.
Imam Tasawuf Aswaja
Dalam hal tasawuf, para penganut paham Islam Ahlussunnah Wal Jamaah, mengikuti Tasawuf Aswaja yang diajarkan oleh Imam Junaid, Imam Ghazali, Imam Qusyairi dan Imam Imam Tasawuf lain yang Mu’tabar; terutama Imam Ghazali.
Pada intinya, konsep tasawuf Aswaja yang dihadirkan para sufi sunni ini berusaha menyampaikan bahwa ilmu tidak akan dinamakan tasawuf apabila ia tidak dibingkai dalam ajaran syariat Islam.
Para penganut Islam Ahlussunnah Wal Jamaah (termasuk Kaum Aswaja Al Nahdliyah) menerima jalan sufi Nabi Muhammad SAW dan para Sahabatnya; yaitu yang TIDAK melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban syariah, seperti praktik tasawuf al-Hallaj (al-hula) dengan pernyataannya “anâ al-haq” atau tasawuf Ibnu Arabi (ittihad; manunggaling kawula gusti).
Dengan demikian, sanad tasawuf Aswaja dari Nabi Muhammad SAW, para Sahabat (khulafaur Rasyidin), para Ahl as-Suffah; para tabiin, tabiit tabiin dan para Imam tasawuf tersambung hingga dewasa ini.
Tasawuf Ciri Islam Aswaja
Mafhum bahwa Tasawuf menjadi ciri penganut Islam Aswaja. Mereka mengamalkan pengamalan taswufnya. Dalam hal bertasawuf penganut Islam Aswaja mengikuti salah satu dari dua Imam: Qasim Al Junaidi Al Baghdadi dan Abu Hamid Muhammad Al Ghazali. Dua tokoh Sufi terkemuka di dunia dalam sejarah perkembangan tasawuf.
Tasawuf adalah Ilmu, sebagai mana Ilmu tauhid, Ilmu Fiqih. Ilmu tasawuf itu tidak bertentangan dengan Alquran dan sunnah Nabi. Dan bahkan Alquran dan Sunnah Nabi itulah yang menjadi sumbernya.
Itu sebabnya, Tasawuf menjadi salah satu ciri Islam Aswaja. Tasawuf Tarekat Aswaja Nahdlatul Ulama merupakan gambaran satu kesatuan ajaran, amaliyah, amalan keagamaan dan spiritualitas. Juga organisasi atau jamiyyah dalam bentuk perkumpulan Tarekat.
Di Organisasi Islam Aswaja Nahdlatul Ulama / NU, tradisi tasawuf sangat melekat. Ia mewujud dalam bentuk pengamalan-pengamalan ajaran agama Islam yang bersumber dari Al Qur’an, Sunnah, maupun dari sumber Irfani lainnya. Para pengamal tasawuf Aswaja NU berkumpul dalam beberapa Tarekat atau Thariqah.
Organisasi NU mewadahi beberapa tarekat, ada setidaknya 45 Tarekat yang tergabung dalam Badan Otonom JATMAN. Demikian tinjauan sekilas tentang Tasawuf Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja)