Ta’alluq Pada Masyayikh Nahdlatul Ulama (NU)

Oleh Ahmad Samsul Rijal

NU CILACAP ONLINE – Ta’alluq, hubungan dan ikatan dengan para leluhur dan pendahulu yang shalih termasuk pada Masyayikh Nahdlatul Ulama (NU), akan membangkitkan keberanian dan keteguhan diri melakukan kebaikan dari teladan-teladan para pendahulu. Tulisan ini masih seputar Refleksi Hari Santri Nasional dan Hari Pahlawan 2022, juga Teladan Masyayikh Nahdlatul Ulama (NU)

Penulis buku “Architects of Deception the Concealed History of Freemasonry”, bernama Juri Lina berkebangsaan Swedia, mengingatkan kepada kita bahwa Sejarah Indonesia bukanlah sejarah asli karena sudah dibengkokkan atau dikaburkan oleh Belanda.

Peristiwa seputar 10 Nopember 1945 di Surabaya, kemudian dikenal Hari Pahlawan Nasional -sebelum dan sesudahnya-, heroisme santri, kiai, dan pesantren tidak banyak tercatat dalam sejarah bangsa, apalagi diajarkan kepada generasi penerus bangsa.

Ta’alluq

Namun ada ulasan menarik dari buku Juri Lina itu bahwa untuk melemahkan hingga menjajah suatu bangsa salah satu caranya adalah “putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif”.

Dengan memutus hubungan, maka tidak ada kebanggaan terhadap teladan dan rujukan kebaikan (kehebatan) untuk bangkit merubah keadaan (perlawanan). Strategi ini sungguh ampuh diterapkan dalam model perang generasi ke lima.

Padahal, kehebatan para pendahulu hingga menjadi teladan dikarenakan mereka juga ta’alluq, yaitu terikat dan terhubung (lahir-batin) dengan generasi sebelumnya, para masyayikh, para shalihin. juga Masyayikh Nahdlatul Ulama (NU).

Tidak hanya secara lahir dan batin, tapi juga terikat dan terhubung secara keilmuan, sistem berpikir, cara pandang, amaliyah khususiyah, dan lain-lain. Ada keyakinan bahwa pertolongan dalam situasi khusus bisa didapat oleh karena senantiasa terhubung dan terikat (ta’alluq) dengan para pendahulu.

Dalam konteks ini Shohibur Rotib al Haddad, al Habib Abdullah bin Alawi al Haddad menyatakan “man lahu ta’alluqun wa mailun ila ahadi assholihin hashula lahu almadadu min jami’i assholihin”; seseorang yang memiliki hubungan dan ikatan batin dengan salah satu sholihin, maka ia akan mendapat madad (pertolongan) dan sirr (rahasia) dari seluruh sholihin.

Artinya bahwa hubungan dan ikatan dengan para leluhur dan pendahulu yang sholih akan membangkitkan keberanian dan keteguhan diri melakukan kebaikan dari teladan-teladan para pendahulu.

“Bahwa perjuangan hendaklah jangan disandarkan pada ramalan-ramalan. Perjuangan itu harus disandarkan kepada penyusunan kekuatan lahir dan batin, pengorganisasian, dan tawakkal kepada Allah SWT”

Banyak madad dan sirr dari peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya maupun selama Agresi I dan II oleh Sekutu-Belanda. Salah satunya sebagaimana yang disaksikan KH Hasyim Lathif, Hario Kecik, Des Alwi Abu Bakar; ada seorang Kiai berjubah dan bersurban putih yang tidak dikenal memberikan do’a melalui medium air di palagan Blauran Surabaya. Mereka menyaksikan ‘banyu suwuk’ itu diminum oleh para pejuang yang mengantri sebelum mereka ke medan tempur yang radiusnya hanya 0,5 km.

Di lain hari, Kiai ini berdiri diatas drum memberi komando untuk terus maju berperang. Pesawat thunderbolt cocor merah Inggris memberondongnya sambil bermanuver. Kiai ini selamat, bahkan senapan mesin serdadu Inggris juga mengincarnya, namun peluru tidak menyentuh apalagi menggores kulitnya.

Jeda perang, Kiai ini turun dari drum dan didekati KH Hasyim Latif untuk menyapa dan menyalaminya, namun beliau nyelonong berjalan santai tertawa terkekeh-kekeh meninggalkan KH Hasyim Latif yang terbengong melihat gaya slengekan Kiai majdzub.

Di lain waktu Kiai majdzub ini naik ke lantai 2 kantor gubernuran Surabaya, meneriakkan takbir menyemangati para pejuang di bawahnya. Berkali-kali dia diberondong senapan mesin serdadu Inggris, dia tetap tegak berdiri di tempatnya tanpa cedera. Hingga, tembakan sniper Inggris membuatnya terpelanting jatuh dari atas gedung.

Dan ketika para pejuang mengecek lokas tempat jatuhnya Kiai majdzub ini, aneh, tidak ada bekas orang jatuh, dan sosok Kiai majdzub itu seakan lenyap.

Di sisi lain, heroisme santri Kiai di medan perang tidak surut. Surabaya, oleh tentara Inggris disebut sebagai neraka karena kengerian, keganasan dan kegetiran perang terlihat didepan mata. Mereka terheran-heran, di tengah desingan peluru dan dentuman bom dalam perang, santri dan pejuang Indonesia terlihat tidak serius, bahkan lucu, kocak dan konyol untuk ukuran normal peperangan. Seakan bertanya; ‘ada apa dalam pikiran dan dibalik semangat para pejuang Indonesia, itu ?’.

Ya. Tidak lain adalah keyakinan dan kepasrahan yang memuncak; hasil dari didikan dan bimbingan para Kiai-Ulama, terutama masyayikh Nahdlatul Ulama.

Takdir Terbaik

Bagi para santri dan kiai, perjuangan fisik saja tidak cukup, mereka berperang sembari melantunkan doa dan hizib. Menurut catatan KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013), kiai-kiai dari Jombang, Gresik, Pasuruan dan dari sekitar Surabaya menyerang musuh sambil meneriakkan doa-doa dalam Hizbul Bahr, Hizbun Nashr, dan Hizbus Saif.

Pertama kali dalam sejarah perang di Indonesia melawan penjajah, kalimat takbir, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar bersahut-sahutan dengan letusan bom dan rentetan suara mitraliur. Rakyat Indonesia tidak gentar.

Bagai air bah yang tidak dapat dibendung, rakyat Surabaya maju menyerbu semua kubu tentara Sekutu di seluruh kota. Tua dan muda serentak menerjang musuh meski hanya bersenjatakan bedil, pistol, pedang, dan bambu runcing.

Jadi, jauh di dalam keberanian mereka, terdapat keyakinan dan ta’alluq bi al Khaliq wa al Istighna’ ‘an al khalqi’; menggantungkan diri dan takdir terbaik kepada sang Kholiq serta menghindarkan diri bergantung pada perangkat-ciptaan yang fana, apapun bentuk dan keunggulannya.

Keyakinan ini mereka dapatkan dari dan berwasilah ber- Ta’alluq Pada Masyayikh Nahdlatul Ulama (NU) as Shalihin as Shadiqin. Inilah kunci kekuatan dan keberanian yang melegenda di antara para Santri, Kiai, Ulama, Masyayikh dan Pejuang Nasionalis.

Kepercayaan dan keyakinan hingga menumbuhkan kekuatan melawan ditegaskan oleh Kiai Abdul Wahid Hasyim, harus menjadi dorongan untuk berjuang. Ayah KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) tersebut mengatakan, “Namun, diinsyafkan kepada masyarakat bahwa perjuangan hendaklah jangan disandarkan pada ramalan-ramalan. Perjuangan itu harus disandarkan kepada penyusunan kekuatan lahir dan batin, pengorganisasian, dan tawakkal kepada Allah SWT.”

Penulis jadi teringat dengan ungkapan sederhana Almaghfurlah KH Abdul Nashir Fattah di saat situasi menjadi tidak terkendali dan terpimpin, ‘opo jare sing ngecet lombok’.

Namun ungkapan ini didahului oleh pernyataan beliau untuk berikhitar semaksimal mungkin, “apa yang telah kita ikhtiarkan terbaik ?, harus kita perjuangkan sampai akhir”. Untuk beliau, ulama as Shadiqin, para masyayikh dan muassis Nahdlatul Ulama, lahum Al Fatihah.

Baca juga  Sejarah Hari Santri Nasional & Isi Kandungan Resolusi Jihad NU

*) Ahmad Samsul Rijal bin H Imam Sujuthi, tinggal di Jombang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button