KH Abdul Nashir Fattah: Menanam Khinalifah Di Dalam Tubuh NU
Oleh Ahmad Samsul Rijal *)
NU Cilacap Online – “KH Abdul Nashir Fattah itu Ulama-Pemimpin penanam ‘Khinalifah’ di era modern melalui Pengkhidmatan Diri di dalam Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU)”
Istilah ‘Khinalifah’ ada dalam naskah Babad Cirebon (BR 75a/PNRI, hal. 212) koleksi Perpustakaan Nasional RI, digunakan untuk menggambarkan model kepemimpinan abad 15 M di Pesantren yang didirikan Syekh Quro di Karawang Jawa Barat. Selanjutnya Pesantren ini diteruskan oleh Syekh Bentong yang seangkatan dengan Syekh Majagung.
Pada masa wali songo abad 16-17 M, model kepemimpinan ‘khinalifah’ diterapkan di dalam lingkungan pesantren, thoriqoh hingga pemerintahan demi dakwah Islam ala ahlussunnah wal jama’ah di wilayah Nuswantoro.
Sebuah model kepemimpinan yang meletakkan agama sebagai penerang, sedangkan melakukan kebaikan dan mencegah keburukan sebagai obyek tata kelola kepemimpinan. Tradisi kepemimpinan ini memberi pengaruh pada sebaian Ulama-Ulama Shodiqin masa kini dalam mengelola tanggung jawab di lingkup Pesantren, Thoriqoh dan jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
‘Khinalifah’ sebagai model kepemimpinan dakwah, pengaruhnya tertanam kuat dan mengakar hingga masyarakat awam. Sebuah model kepemimpinan yang secara prinsip dimaksud dalam Q.S. 2:30 kepada Nabi Adam AS dan keturunanya untuk mengelola kebaikan di muka bumi.
Tugas dan tanggung jawab manusia dengan segala kelemahannya untuk mengasah nalar akal dan hatinya demi kemaslahatan bumi serta seluruh kehidupan di dalamnya. Demikianlah, manusia dicipta untuk mengabdi dan memimpin dirinya serta lingkungan sekitar yang terikat kepadanya.
Disamping kepada Nabi Adam AS tugas memimpin model ‘khinalifah’ dibebankan kepada Nabi Dawud AS sebagai ‘penguasa’ di bumi agar mengelola keputusan-keputusan di antara manusia secara adil dan tidak boleh terbawa oleh hawa nafsu. Demikian dimaksud secara prinsip dalam Q.S. 38:26, dan demikian pula istilah ‘khalaif fil ardh’ diartikan ‘penguasa dan pengganti tugas’ sebagai ‘ujian manusia’ dalam menempatkan diri dan mengelola lingkungan sekitarnya.
Dari uraian diatas, bisa ditarik garis besar model kepemimpinan ‘khinalifah’, yakni : model kepemimpinan berbasis Ilmu Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, tradisi ilmu kepesantrenan, budaya kenusantaraan, bersifat pengabdian yang dipertanggung jawabkan lahir batin, berorientasi untuk menyebarkan keshalehan sosial, menegakkan keadilan serta terhindar dari dorongan hawa nafsu yang merugikan.
KH Abdul Nashir bin Abdul Fattah adalah pemimpin tertinggi Jam’iyyah Nahdlatul Ulama di Jombang Jawa Timur. Tercatat, beliau sebagai penjabat (Pj) Rais PCNU tahun 2005-2007, kemudian menjadi Rais Syuriyah PCNU 3 masa khidmat mulai 2007-2012, 2012-2017, 2017-2022, dan selanjutnya terpilih kembali sebagai Rais Syuriyah PCNU Jombang untuk masa khidmat 2022-2027. Masa khidmat yang ke-4 sebagai Rais Syuriyah PCNU Jombang belum sempat dijalankan, beliau Wafat pada 28 Agustus 2022, tepat 84 hari setelah ditetapkan sebagai Rais Syuriyah dalam Konfercab PCNU Jombang tahun 2022.
Beliau adalah Ulama yang berwibawa dengan pengaruh yang dipatuhi dan disegani arah serta karakter kepemimpinannya. Beliau juga Rais Syuriyah kharismatik dengan penguasaan disiplin ilmu agama yang lengkap serta keteladanan atas keshalehan pribadi dan sosialnya, sehingga membangkitkan kepengikutan serta kepatuhan para pengikutnya.
Kepatuhan pengurus dalam struktur NU di Jombang terhadap kepemimpinan Beliau dikarenakan keteguhannya dalam memegang prinsip namun lentur dalam operasional, konsistensi antara tutur, sikap dan perilaku sehingga menumbuhkan serta menguatkan kepercayaan pengurus terhadap kepemimpinannya, dan kesesuaian antara visi-misi beliau berbasis Ilmu dan Sanad keteladan yang sepenuhnya diorientasikan pada tugas serta tanggung jawab keagamaan dan kemasyarakatan.
Beliau banyak terinsipirasi (tersambung sanad) teladan kepemimpinan dari para guru dan pendahulu Pesantren-Masyayikh NU. Antara lain yang sering disebut adalah KH Maemun Zubeir Sarang, KH MA. Sahal Mahfudz Pati, KH Abdul Fattah bin Hasyim ayahandanya, KH Abdul Wahab bin Chasbullah Tambakberas, KH Ahmad Bishri bin Syansuri Denanyar, KH Abdul Hamid bin Chasbullah Tambakberas, dan lain-lain.
Dari para Masyayikh itu, beliau terinspirasi oleh keteguhan dalam memegang prinsip sesuai jalan madzhab, kelenturan dan kematangan dalam menentukan sikap, keluasan dan kedalaman memahami suatu persoalan, kejelian dalam menyusun argumentasi dan pemikiran, kecerdikan dalam berdiplomasi dan berpendapat, kecerdasan sosial berjangka panjang dalam mengarahkan perubahan sosial melalui langkah program-program nyata, dan lain sebagainya.
Dari KH MA. Sahal Mahfudz beliau belajar agar menerima tugas sebagai Rais Syuriyah bila Nahdliyyin memberi amanat, bukan meminta atau mencari jabatan. Dari KH Wahhab Chasbullah beliau belajar agar memperhatikan nasib, kondisi dan membimbing Nahdliyyin yang terpelosok (jauh dari jangkauan Ulama/Ustadz).
Dari Ayahanda KH Abdul Fattah beliau belajar agar konsisten memberi pencerahan dan membimbing umat melalui pengajian-pengajian ala Pesantren. Dari KH Ahmad Bishri bin Syansuri beliau belajar konsisten dan disiplin pada tanggung jawab, sehingga tepat waktu serta menyesuaikan waktu dalam beraktivitas. Dan masih banyak lagi pembelajaran yang beliau dapatkan dari masyayikh pendahulu untuk menguatkan kepemimpinan sebagai Rais Syuriyah PCNU Jombang.
Dari aspek-aspek operasional kepemimpinan, -berdasar teori modern dalam memimpin- beliau sangat cermat dalam mengambil keputusan, hangat dan efektif dalam berkomunikasi, konsisten memberi motivasi, jeli dalam memilih para pembantu tugas dan tanggung jawabnya, serta memberi ruang keleluasaan kepada perorangan-pengurus untuk mengembangkan diri dan pengkhidmatannya di lingkungan NU.
KH Abdul Nashir Fattah sebagai Rais Syuriyah adalah pemutus akhir dari rencana solusi dan sikap resmi PCNU, baik melalui mekanisme rapat maupun diskresi. Kebiasaan beliau selalu meminta dijabarkan data dan informasi terkait masalah dan keputusan yang akan diambil, terutama dari para pembantu-pembantu terdekatnya serta analisa dari berbagai sudut pandang.
Padahal beliau sendiri seringkali telah mendapat informasi/referensi dan data dari sumber-sumber lain terpercaya serta mengolah dan menilai kesesuaianya dengan garis besar tujuan organisasi. Dan dalam menjabarkan rencana keputusan, beliau kadang memberikan penguat gambaran (ibarot) seputar keputusan dan memberi landasar prinsip (kaidah pemahmaan) mengapa keputusan itu dipilih?.
Untuk menggalang informasi, bahkan menyampaikan gagasan dan pemikirannya, beliau aktiv menjalin komunikasi dan diskusi secara perorangan maupun bersama yang lain, terutama dari orang atau pembantu terdekat beliau.
Cerita-cerita keteladanan dari pendahulu kerap beliau sampaikan diselingi canda tawa. Beliau adalah pendengar yang baik dan tidak memilih siapa yang berbicara. Bagi beliau, semua yang disampaikan dari siapapun memiliki arti dan manfaat tersendiri, memperkaya gagasan dan perspektif terhadap suatu masalah.
Keputusan yang telah ditetapkan dan didelegasikan pelaksanaannya kepada perorangan atau tim kerja, beliau sering memantau dan menanyakan perkembangannya. Hal itu dilakukan untuk memberi dorongan (motivasi) kepada perorangan atau tim kerja agar tidak putus asa dan terus berusaha untuk mewujudkannya.
Hal-hal strategis dan besar, untuk memastikan ketercapaiannya, motivasi beliau dilakukan lebih intensif, bahkan beliau membantu langsung dengan membuka peluang dan langkah-langkah alternatifnya. Motivasi, peluang dan langkah alternatif ini dilakukan beliau agar perorangan atau tim kerja yang bertugas lebih ringan dalam melaksanakannya.
Beliau menyadari betul bahwa tugas dan tanggung jawab berjam’iyyah NU sepenuhnya pengabdian, pengkhidmatan dan dilandasi kesukarelaan (rasa senang dan rela berkorban). Karena itu beliau menentukan para pembantu untuk tugas dan tanggung jawab itu secara selektif terutama karena ikatan atau kedekatan dan selebihnya memiliki semangat (nahdlah) untuk mengabdi demi kemashlahatan umat.
Beliau tidak membedakan latar belakang dan profesi para pembantu dan pengurus NU, sepanjang menghormati ilmul ulama dan tradisi pesantren serta berakhlaq, beliau memberi peluang siapapun berpartisipasi berkhidmat di Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
Disamping itu, beliau sangat terbuka dan memberi peluang luas kepada kader NU yang dengan sukarela menyatakan ‘ingin berkhidmat di NU’. Beliau berpandangan bahwa seseorang atau kader NU yang menyatakan sukarela ingin berkhidmat adalah modal utama, selebinya adalah memotivasi, mengarahkan dan memberi keleluasaan untuk mengembangkan diri dan pengkhidmatannya di lingkungan NU.
Bahwa perubahan seseorang hingga batas ideal pengkhidmatan adalah proses (butuh waktu) yang tidak singkat dan memerlukan lingkungan yang mendukung.
Uraian diatas adalah penegasan bahwa KH Abdul Nashir Fattah adalah tipikal pemimpin pengabdi, Ulama yang arif nan bijaksana serta pemegang prinsip “almuhafadhofu ala alqodim assholih wa alakhdzu bi aljadid alashlah’.
Suatu model kepemimpinan berbasis Ilmu Ulama, bersanad keteladanan dari guru dan pendahulu serta berorientasi kemajuan, modernitas dan kreatifitas yang tetap terpandu oleh agama. Bukan kepemimpinan dengan orientasi kepentingan dan keuntungan pribadi maupun golongan. Beliau memimpin dengan petunjuk Salafus Sholihin yang mapan, dan berorientasi masa depan.
Inilah model kepemimpinan “Khinalifah”; pengabdi sejati dengan tugas suci berdasar paham keagamaan untuk keadilan demi kemaslahatan ummat melalui teladan keshalehan pribadi dan sosial. Model kepemimpinan ini terbaik bagi NU, karena jam’iyyah Nahdlatul Ulama adalah Thoriqoh dan Pesantren Besar bagi warga Jam’iyyah dengan akar kuat, batang pohon yang kokoh serta buah kebaikan yang bermanfaat. (Jombang, 17 Moeloed 1444 H)
*) Ahmad Samsul Rijal, Santri KH Abdul Nashir Fattah, tinggal di Jombang