Adzan, Toa dan Kepekaan Sosial

NU CILACAP ONLINE – Toa adalah media yang paling efektif. Apalagi waktu itu jumlah masjid masih sedikit. Tetapi saat ini, masih relevankah adzan dilakukan dengan menggunakan Toa, di mana teknologi lain sudah berjibun dan bisa dimanfaatkan untuk mengetahui waktu sholat?

Adzan, lewat toa, termasuk aktifitas sholawatan dan sejenisnya, dapat kritik tajam di media sosial. Ya, kritik itu wajar di tengah kehidupan sosial yang kian rigid, kompleks, dan plural.

Orang NU, tidak boleh merasa hidup dominan di tengah mayoritas keadaannya. Umat islam juga tidak boleh arogan karena keadaan, kedudukan dan posisinya secara fisio-sosial-politik yang menguntungkan.

Di tengah-tengah kita, NU dan Islam, ada dan hadir kelompok-kelompok lain yang sangat heterogen.

Adzan adalah syariat islam yang dilakukan untuk mengundang dan sebagai tanda orang melaksanakan sholat.

Karena untuk mengundang dan sebagai tanda waktu sholat, maka adzan perlu dilakukan dengan suara yang keras dan merdu. Jaman dahulu, media satu-satunya adalah dengan menggunakan toa atau speaker. Baca juga Keutamaan Menjadi Seorang Muadzin Sesuai Hadits

Orang-orang yang mempunyai jam sebagai tanda yang bisa digunakan untuk melihat waktu sholat pun mungkin masih sangat terbatas.

Toa adalah media yang paling efektif. Apalagi waktu itu jumlah masjid masih sedikit. Tetapi saat ini, masih relevankah adzan dilakukan dengan menggunakan Toa, di mana teknologi lain sudah berjibun dan bisa dimanfaatkan untuk mengetahui waktu sholat? Baca juga NU Abad ke-2: Harus Relevan dan Punya Relevansi

Handphone, jam, kalender? Juga masjid ada di mana mana? Secara sosiologis, masyarakat juga semakin beragam?

Coba bayangkan, semua masjid atau mosholla setiap waktu sholat tiba, semua adzan dengan Toa? Belum lagi ditambah puji pujian, sholawatan dan barzanji di kali yang lain? Baca juga Pelatihan Bisnis Online Fatayat NU Ranting Tayem Timur

Andai cukup satu masjid besar saja yang adzan pakai Toa, sedang yang lain cukup memakai speaker dalam, toh semua orang sudah tahu waktu sholat melalui handphone, jam, atau kalender, bagaimana?

Masjid sudah banyak. Masjid di mana-mana sudah ada. Jika ketika waktu sholat tiba, semua masjid adzan menggunakan speaker, dapat kita bayangkan, langit kita penuh dengan suara adzan yang saur manuk.

Itu mulai subuh sampai subuh kembali. Sementara di lingkungan kita ada ora orang-orang yang tidak berkompeten dengan adzan.

Ada orang sakit, kemudian juga orang yang istirahat, anak bayi yang lagi tidur, dan senagainya. Belum lagi ditambah puji-pujian, sholawat, barzanzi, manaqib, dsb, yang memenuhi ruang udara kita.

Alih-alih hal itu menjadi sarana dakwah, tapi justru kontra-produktif dan menimbulkan caci maki, hinaan, dan rasa anti-pati dengan adzan, dan juga islam.

Saya pikir perlu waktunya kita mengevaluasi hal tersebut. Cukup satu masjid besar, masjid agung yang adzan menggunakan speaker luar sedang masjid lain cukup menggunakan speaker dalam.

Toh semua orang sudah tahu saat tiba waktu sholat. Disamping sudah ada teknologi lain, juga sudah kebiasaan, kedisiplinan umat islam dalam membaca dan melakukan sholat.

Semua itu untuk menghargai keragaman yang masyarakat kita miliki. Kita, bukan Kami, adalah masyarakat yang bukan hanya NU, bukan hanya Islam, tapi bermacam-macam kelompok, aliran, kepentingan, yang saling berkelindan secara ko-eksistensif, dan semua harus kita jaga perasaannya, daripada kita menjalankan suatu aturan, yang sebetulnya, secara sederhana, dapat kita representasikan.

Penulis: Toufik Imtikhani (Penulis pojok Cilacap dan pemerhati persoalan sosial dan keagamaan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button