Dr Zulfatun Ni’mah: Catcalling Sebagai Bentuk Kekerasan Seksual

 Dr Zulfatun Ni’mahNU Cilacap Online – Catcalling atau siulan sudah seperti tradisi yang mengakar di masyarakat Indonesia, khususnya kaum remaja. Namun tahukah anda bahwa ternyata catcalling atau dalam Bahasa Jawanya singsot termasuk kategori kekerasan seksual? Kenapa catcalling termasuk dalam tindak kekerasan seksual?

Anggota Dewan Kehormatan Pimpinan Cabang Fatayat NU Cilacap Dr Zulfatun Ni’mah menjabarkan penertian Catcalling pada materi Nahdlatun Nisa Latihan Kader Muda IPNU IPPNU Kesugihan, beberapa waktu yang lalu.

Catcalling, Pelecehan?

Salah seorang peserta mengajukan pertanyaan; “Bagaimana caranya memberitahu kepada teman-teman bahwa catcalling atau siulan itu pelecehan? Karena justru ada yang GR kalau disiuli laki-laki?.”

Catcalling yang ditanyakan oleh peserta adalah istilah dari siulan yang ditujukan untuk menggoda. Umumnya dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan.

“Misalnya, ada seorang perempuan lewat di depan sekelompok laki-laki, lalu ada di antara mereka yang menggoda perempuan itu dengan siulan, “suit-suiiit…..,” jawab Dr Zulfatun NI’mah.

Dalam presentasi itu Dr Zulfa juga menyebutkan bahwa tantangan perempuan sekarang dan dahulu ada yang sama, ada yang berbeda. Baginya, kekerasan seksual adalah salah satu masalah yang sama, termasuk dalam pengertian kekerasan seksual ini adalah catcalling

Catcalling sebagai Kedok

Selain siulan, catcalling juga bisa berwujud “pujian”, misalnya panggilan “Hai cantiik”, “Hai sayang… “, “hai bidadariku…..”. Untuk itulah seperti yang dikatakan oleh peserta itu, ada perempuan yang tersanjung kala ada yang melakukan catcalling padanya. Menganggap bahwa itu benar-benar pujian, padahal hanya kedok dari tindak pelecehan.

Catcalling baik dalam bentuk siulan maupun panggilan-panggilan mesra, bukanlah pujian serius, melainkan hanya keisengan yang dimaksudkan untuk mencari kesenangan bagi pelaku.

Pelaku senang karena bisa menunjukkan “kekuasaan” pada korban. Yaitu kekuasaan untuk memperlakukan korban sesuka hatinya. Padahal tidak ada konfirmasi dari korban apakah ia juga senang juga diperlakukan seperti itu. Umumnya, korban merasa tidak nyaman, tertekan, malu dan marah.

Kesenangan yang dirasakan pelaku itu mengandung muatan hasrat seks. Dengan kata lain ia mendapatkan kenikmatan seksual dari keisengannya itu. Maka biasanya yang jadi sasaran catcalling adalah perempuan yang good looking.

Misalnya tinggi semampai, berwajah cerah, berkulit bersih, masih muda. Sedangkan nenek-nenek yang kulitnya sudah keriput nyaris tidak pernah jadi korban, karena dianggap tidak punya daya tarik seks lagi.

“Nah, kesenangan seksual sepihak yang dinikmati oleh pelaku mengandung arti bahwa pelaku tidak menghormati seksualitas korban, tapi merendahkan, menganggap seolah-olah korban mau diperlakukan seperti itu,” lanjut Dr Zulfa.

Kemudian, kalau ada korban yang merasa tersanjung atau versi bahasa gaulnya GR (gede rasa), itu berarti ia belum menyadari logika keisengan pelaku yang sedang mencari mangsa untuk kesenangan seksualnya di muka umum, dikira serius memberikan pujian.

Sampaikan Pujian dengan Sopan

Perlu dicermati, bahwa orang yang tulus memuji pasti akan menyampaikan pujiannya secara sopan, karena ia menghargai orang yang dipujinya. Ia juga memastikan bahwa pujian itu tidak akan mempermalukan orang yang dipujinya. Makanya tidak disampaikan di muka umum dengan dibumbui nada show kekuasaan.

“Maka, kepada korban atau orang yang rentan jadi korban, harus dilakukan upaya edukasi dan literasi pentingnya menolak dilecehkan,” tegasnya.

Menolak itu bisa dengan lewat saja dengan tenang tanpa menggubris catcalling yang ditujukan padanya, bisa dengan berhenti dan menatap tajam pelaku. Bisa juga dengan mengatakan sejelas-jelasnya bahwa ia keberatan dengan tindakan pelaku, atau upaya lain yang menunjukkan pesan penolakan. Kalau diam saja, padahal tertekan, maka pelaku bisa menikmati kesenangannya secara leluasa dan akan terus membiasakannya kepada siapa saja yang dianggapnya tidak akan menolak.

“Bagaimana kalau panggilan “ Hai cantik”, “Hai sayang” diberikan oleh suami kepada istrinya? Apakah itu tidak termasuk catcalling? Dr Zulfa menjawab bukan. Pernikahan adalah perbuatan hukum yang mensyaratkan adanya persetujuan kedua belah pihak.

Persetujuan itu luas lingkupnya, termasuk persetujuan untuk saling memperlakukan pasangan dengan sebaik-baiknya, seromantis-romantisnya, semanis-manisnya. Maka biasanya istri senang, nyaman, bahagia dan tersanjung dipanggil sayang oleh suaminya.

“Nah, senang dan tersanjung yang timbul dalam situasi seperti ini tidak dapat dipandang sebagai pelecehan seksual, karena tidak ada yang merasa direndahkan, tapi justru dihargai keberadaannya sebagai orang yang special,” tandas Dr Zulfa.

Lakmud IPNU IPPNU Kesugihan

Lakmud PAC IPNU IPPNU Kesugihan

Dr. Zulfa menyampaikan materi ini di forum Latihan Kader Muda (Lakmud) yang digelar oleh Pimpinan Anak Cabang (PAC) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPNU IPPNU) Kesugihan.

Lakmud yang digelar di Gedung SMP Yabakii 5 Kesugihan itu digelar selama 2 hari pada hari Sabtu-Minggu (26-27/02) lalu. Kegiatan ini diikuti oleh 34 peserta yang datang dari Ranting NU se-Kecamatan Kesugihan.

Di akhir paparannya, Dr Zulfa mengucapakan selamat untuk kader-kader IPNU IPPNU yang telah lulus Lakmud. Ia berharap mereka bisa semakin istiqomah dalam berkhidmah kepada masyarakat.

Penulis: Naeli Rokhmah
Editor: Munawar AM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button