Toufik Imtikhani; Dan Tentang Kemerdekaan

NU CILACAP ONLINE – Tentang Kemerdekaan. Rasa syukur itu tentu harus kita lakukan. Bahwa kemerdekaan itu adalah hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia, adalah fakta. Kita semua menyadari bahwa memperoleh kemerdekaan bukan hal mudah dan dapat diperoleh secara cuma-cuma, itu tentu tidak.
Hari-hari ini adalah hari-hari yang membahagiakan bagi seluruh bangsa Indonesia. Sebab hari-hari ini adalah hari di mana menunggu detik-detik peringatan 80 tahun Indonesia merdeka.
Berbagai bentuk perayaan dan pesta peringatan digelar, dilakukan, sebagai ekspresi rasa senang dan suka cita menyambut hari Kemerdekaan Bangsa. Berbagai kreasi ditonjol dan ditampilkan. Semua larut dalam kesenangan, baik rakyat sampai pejabat. Dari desa hingga kota. Dari daerah sampai wilayah.
80 tahun adalah usia yang relatif muda bagi sebuah bangsa. Hal ini tidak bisa dibanding dan disandingkan dengan negara lain, yang berumur telah ratusan tahun, misal, Amerika, yang hampir berusia 249 tahun.
Namun, mudanya usia juga bukan alasan bagi kita, untuk bersifat apologis, terhadap ketertinggalan kemajuan dibanding negara-negara lain.
80 tahun adalah usia bangsa secara de-fakto dan de-jure. Secara faktual dan historis, eksistensi bangsa Indonesia, telah ada sejak jaman dahulu kala, jauh melampaui usia 80 tahun yang akan kita peringati.
Kita pernah punya negara-negara nasional yang merdeka di masa lalu. Majapahit dan Sriwijaya adalah bukti otentik bahwa bangsa kita telah ada sejak masa lampau. Bahkan wilayahnya lebih luas melebihi wilayah negara kita saat ini.
Sailan (Srilangka), Mindanau dan Pulau Tumasik (Singapura) merupakan bekas wilayah kekuasaan Majapahit. Tapi itu semua adalah fakta historis.
Namun pengakuan sebagai negara nasional modern adalah ketika Soekarno-Hatta, memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945, 80 tahun yang lalu, yang hari ini kita peringati dengan riang gembira penuh rasa syukur.
Rasa syukur itu tentu harus kita lakukan. Bahwa kemerdekaan itu adalah hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia, adalah fakta. Kita semua menyadari bahwa memperoleh kemerdekaan bukan hal mudah dan dapat diperoleh secara cuma-cuma, itu tentu tidak. Baca juga PKD GP Ansor Cimanggu, Implementasi Hakiki Kaderisasi
Kemerdekaan Bukan Turun dari Langit
Para penjajah dan para diktator, seperti Hitler, Benito Mosollini, dan lain-lain, mungkin benar kata Emery Reves dalam buku Maklumat Demokrasi, sebagai utusan Tuhan yang mengabarkan kepada manusia, bahwa kemerdekaan bukan sesuatu yang turun dari langit. Tapi kemerdekaan itu sesuatu yang harus diperjuangkan, diusahakan. Baca juga Hakikinya Kemerdekaan; Antara Individual dan Uluhiyah
Namun begitu, sebagai bangsa yang religius, kita tidak boleh takabur, bahwa ikhtiar perjuangan saja, dapat menentukan hasil. NU Pertimbangkan Boikot Bayar Pajak, Ini Alasannya
Dalam preambul UUD 1945, alenia ketiga disebutkan kata-kata, …atas berkat rahmat Allah, justru disebutkan terlebih dahulu di depan kata-kata yang menggambarkan segala usaha perjuangan dan keinginan luhur untuk mencapai kemerdekaan.
Tetapi di atas segala perkataan tentang merdeka, sesungguhnya tidak ada yang namanya merdeka secara hakiki. Dalam dunia yang multi-polar, yang ada adalah keadaan saling ketergantungan.
Sementara dalam dunia global, hidup saling pengaruh mempengaruhi, persaingan dan kompetisi dalam berbagai bidang, adalah keniscayaan yang sulit dihindari. Negara bangsa yang mengisolir diri, justru akan menjadi negara yang tertinggal.
Pun negara yang terlalu terbuka, juga berpotensi kehilangan identitas diri. Kemerdekaan yang hakiki dapat kita peroleh dengan tauhid (keimanan). Keimanan adalah pull dan push factor yang dapat membawa manusia kepada kemerdekaan hakiki.
Politik, ekonomi, budaya, idiologi, bisa dijajah, tetapi keimanan tidak bisa dijajah. Bahkan orang-orang yang beriman, tidak akan menjajah dan mau dijajah.
Prinsip keimanan kita adalah kalimat tauhid adalah: لآ إِلَهَ إِلاَّ الله. Laa ilaaha illAllah adalah kalimat pembebasan. Pembebasan manusia dari perbudakan mental, yaitu perasaan superior yang berpotensi menjajah, dan perasan inferior, yang berpotensi dijajah.
Kalimat tauhid menempatkan bahwa yang superior dan berhak menjajah, mengatur manusia hanyalah Allah. Allah jualah yang menjadi tempat kita mengabdi, tunduk dan menyembah, bukan siapa-siapa.
Oleh karena itu dalam islam tidak ada sistem kependetaan, kultus individu, dll, yang bertentangan dengan prinsip tauhid. Laa ruhbaniyyata fil islam.
Menjadi manusia tauhid, adalah manusia yang merdeka secara hakiki. Sebab manusia tauhid hanya tunduk dan patuh kepada Tuhannya. Tahrirunnaas min ‘ibaadatil ‘ibaad ilaa ‘ibadatillah.
Tugas manusia tauhid, kepada dirinya dan orang lain adalah, mengubah manusia dari menyembah, tunduk, mengabdi, kepada selain Allah, menjadi menyembah dan tunduk kepada Allah, WAllahu a’lam bisshawab.
Penulis: Toufik Imtikhani.
Editor: Naeli Rokhmah