Road To Mecca Part 5; Selamat Berpisah, Mekah

NU CILACAP ONLINE – Selamat berpisah, Mekah. Inilah akhir dari rangkaian perjalanan jamaah haji di tanah Haramain. Masa haji telah berlalu. Para jamaah harus pulang ke negeri asal, termasuk jamaah haji Indonesia.

Saya, dan jamaah haji dari seluruh dunia, akan segera meninggalkan Mekah, Ka’bah. Prosesi haji tinggal thawaf wada’bagi yang haji tamattu. Setelah itu, semuanya tinggal persiapan pulang.

Perpisahan dengan Madinah, Mekah dan Ka’bah akan membawa segala kenangan dan pengalamannya masing-masing.

Termasuk pengalaman spiritual, yang saya yakin, tidak ada yang sama. Mungkin yang sama adalah perasaan senang ketika bisa berada di Madinah, Mekah, apalagi berada dekat Ka’bah. Berbagai harapan dan doa tumpah ruah di situ.

Perasaan lain yang sama adalah, mungkin perasaan bersedih, karena akan meninggalkan Madinah, Mekah dan Ka’bah.

Sebab ketika puncak haji, Armuzna telah dilalui, keadaan seperti anti-klimaks, dan waktu begitu cepat berlalu.

Ketika waktu-waktu sebelumnya terasa berjalan lambat, at last minit, waktu berjalan begitu cepat. Jamaah harus segera berkemas dan meninggalkan semenanjung Arab.

Masa haji telah berlalu. Para jamaah harus pulang ke negeri asal, termasuk jamaah haji Indonesia.

Dalam 40 hari mereka terikat secara emo-spiritual dengan Madinah, Mekah dan Ka’bah. Mereka menikmati suatu irama dan ritme kehidupan yang berbeda, di dan pada kurun apapun dari hidupnya. Dan itu meninggalkan kesan yang impresif serta mendalam.

Tetapi mereka harus pulang. Mereka harus kembali mengikatkan diri dalam emo-spiritual dengan negaranya. Mekah atau pun Madinah bukan tanah air mereka.

Rasa sedih itu bercampur dengan gembira. Rasa sedih itu muncul karena harus meninggalkan Mekah dan entah kapan dapat kembali lagi.

Atau barangkali, sudah pupus harapan untuk bisa datang, mengunjungi Ka’bah Baitulloh yang menjadi kiblat dalam kehidupan kita.

Senang, bahwa prosesi haji telah ditunaikan secara sempurna, mulai dari yang rukun, wajib hingga sunah.

Dan berharap bahwa ikhtiar itu akan menjadikan haji kita/ mereka menjadi haji yang mabrur.

Rasa senang itu juga muncul, bahwa kita/mereka akan kembali ke tanah air, tumpah darah kita.

Ibarat pepatah mengatakan, hujan emas di negeri orang, masih baik hujan batu di negeri sendiri.

Ini adalah ungkapan emosional, bahwa setiap warganegara akan merasa terikat dengan tanah airnya. siapapun itu.

Jadi akan terasa aneh jika ada orang dan atau kelompok, yang karena perasaan dan pemahaman agamanya, menjadikan dia lepas dari keterikatan dengan tanah airnya.

Baca juga Road to Mecca Part 3; Magnet itu Bernama Ka’bah

Baitii Jannaati

Perasaan senang yang lain adalah, berjumpa dengan keluarga, anak-istri, saudara handai taulan. Mereka adalah personal dan komunal yang selama ini berada dan mendukung hidup kita.

Rumah kita adalah syurga. Ini penting. Setiap orang, sejauh apapun akan kembali ke rumah, dan merasa senang dan lega serta bersyukur jika sudah sampai di rumah.

Baca juga Kelompok Suni di Madinah dan Mekah: Sebuah Catatan Perjalanan

Baiti jannaati, kata Nabi. SAW. Ini juga menandakan, bahwa rumah adalah tempat terbaik, ternyaman dan teraman bagi kehidupan kita/ mereka.

Kita/ mereka akan kembali hidup normal. Kehidupan mereka tidak lagi dipenuhi dengan ritual-ritual seperti haji.

Baca juga Jamaah Umrah Harus Tinggalkan Arab Saudi, Ini Alasannya

Ritual mereka akan bercampur dengan ibadah-ibadah yang bersifat ghoiru mahdhah, baik yang bersifat muamalah ataupun siyasah.

Kita/ mereka akan kembali dihadapkan pada kehidupan nyata yang penuh dengan ritme dan dinamika. Bahkan bersifat ledakan-ledakan sosial yang perlu diantisipasi.

Haji memberikan kepada kita/mereka, suatu spirit yang membangun ketahanan mental, berupa ketaatan di satu sisi, dan kesabaran pada sisi yang lain.

Ketahanan mental itu sangat perlu, agar dalam kehidupan nyata, kita bisa tetap eksis dan selalu berada dalam dinamika sosial, bahkan ledakan yang dasyat sekalipun.

Haji, seharusnya bisa direduksi sebagai sebuah konklusi dasar, bahwa hidup itu harus taat terhadap segala sesuatu yang menjadi aturan, dan sabar di dalam menjalani proses kehidupan itu semua.###

Mekah, 23624
Toufik Imtihani.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button