Road to Mecca Part 3; Magnet itu Bernama Ka’bah
NU CILACAAP ONLINE – Layaknya magnet, Makkah sungguh luar biasa. Berjuta orang berjubel dari berbagai sudut dunia. Mereka semua mengumandangkan Talbiyah, labbaik Allahumma Labbaik. Labbaik laa syarika laka labbaik…Dan, magnet itu bernama Ka’bah.
Selain saya bukan orang yang senang traveling, saya juga bukan tipe orang yang mudah takjub, atau dalam bahasa jawanya, gumunan. Teringat selalu pesan mendiang Pak Harto, agar jadi orang itu tidak mudah gumunan, kagetan, dan dumeh. “ojo gumunan, ojo kagetan, ojo dumeh.”
Sehingga ketika banyak orang sering traveling ke mana mana, karena gumunan, saya lebih senang di rumah. Karena bagi saya, semua tempat itu sama. Dan tempat terbaik itu adalah rumah kita.
Baca juga Menentukan Arah Kiblat Itu Mudah, Bagaimana Caranya?
Sehingga, orang yang bepergian pun, ketika sampai di rumahnya kembali, akan berucap, Alkhamdulillah, sudah sampai di rumah. Jadi, benar sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa rumahku adalah surgaku. Baitii jannaati.
Tetapi memang beda dengan Makkah dan Madinah. Saya khususkan Makkah. Jika Madinah adalah Kiblat Ziarah, karena di situ banyak situs-situs sejarah yang dapat dijadikan sarana tabarukan dan wasilah, maka Makkah adalah Kiblat Ibadah (shalat) yang di situ ada Ka’bah, sebagai “rumah Allah”.
Sebagai kiblat ibadah, orang yang datang ke Makkah tidak peduli apa latar belakang ideologi ke-agamaan yang mereka punyai. Suni, Syiah, atau Salafi. Apalagi yang hanya ormas macam NU dan Muhammadiyah.
Mereka shalat di dekat Kabah, tidak melihat, dan tidak berpikir siapa imam shalat mereka. Tidak berpikir pula soal manhaj dan madzhab. Sah atau tidak sah. Mana yang sunah, rukun atau wajib.
Bahkan ketika Thawaf, tidak peduli juga batalnya wudlu ketika laki-laki bersentuhan secara langsung dengan perempuan lain. Tidak peduli juga memikirkan seksualitas, walau laki perempuan bercampur-baur berimpitan. Tidak ada berita pelecehan, walau potensi itu sangat besar. Tapi tidak pernah terjadi.
Semua fokus kepada ibadah dan merasa dekat dengan Tuhannya. Ketakutan untuk berbuat dosa sangat besar, di tanah haram, apalagi di sekitar Ka’bah.
Baca juga Al Qur’an dan Ka’bah (Kisah Perubahan Arah Kiblat)
Orang NU misalnya, tidak mikir juga bahwa seandainya imam shalat mereka di Masjidil haram itu orang salafi, yang bacaan basmalah dalam shalat jahr, itu dibaca sir, terutama dalam surat Al Fatehah. Juga tidak memakai qunut dalam shalat subuh. Orang NU di situ, tidak mikir bahwa shalatnya tidak sah. Tidak berpikiran begitu.
Demikian juga orang Syiah, yang selalu dimusuhi oleh orang Salafi. Mereka saat itu, bermakmum kepada mereka.
Dan di antara mereka tidak saling memperhatikan bagaimana mereka shalat. Bagaimana mereka takbir, sujud, ruku, iftirosi, tawaruk, dan sebagainya. Di situ semua yang ada adalah Islam.
Makkah sungguh luar biasa. Berjuta orang berjubel dari berbagai sudut dunia. Mereka semua mengumandangkan Talbiyah, labbaik Allahumma Labbaik. Labbaik laa syarika laka labbaik…
Saya, menjadi gumunan, dan kagetan. Tidak ada suatu ajaran satu pun yang dapat menggerakkan manusia sedemikian rupa, kecuali Islam.
Baca juga Shalawatan dan Magnet Uniknya yang Hidup
Dengan potensi itu, Islam sangat pantas menjadi agen perubahan ke arah kemashlahatan dunia. Walau pun hal sebaliknya bisa saja terjadi. Pantas saja, Loththrop Stodard, dalam bukunya, The New Word of Islam (1966) mengatakan bahwa Haji adalah bentuk permusyawaratan umat Islam seluruh dunia.
Hal dihasilkan dalam permusyawaratan itu adalah, seperti saya narasikan di atas, suatu tahkim atau kesepakatan bahwa Islam adalah satu, di atas semua perbedaan manhaj, madzhab dan tarekat.
Saya jadi teringat kepada tulisan Michael D Hart, dalam buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh. Ia menempatkan Muhammad, sebagai pembawa risalah Islam, pada urutan nomor 1.
D Hart, kalau tidak salah memuji Muhammad, bahwa dalam satu generasi saja ia telah berhasil membangun suatu peradaban yang sangat maju kala itu. Suatu capaian yang sulit dan belum pernah diraih oleh tokoh-tokoh siapapun dan manapun..
Itulah dinamika Makkah, yang membuat saya terkagum kagum, hal yang belum pernah atau jarang terjadi pada diri saya.****
Makkah, 28 Mei 2024
Toufik Imtikhani
NU pinggiran.