Ibu Kota Negara, Kenapa Tidak Dua? (Opini KH As’ad Said Ali)
NU CILACAP ONLINE – Ketika sejumlah para politisi dan tokoh nasional mempersoalkan atau menolak Ibu Kota Negara / IKN baru, Penajem Paser, dalam benak saya malah bertanya; lho kenapa menolak, bukannya lebih asyik punya dua ibu kota?
Pengalaman ketika periode 1982 – 1987 hidup di Arab Saudi; saya sering ke ibukota musim dingin di Riyadh dan ibukota musim panas di Taif sekitar 70 km di selatan Makkah.
Pernah saya menanyakan kepada seorang pejabat tinggi negara tersebut, apakah keberadaan dua ibu kota negara tersebut mempunyai nilai “politik dan sejarah”. Ya benar, Riyadh atau lebih tepatnya Dir’iyah adalah tempat lahir wangsa Al Saud pendiri kerajaan Arab Saudi.
Dari Diri’yah yg terletak di sebelah barat Riyadh dan termasuk Nejed itulah dimulainya penyatuan jazirah Arab. Sedang Taif yang terletak diselatan Makkah (tempat suci umat Islam) adalah bagian propinsi Makkah dan dinilai layak menjadi representasi wilayah Hejaz atau Saudi Barat yang membentang dari Tabuk sampai Najran.
Penyatuan Hejaz dan Nejed menjadi pilar Kerajaan Arab Saudi tersebut yg didisain untuk menyatukan pantai Barat dengan pantai Timur. Pada awal penyatuan Arab Saudi, Raja Abdulaziz bin Abdurahman cukup lama memimpin pemerintahan dari Taif untuk menunjukkan arti penting wilayah tersebut. Sejak saat itu setiap tahun, Taif menjadi pusat pemerintahan pada musim panas dan Riyadh pada musim dingin.
Dengan mempunyai dua kota yang menjadi ibu kota negara, Jakarta yang kaya dengan nilai perjuangan dan simbol persatuan bangsa; dan Penajem Paser yang simbol masa depan dan kota kota yang mewakili penduduk luar Jawa, maka dikhotomi Jawa dan Luar Jawa menjadi sirna.
Bukankah Proklamator Bung Karno pernah mempunyai gagasan untuk membangun ibu kota negara di Palangka Raya ? Gagasan Presiden Joko Widodo bukanlah mengada ada tentu sudah didasari visi baru utk menyongsong masa depan.
Jadi rasanya kurang tepat kalau hal utama yang diperdebatkan dalam membahas soal ibu kota baru dengan menonjolkan Jawa vs Luar Jawa, karena sama halnya dg mendorong perpecahan bangsa. Prof Emil Salim mengingatkan hal ini dalam wawancara di televisi dua bulan yang lalu.
Tidak disangsikan lagi betapa peranan Jakarta dalam rentang waktu pra kemerdekaan sampai saat ini. Kota Jakarta sebagai ibu kota menjadi saksi bisu yang sulit ditandingi , sebagai kota proklamasi dan venue lahirnya Pancasila. Suatu kesalahan menghapus peran sejarah Jakarta.
Baca Juga
- Paska Rudal Hamas, Perang Atau Damai?
- Rezim Taliban Barkuasa di Afghanistan: Euforia vs Paranoid
- Perpecahan Palestina Dibalik Roket HAMAS
Beberapa tokoh nasional memang menyinggung peranan Jakarta, tetapi cenderung menghadapkannya dengan Penajem Paser, mana yang harus dipilih sebagai ibukota. Jelas tidak adil dan sebaiknya kita harus melihat peranan Penajem Paser kedepan sesuai visi yang selaras dengan globalisasi.
Dan pada saat yang bersamaan tetap melihat Jakarta sebagai tonggak kuat yang menancap kuat mencengkeram tali persatuan bangsa. Murah hati dan jiwa toleransi warga asli Bertawi dapat menjadi tauladan, selain berwatak terbuka dan sangat toleran serta agamis; orang Betawi tetap bersabar meskipun sering digusur beberapa kali.
Soal besarnya anggaran pembangunan Ibu Kota Negara / IKN baru termasuk yang menyedot perhatian menonjol para politisi dan tokoh nasional dan media. Mereka mengkaitkannya dengan pandemi Covid 19 dan kondisi ekonomi dunia yang terganggu sebagai akibat perang dagang.
Tidak salah membahasnya, tetapi saya anggap terlalu over dosis mengingat pembangunan itu dilakukan secara bertahap alias multi year dengan melibatkan peranan swasta.
Apalagi kalau eksistensi Jakarta sebagai ibu kota tetap dipertahankan dengan pembagian peran dengan ibu kota baru. Kementerian boleh pindah, tetapi perwakilan diplomatik dan agency asing tidak harus pindah, Silahkan lihat perbedaan fungsi antara Amsterdam dan Den Haag, keduanya berstatus sebagai ibu kota (negara Belanda), tetapi mempunyai fungsi masing masing,
Bukan hanya Arab Saudi saja yang mempunyai dua kota yang berkedudukan sebagai ibu kota negara. Ada 15 negara lain yang juga mempunyai dua ibukota yaitu Benin, Bolivia, Chilli, Georgia, Honduras, Pantai Gading, Malaysia, Montenegro, Nederland, Afrika Selatan, Korea Selatan, Sri Lanka, Swaziland, Tanzania dan Sahara Barat. Bahkan Afrika Selatan mempunyai tiga ibu kota yaitu Cape Town, Pretoria dan Bolemfountein.
Penentuan ibu kota negara tersebut senantiasa merujuk pada perjalanan sejarah bangsa dan pertimbangan politik khususnya demi terwujudnya bangsa masing masing.
Artikel Ibu Kota Negara, Kenapa Tidak Dua ? dinukil dari Facebook KH As’ad Said Ali.