Road To Mecca Part 4: Kelompok Suni di Madinah dan Mekah
NU CILACAP ONLINE – “Kelompok Suni di Madinah dan Mekah: Sebuah Catatan Perjalanan” adalah tulisan Toufik Imtihani. Dalam tulisan ini ia mengungkap realita bahwa amalan kelompok Suni dari penjuru negara manapun pada dasarnya tidak jauh beda dengan amalan orang NU di Indonesia.
Saya tiba di Madinah pada tanggal 18 Mei 2024. Datang ke Madinah dalam rangka kegiatan ibadah haji. Jamaah haji Indonesia dan beberapa negara lain, melaksanakan haji Tamattu, yaitu melaksanakan umrah dahulu, baru kemudian haji. Selain haji Tamattu, ada juga jenis haji lain, yaitu Ifrad dan qiron.
Shalat Arba’in
Kita kembali kepada bahasan haji Tamattu. Haji Tamattu otomatis harus ke Madinah dahulu. Setelah melaksanakan sholat arba’in, maka jamaah haji Tamattu akan diarahkan ke Mekah, untuk melaksanakan umrah wajib ( Tamattu ), dengan mengambil miqot di Masjid Bir Ali.
Sholat arba’in adalah sholat berjamaah 5 waktu di Masjid Nabawi yang dilaksanakan tanpa putus oleh setiap jamaah haji. Hadist tentang sholat arba’in, banyak diriwayatkan dengan rawi sanad dan matan yang berbeda beda. Ada yang menyebut, 40 hari ada yang menyebut 40 waktu. Tapi yang jelas sholat arba’in bukan hal yang wajib. Hanya sebatas keutamaan amal yang sayang kalau ditinggalkan.
Sebagaimana sabda Nabi SAW dalam hadits riwayat dari Sahabat Abu Hurairah,
صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ، إِلاَّ المَسْجِدَ الحَرَامَ
Satu kali shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di masjid lain, kecuali Masjidil Haram. (HR. al-Bukhari).
Hadist lain misalnya,
dari Anas bin Malik bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلاةً، لاَ يَفُوتُهُ صَلاةٌ، كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَنَجَاةٌ مِنَ الْعَذَابِ، وَبَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ
Barang siapa shalat di masjidku empat puluh shalat tanpa ketinggalan sekalipun, dicatatkan baginya kebebasan dari neraka, keselamatan dari siksaan dan ia bebas dari kemunafikan. (HR. Ahmad)
Uniknya Kelompok Aliran Suni
Hal yang unik saya temui di Madinah dan Mekah adalah, keberadaan kelompok yang mencirikan aliran suni. Saya yakin, kelompok ini masih mendominasi di seluruh dunia Islam.
Saya menemukan mereka di jalan-jalan Mekah dan Madinah, hingga di dalam masjid Nabawi dan Al haram.
Baca juga Road to Mecca Part 3; Magnet itu Bernama Ka’bah
Pun saya menemukan mereka di masjid hotel dan lobby-lobby hotel yang dijadikan tempat sholat, akibat kendala teknis dan sebagainya, untuk bisa sholat di masjid hotel, Masjid Nabawi dan Al haram.
Apa yang menjadi ciri suni di tanah air, ada pada mereka. Yang sederhana adalah, penggunaan tasbih sebagai alat bantu dzikir.
Saya menemukan dan menyaksikan orang-orang muslim di jalan-jalan Madinah dan Mekah, yaitu jamaah haji dari berbagai ras, suku bangsa, selalu memegang tasbih.
Bahkan ketika mereka berjalan pulang balik masjid, atau sekedar ngobrol setelah jamaah selesai.
Di masjid hotel Rittaj Al Hayat Mekah, bahkan saya menemukan buku yaasin dan tahlil seperti buku yang biasa kita pakai di tanah air, tetapi berbahasa asing, dan saya perkirakan itu adalah buku yaasin tahlil dari negara semenanjung Afrika.
Itu kalau dilihat dari translate bahasa arabnya. Susunannya pun hampir persis dengan buku yaasin tahlil yang ada di Indonesia.
Ketika di Madinah, saya menjumpai beberapa kali, beberapa kelompok, yang duduk melingkar sambil tahlilan. Dan itu bukan warga negara Indonesia.
Baca juga Haji Riang Gembira 2023 Part 27: Hari Terakhir Di Madinah
Awalnya saya sedang berdzikir sendiri, di tengah ribuan jamaah Masjid Nabawi. Sayup-sayup terdengar, seperti ada suara tahlilan.
Saya pikir, ini orang Indonesia. Ternyata setelah saya cari sumber suara, di antara ribuan jamaah yang saling berkelompok, saya dapati jamaah haji berkulit putih, duduk melingkar sambil membaca tahlil. Persis seperti yang dilakukan oleh orang NU di Indonesia.
Penggunaan tasbih, tahlil yaasin, hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok Suni, tarekat, tasawuf, dan para sufi. Kelompok-kelompok puritan, fundamental, khawarij, wahabi, tentu sangat antipati.
Bacaan Qurannya para imam, baik di Masjid Nabawi maupun Al Haram, juga secara qiroat, sama dengan bacaan orang NU di Indonesia.
Bukan seperti qiroat Seikh Sudaish, yang sering menjadi rujukan kelompok hijrah dan salafi. Hanya saja mereka dalam sholat jahr, lafadz basmalah tetap dibaca sirr.
Bagi umat muslim yang sudah umrah atau haji, tentu ini bukan fenomena baru yang ditemui. Tetapi mereka mungkin tidak menuangkannya dalam sebuah tulisan, sebuah dokumen yang relatif abadi.
Baca juga Living Hadits dan Aswaja (Ahlussunnah Wal Jamaah)
Itulah mengapa saya menulis ini, agar mudah diingat, sekaligus membangkitkan ghirah dan optimisme.
Bahwa kelompok suni, aswaja, adalah bagian yang penting dan akan tetap dominan dalam dunia Islam.
Sekaligus kita menaruh harapan masa depan, bahwa masa depan dunia islam adalah suni, kelompok washatiyah, wabil khusus, Nahdlatul Ulama.
Artinya, prospek perdamaian di masa depan cukup cerah, jika kita mendasari asumsi dan premis, dominasi kelompok suni di seluruh dunia islam. ***
Mekah, 06 Juni 2024
Toufik Imtikhani al Indonesia.