KH Mahrus Aly, Tokoh Kemerdekaan Dari Pesantren Lirboyo

NU CILACAP ONLINE – Pondok Pesantren Lirboyo Kota Kediri memiliki tiga tokoh besar dalam pergerakan pesantren dan kemerdekaan di Indonesia. Ketiganya dikenal dengan sebutan tiga tokoh Lirboyo, yakni KH Abdul Karim (pendiri Ponpes Lirboyo) dan kedua menantunya, KH Marzuqi Dahlan serta KH Mahrus Aly (menantu).

Ketiganya merupakan ulama tonggak sejarah berdiri dan berkembangnya Pondok Pesantren (Ponpes) Lirboyo Kediri yang dimulai pada 1910. Mahrus Aly bin Ali bin Abdul Aziz merupakan tokoh pejuang kemerdekaan, hingga menjadi ulama yang disegani oleh presiden pertama Indonesia, Soekarno.

Tiga Tokoh Lirboyo

Kisah ini disarikan dari buku berjudul ‘Tiga Tokoh Lirboyo’, terbitan Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. Mahrus Aly lahir di Dusun Gedongan, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, dari pasangan KH Ali bin Abdul Aziz dan Nyai Hasinah binti Kiai Sa’id pada tahun 1906 M.

Mahrus Aly adalah anak bungsu dari sembilan bersaudara. Masa kecilnya dikenal dengan nama Rusydi dan lebih banyak tinggal di tanah kelahirannya yakni di Cirebon. Sifat kepemimpinan beliau sudah nampak saat masih kecil.

Sehari-hari Mahrus Aly menuntut ilmu di surau pesantren milik keluarga. Rusydi diasuh oleh ayahnya dan kakak kandung bernama Kiai Afifi. Mahrus Aly gemar menuntut ilmu terutama ilmu hadis dan nahwu sharaf.

Di usia remaja, Mahrus Aly hafal 1.000 bait nadzam kitab Alfiyah Ibnu Malik. Bahkan beliau pernah melakukan debat nahwu sharaf dengan seorang habib dari Yaman.

Suatu ketika kakaknya mengadakan lomba hafalan dan pemahaman kitab Alfiyah, Mahrus Aly kalah. Merasa malu dengan keluarganya, akhirnya Mahrus Aly pergi meninggalkan rumah tanpa meminta izin, dan tentu saja membuat sedih sang ibundanya, Nyai Hasinah.

Maka sepanjang hari ibunya bermunajat kepada Allah agar anaknya yang meninggalkan rumah dan keluarganya dijadikan ulama yang alim. Saat berusia 18 tahun, Mahrus Aly melanjutkan pencarian ilmu ke Pesantren Panggung, Tegal, Jawa Tengah, asuhan Kiai Mukhlas, kakak iparnya sendiri.

Di sini kegemaran belajar ilmu nahwu semakin teruji dan mumpuni. Selain itu, Mahrus Aly juga belajar silat pada Kiai Balya, ulama jawara pencak silat asal Tegal Gubug, Cirebon. Pada saat mondok di Tegal Gubug ini, Mahrus Aly menunaikan ibadah haji pada tahun 1927 M.

Di tahun 1929 M, Mahrus Aly berguru ke Pesantren Kasingan, Rembang, Jawa Tengah asuhan KH Kholil. Saat Mahrus Aly hendak menimba ilmu di sana, begitu memasuki gerbang pondok disambutlah dia oleh para santri yang telah berbaris. Bercampur heran Mahrus Aly tetap melangkah memasuki pondok.

Belakangan diketahui bahwa telah tersiar kabar bahwa di Pondok Kasingan akan kedatangan seorang ahli hadis bernama Mahrus Aly. Sambutan yang luar biasa dari para santri tidak membuat dirinya besar kepala.

Di samping menimba ilmu kepada sang kiai, beliau juga mengajar para santri. Maka tidak heran bila Mahrus Aly diangkat menjadi Lurah Pondok. Hampir lima tahun menimba ilmu di Pondok Kasingan, kemudian Mahrus Aly minta izin kepada gurunya untuk pulang ke rumah. Baca juga KH Azizi Hasbullah, Sang Macan Lirboyo

Ketika sampai di rumahnya di Gedongan, Mahrus Aly lagi-lagi mendapat sambutan dari para santri dan keluarganya dengan penuh penghormatan. Para santri dibuatnya kagum dengan kecerdasan Mahrus Aly dalam memahami kitab Alfiyah. Rupanya Allah memberikan futuh (pembuka hati dan ilmu) berkat doa, munajat dan riyadhah sang ibu.

Tidak puas dengan bekal ilmu yang dimiliki, Mahrus Aly meminta izin kepada ibunya untuk menimba ilmu di Pesantren Lirboyo di Kelurahan Lirboyo Kecamatan Mojoroto Kota Kediri. Karena sudah punya bekal ilmu yang mumpuni Mahrus Aly berniat datang ke Ponpes Lirboyo untuk tabarukan. Namun beliau malah diangkat menjadi pengurus pondok dan ikut membantu mengajar.

“Saat di Ponpes Lirboyo tahun 1936 Mahrus Aly belajar di bawah asuhan KH Abdul Karim atau biasa juga dipanggil Mbah Manab. Melihat kecerdasan yang dimiliki, Mahrus Aly membuat gurunya terkagum-kagum dan jatuh hati pada Mahrus Aly,” kata KH Reza Ahmad Zahid, cucu Mahrus Aly.

Ditambahkan selama nyantri di Lirboyo, Mahrus Aly dikenal sebagai santri yang tidak pernah letih mengaji. Jika waktu libur tiba maka akan digunakan untuk tabarukan dan mengaji di pesantren lain, seperti Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, asuhan KH Hasyim Asy’ari. Pondok Pesantren Watucongol, Muntilan, Magelang, asuhan Kiai Dalhar dan juga pondok pesantren di daerah lainnya seperti Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Sarang dan Lasem Rembang.

Mahrus Aly mondok di Lirboyo tidak lama, hanya sekitar tiga tahun. Namun karena alimnya, kemudian Abdul Karim menjodohkan dengan salah seorang putrinya yang bernama Zaenab, tahun 1938.

Setelah menikah dan menjadi menantu di Ponpes Lirboyo pada tahun 1944 M, Abdul Karim mengutus Mahrus Aly untuk membangun rumah di sebelah timur kompleks pondok dan selanjutnya membantu mengajar di pesantren yang kini memiliki santri kurang lebih 38 ribu tersebut.

Tahun 1954, sang pendiri Ponpes Lirboyo Abdul Karim wafat. Mahrus Aly bersama Marzuqi Dahlan akhirnya meneruskan tampuk kepemimpinan Pondok Pesantren Lirboyo. Di bawah kepemimpinan mereka berdua, kemajuan pesat dicapai oleh Pondok Pesantren Lirboyo.

Santri berduyun-duyun untuk menuntut ilmu dan mengharapkan barokah dari Marzuqi Dahlan dan Mahrus Aly. Bahkan di tangan Mahrus Aly, pada 30 April 1966 lahir sebuah perguruan tinggi yang bernama Universitas Islam Tribakti (UIT) yang kemudian berubah menjadi IAIT (Institut Agama Islam Tribakti).

KH Mahrus Aly dan Kemerdekaan Indonesia

Ponpes Lirboyo berdiri pada tahun 1910. Dalam perjalanan sejarahnya, Ponpes Lirboyo juga turut membantu pergerakan melawan penjajah kolonial Jepang dan Belanda.

KH Mahrus Aly dan Kemerdekaan IndonesiaPeran Pesantren Lirboyo dalam dunia pendidikan dan pergerakan perjuangan kemerdekaan menjadikan pesantren ini layak ditorehkan dalam catatan sejarah dengan tinta emas.

Tepatnya tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan, Mayor Mahfud yang merupakan mantan Sudanco PETA di daerah Kediri menyampaikan berita gembira kemerdekaan itu kepada Mahrus Aly, dilanjutkan dengan pertemuan para santri di serambi Masjid Pondok Pesantren Lirboyo.

Di Ponpes Lirboyo diumumkan bahwa rakyat Indonesia yang telah sekian abad lamanya dijajah sekarang telah resmi merdeka. Santri Lirboyo dalam kesempatan yang sama itu sepakat melucuti senjata Jepang di Markas Kompitai Dai Nippon di Kediri (kini menjadi pertokoan Keris Galery Jl Brawijaya Kota) yang letaknya sekitar 1,5 kilometer dari arah timur Pondok Pesantren Lirboyo.

Pada malam hari, dengan peralatan seadanya, berangkatlah 440 santri mengadakan penyerbuan di bawah komando Mahrus Aly, Mahfud, dan Raden Abdul Rakhim Pratalikrama bin Raden Wongsotaruno–Sumenep Madura (anggota BPUPKI).

Lihat Pidato Raden Abdul Rachim Pratalykrama di YouTube

Dalam peristiwa pelucutan senjata Jepang, Mahrus Aly menunjuk santri yang masih berusia 15 tahun bernama Syafi’i Sulaiman untuk menyusup ke markas Dai Nippon. Syafi’i kemudian mempelajari keadaan dan memantau kekuatan lawan tanpa diketahui oleh pasukan Jepang. Setelah penyelidikan dirasa cukup, Syafi’i segera melapor kepada Mahrus Aly dan Mahfud.

Dalam perjalanan selanjutnya, Syafi’i tercatat menjadi anggota DPR dan Ketua PCNU Kabupaten Kediri.

Invasi para santri itu berhasil yakni mulai pukul 22.00–01.00 WIB, ketika Mahfud menerima kunci gudang senjata dari komandan Jepang yang sebelumnya telah diadakan diplomasi panjang lebar menjelang penyerahan Jepang atas Indonesia. Kemenangan penyerbuan itu diiringi takbir ‘Allahu Akbar’ yang mengumandang.

“Setelah negoisasi, kemudian satu truk senjata hasil lucutan Jepang itu dibawa ke Pondok Lirboyo, termasuk samurai-samurai yang saat ini masih tersimpan di Ponpes Lirboyo,” terang KH Reza Ahmad Zahid.

Peran Penting Saat Perang 10 November 1945

Ponpes Lirboyo juga memiliki kisah perjuangan yang melegenda saat awal kemerdekaan. Pada medio September 1945, pasca kekalahan Jepang pada 14 Agustus 1945 disebutkan, tentara sekutu datang ke Indonesia dengan menggunakan nama tentara NICA.

Hal itu lalu membuat para kiai NU yang dipimpin KH Hasyim Asy’ari memanggil seluruh ulama di Jawa dan Madura membicarakan hal ini di kantor Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) di Jalan Bubudan VI Nomor 2 Surabaya.

Dalam pertemuan itu, para ulama mengeluarkan resolusi Perang Sabil, yaitu perang untuk melawan Belanda dan kaki tangannya dengan hukum fardhu ‘ain.

Pasca pertemuan itu, di berbagai daerah para anggota Nahdlatul Ulama (NU) bergabung bersama Hizbullah dan Sabilillah ikut mengangkat senjata melawan musuh. Kaum perempuan dari Muslimat pun seakan tak mau kalah, mereka berjuang di garis belakang, dan bahkan ada yang ikut memanggul senjata.

Rupanya keputusan inilah yang menjadi motivasi para ulama dan santrinya untuk memanggul senjata ke medan laga, termasuk Pesantren Lirboyo. Saat datangnya Jenderal AWS Mallaby pada tanggal 25 Oktober 1945 di Pelabuhan Tanjung Perak, stabilitas kemerdekaan mulai nampak terganggu terutama di daerah Surabaya.

Terbukti pada tanggal 28 Oktober 1945, para tentara sekutu ini mulai mencegat pemuda di Surabaya dan merampas mobil milik mereka. Puncaknya adalah mereka menurunkan bendera merah putih yang berkibar di Hotel Yamato dengan bendera Belanda.

Selang beberapa lama, Mahfud melapor kembali kepada Mahrus Aly di Lirboyo bahwa tentara sekutu yang memboncengi Belanda telah merampas kemerdekaan, dan Surabaya banjir darah pejuang.

Maka KH Mahrus Aly mengatakan bahwa kemerdekaan harus kita pertahankan sampai titik darah penghabisan. Kemudian Mahrus Aly Lirboyo mengintruksikan kepada santri Lirboyo untuk berjihad kembali mengusir tentara Sekutu di Surabaya. Hal ini disampaikan lewat santri yang berama Agus Suyuthi, kemudian dipilihlah santri-santri yang tangguh untuk dikirim ke Surabaya.

Dengan mengendarai truk, para santri di bawah komando Mahrus Aly berangkat ke Surabaya. Meskipun hanya bersenjatakan bambu runcing, mereka bersemangat berjihad menghadapi musuh.

Santri yang dikirim waktu itu berjumlah sebanyak 97 santri. Peristiwa itu belakangan dikenal dengan perang 10 November. Hal ini juga yang menjadi embrio berdirinya Kodam V Brawijaya. Selain perang kemerdekaan itu, Mahrus Aly juga juga peran besar dalam penumpasan PKI di sekitar Kediri tahun 1965.

Nama-nama santri Lirboyo yang berangkat ke Surabaya, antara lain, Syafi’i Sulaiman, Agus Jamaludin, Masyhari, Ridlwan, Baidhowi, dan Damiri. Keenam santri tersebut berasal dari Kediri. Selain itu, ada juga santri bernama Abu Na’im Mukhtar dari Shalatiga, Khudhari dari Nganjuk, Sujairi dari Singapura, Zainudin Blitar, Jawahir Jember, Agus Suyuti Rembang, Pardikrama Menoreh dan masih banyak lagi santri lainnya.

Pengiriman pertama ini berjumlah 97 santri. Setelah tiba di Surabaya, kemudian mereka bergabung dengan Laskar Hizbullah. Dalam perang tersebut, rombongan santri Lirboyo berhasil merebut sembilan pucuk senjata dari pasukan musuh. Semuanya dapat kembali dalam keadaan selamat. Keberhasilan ini tentu tidak lepas pula dari restu dan doa para ulama.

Peran Mahrus Aly usai Kemerdekaan

Mahrus Aly juga mempunyai andil besar dalam perkembangan jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Bahkan beliau diangkat menjadi Rais Syuriyah NU Jawa Timur selama hampir 27 tahun, hingga akhirnya diangkat menjadi anggota Mutasyar PBNU hinga pada tahun 1985.

Mahrus Aly wafat setelah sebelumnya sang istri tercinta Nyai Hj Zaenab binti Abdul Karim pada Senin 4 Maret 1985 M, berpulang ke rahmatullah karena sakit tumor kandungan yang telah lama diderita.

Sejak saat itulah kesehatan Mahrus Aly mulai terganggu, bahkan banyak yang tidak tega melihat Mahrus Aly terus-menerus larut dalam kedukaan. Banyak yang menyarankan agar Mahrus Aly menikah lagi supaya ada yang mengurus beliau. Namun dengan sopan beliau menolaknya.

Hingga puncaknya pada Sabtu sore tanggal 18 Mei 1985 M, kesehatan beliau benar-benar terganggu. Bahkan setelah opname selama 4 hari di RS Bayangkara Kediri, beliau dirujuk ke RS Dr. Soetomo, Surabaya. Delapan hari setelah dirawat di Surabaya, tepatnya pada hari Ahad malam Senin tanggal 06 Ramadhan 1405 H/ 26 Mei 1985 M, Mahrus Aly berpulang ke rahmatullah. Beliau wafat di usia 78 tahun.

Hubungan Mahrus Aly dengan Soekarno

Tidak banyak terungkap bukti hubungan dekat antara Presiden Soekarno dengan Mahrus Aly, Ahmad Shiddiq dan tokoh NU lainnya. Bukti kedekatan KH Mahrus Aly Lirboyo dengan Soekarno adalah koleksi foto Ponpes Lirboyo yang didapatkan dari Dimyathi Rasid di Kendal, Kaliwungu, Jawa Tengah.

KH Mahrus Aly Lirboyo dan Soekarno

Gus Ibrahim atau biasa dipanggil Gus Bram yang merupakan cucu keturunan Abdul Karim mengungkapkan hal tersebut kepada penulis.

“Presiden Soekarno mengetahui betul jasa KH Mahrus Aly dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, terutama di perang 10 November di Surabaya. Soekarno tahu peran KH Mahrus Aly memimpin Batalyon Gelatik yang menjadi embrio Kodam Brawijaya sekarang,” kata Gus Bram.

Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

Bebeberapa waktu lalu Yayasan Institut Agama Islam Tribakti (IAI) Tribakti yang dipimpin KH Atho’ilah Anwar Mansyur bersama tim menemui Wali Kota Kediri, Abdullah Abu Bakar untuk mengusulkan agar KH Mahrus Aly Lirboyo diangkat menjadi pahlawan nasional, karena peran perjuangan yang telah dilakukannya di perang kemerdekaan.

“Kami sangat mendukung jika KH Mahrus Aly Lirboyo diusulkan menjadi pahlawan nasional dan akan kita kawal. Karena semua tahu bagaimana peran KH Mahrus Aly dalam pergerakan perjuangan dan pengembangan pendidikan di pesantren dan perguruan tinggi pertama kali di Kediri,” kata Abdullah Abu Bakar kepada Penulis.

Kontributor Imam Mubarok (Gus Barok), Wakil Ketua Lesbumi PWNU Jawa Timur Dan Pengelola Museum Foto KeDiri Jl. Tendean Kota Kediri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button