Kartini, Perjuangan Di Persimpangan Jalan

NU CILACAP ONLINE – Perjuangan Kartini saat ini bagai keluar dari mulut buaya masuk ke mulut harimau. Kartini memperjuangkan hak-hak perempuan. Tapi dia sendiri jatuh kepada kubangan patriarkhi. Perjuangan tak selalu berhasil. Karena hasil, bukan wewenang manusia.

Tapi perjuangan Kartini menginisasi kaum perempuan untuk meneruskannya, bukan mencontohnya. Karena  dia sendiri gagal memperjuangkan haknya. Kartini, perjuangan nya di persimpangan jalan.

Sekarang muncul antitesis Kartini. Sebagian kaum perempuan terbang terlalu jauh dari kodratnya, freedom and equality. Sebagian dikembalikan ke peran primitifnya,  melalui gerakan thaliban agama. melarang peran-peran sosial dan pilitik kaum perempuan atas nama agama.

Perempuan tetap jatuh ke perangkap patriarkhi, dengan dua alasan berbeda, kebebasan dan agama. Semuanya tak ada yang menguntungkan bagi nasib perempuan yang secara bijak menempatkan emansipasi pada kedudukan yang tepat. Ada  sekelompok lelaki , atas nama agama membuka ruang kebebasan bagi perempuan untuk aktif di dalam kehidupan sosial.

Bila  ditelisik melalui ayat-ayat Al-Qur’an, Alloh justru menegaskan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal (QS al-isra: 70).”

Refleksi dari ayat di atas adalah manusia secara keseluruhan membentuk sebuah keluarga global. Sehingga, sebetulnya tidak perlu ada semacam superioritas satu golongan atau bangsa terhadap yang lainnya.

Baca Musimat NU Cilacap Peringati Hari Kartini

Di sini, semangat moral ayat di atas menegaskan tidak adanya superioritas yang satu dengan yang lainnya. Keduanya makhluk Allah yang saling dimuliakan Pencipta-Nya. Untuk itu Tuhan menyatakan keturunan Adam itu telah dimuliakan.

Dari penjelasan di atas kita bisa simpulkan bahwa Alquran menawarkan equalitas laki-laki dan perempuan. Sayangnya, ayat-ayat itu pamornya terkalahkan beberapa ayat Alquran yang juga sering diartikan sebagai landasan inferioritas perempuan. Salah satu ayat yang sering jadi rujukan adalah ayat ke-34 surat an-Nisa:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”

Perkataan qowwamun sering diartikan sebagai pemimpin. Konsekuensinya ayat ini memposisikan yang memimpin dengan yang dipimpin. Penafsiran ini tidak salah. Tapi masalahnya, kalau ekspresi itu dijadikan landasan ketidaksejajaran laki-laki dengan perempuan, sudah tentu merupakan sebuah upaya untuk menggeneralisasi misi Alquran.

Dan yang disayangkan, penafsiran itu kemudian diwariskan dari generasi ke generasi dengan formula bahwa laki-laki lebih superior dari perempuan.

Inisiatif dari gerakan perempuan terukur dan terarah, dalam artian tetap dalam konteks value system dalam masyarakat, berupa konfigurasi nilai agama dan budaya, serta ruang yang diciptakan oleh kompatriotnya. Yaitu kaum lelaki dengan penghargaan, perngormatan, serta apresiasi  akan kunci kesuksesan cita-cita emansipasi. Kaum perempuan harus mampu menjaga integritasnya sendiri, agar bisa duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dengan kaum lelaki.

Penulis: Taufik Imtihani, Naeli Rokhmah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button