Pondok Pesantren Fiktif Dan Fenomena “Pesantren Dadakan”

NU CILACAP ONLINE –  Fenomena pondok pesantren fiktif menghadirkan tantangan serius bagi kemandirian pengelolaan pondok pesantren, pasalnya, seiring berguliranya dana bantuan hibah untuk pondok pesantren, lalu tumbuh “pesantren dadakan” dan patut diduga fiktif adanya. Apa itu fiktif?

Fiktif selalu dikaitkan dengan hal yang mengada-ada, diada-adakan, berbohong. Fiktif bersifat fiksi, tidak realistis, atau tidak bersifat nyata. Fiktif termasuk kelompok kata negatif dan bisa ‘menempel’ di mana pun.

Contohnya, belakangan ini banyak orang yang membicarakan Pesantren fiktif. Sejumlah 716 pondok pesantren penerima bantuan dana hibah dari pemerintah provinsi Banten, diketahui sebagian bermasalah bahkan diduga ada yang fiktif keberadaannya.

Pesantren fiktif yang dimaksud itu merupakan pondok pesantren tak berpenghuni, tetapi menerima bantuan dana hibah. Padahal, untuk membentuk sebuah pesantren, harus memenuhi persyaratan, seperti ada struktur pengurus, aturan-aturan lain, ada alamat jelas, dan harus ada ­santrinya. Indikator utama desa fiktif adalah ada nama pesantren, tetapi tidak ada santrinya.

Mengutip detik.com (21/4/2021), pengelolaan dana hibah untuk pesantren jadi sorotan setelah adanya penyidikan dari Kejati Banten. Untuk hibah tahun 2020 yang dananya belum dicairkan, sudah ada 716 pesantren yang diduga fiktif. Selain itu, dugaan korupsi dana hibah untuk pondok pesantren juga menguat.

Dari pemeriksaan terhadap beberapa Ponpes penerima bantuan. Ada modus yang dilakukan dalam tindak pidana korupsi ini; yaitu pesantren fiktif seolah penerima bantuan padahal penadah. Kedua penyaluran (bantuan) lewat rekening tapi begitu sudah sampai cair masuk ke rekening pondok tapi diminta kembali, untuk di potong, seperti dilansir sindonews.com (21/05/2021).

Sementara itu, Gubernur Banten Wahidin Halim (WH) meminta kepada seluruh media serta masyarakat agar tidak mengambinghitamkan para Kiai dalam persoalan dugaan korupsi bantuan dana hibah Ponpes tahun 2020 ini. Dia mengaku para Kiai merupakan korban dari oknum-oknum yang tidak bermoral yang melakukan pemotongan bantuan.

Baca Artikel Terkait:

Kasus temuan bantuan dana hibah ke pondok pesantren yang diduga fiktif di atas telah membuka mata kita; tentang fakta, pertama, bahwa perilaku manipulatif bisa saja terjadi di manapun, termasuk di lembaga pendidikan seperti pondok pesantren; kedua, perilaku koruptif bisa mengambil peran seiring bergulirnya dana-dana bantuan, termasuk dana yang dialokasikan ke pondok pesantren, ketiga, tentang kemandirian pondok pesantren yang semakin menjadi tantangan ke depan pasca diberlakukannya UU tentang Pesantren.

Memang, dengan UU tentang Pesantren, salah satu ketentuan turunannya memngkinkan menjadi payung hukum pengalokasian sejumlah dana untuk pondok pesantren; ini berlaku dari pemerintah pusat, propinsi hingga kabupaten kota.

Ada beberapa jenis bantuan dana hibah untuk pondok pesantren, di antaranya dana bantuan hibah untuk penanganan Covid-19; Bantuan Operasional Santri (BOS) dan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP). Ketiga jenis bantuan tersebut dialokasikan untuk pondok pesantren, tentunya yang memenuhi persyaratan administratif dan terpenuhinya kelengkapan dokumen yang dibutuhkan.

Waspada Pesantren Dadakan

Keberadaan pesantren dadakan dan fiktif ini tentunya merugikan banyak pihak.

  1. Negara dirugikan, karena pesantren fiktif tersebut mendapat transfer dana pesantren, namun berpotensi tidak dipertanggungjawabkan. Alih-alih dipertanggungjawabkan, malah dimanipulasi dan diselewengkan;
  2. Pejabat dirugikan, karena alur dan proses penyaluran dana pesantren yang melibatkan mereka, berpotensi meyeret mereka ke perilaku manipulatif dan koruptif;
  3. Pihak pesantren lain yang bisa jadi keberadaannya sah secara hukum, namun secara langsung terdampak dan terimbas kasus dugaan korupsi;

Waspada terhadap munculnya pesantren fiktif, pesantren dadakan, yang tak berpenghuni yang menerima ­bantuan dana pesantren perlu dikedepankan oleh semua pihak. Munculnya pesantren fiktif dan dadakan itu diduga kuat sebagai modus supaya bisa mendapat dana bantuan pesantren.

Pesantren dadakan muncul, antara lain disebabkan oleh tak ­efektifnya sistem evaluasi pengelolaan dana pesantren dan buruknya koordinasi antar kementerian/­lembaga terkait. Lemahnya ­sistem pengawasan menjadikan para ­penyelenggara pesantren melakukan praktik kejahatan. ­

Dalam hal ini, identifikasi jumlah pesantren yang sudah ada dan sah secara kelembagaan seharusnya bisa dibedakan dengan pesantren baru –pesantren dadakan– yang didirikan semata untuk mengharapkan kucuran bantuan dana hibah.

Terhadap kasus dugaan korupsi dana bantuan hibah pondok pesantren di satu sisi, dan fenomena pesantren fiktif, kita tetap harus optimis dan mengedepankan prasangka baik. Ada proses hukum yang mengiringi. Bersamaan dengan itu, ada baiknya pihak pesantren lebih waspada dan hati-hati; jangan sampai dana hibah menjadi pemicu bencana di kemudian hari, yang bisa mencoreng warwah pondok pesantren. (Admin)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button