Kementerian Agama, Hadiah atau Wadah Perjuangan NU?

NU Cilacap Online – Menilik kembali apa yang diucapkan oleh Gus Yaqut atau Yaqut Cholil Qoumas, yang saat ini menjabat sebagai mentri agama bahwa; “Kementrian agama merupakan hadiah Negara untuk NU atau Nahdlatul Ulama” seperti apa kata Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini memang tidak pas dan bijaksana.
Seperti diketahui, Menag Yaqut menyampaikan soal Kemenag merupakan hadiah khusus dari negara untuk NU dalam acara webinar bertajuk Santri Membangun Negeri dalam Sudut Pandang Politik, Ekonomi, Budaya, dan Revolusi Teknologi yang ditayangkan di kanal YouTube TVNU, Rabu (20/10/2021).
Pernyataan kementerian agama hadiah untuk NU tersebut, sontak menjadikan Gus Yaqut sendiri trending di media sosial twiter dan menjadi perbincangan serta perdebatan yang hangat di medsos dan media konvensional lainnya, membuka kembali sejarah berdirinya kementrian agama yang juga direspon oleh mantan Wakil Presiden Indonesia yakni Jusuf Kalla.
Meski tidak dapat ditampik, NU berperan besar pada perjalanan adanya kementrian agama di Indonesia, di mana kementrian agama pasca adanya orde baru banyak di isi oleh tokoh-tokoh NU, selain itu juga pernah di isi oleh cendekiawan muslim dan mantan tentara, menjadikan NU identik dengan Kementrian Agama.
Mengutip website Kemenag tentang berdirinya Kementrian Agama, asal muasal pembentukan Kementerian Agama berawal dari usulan Mr. Muhammad Yamin pada sidang BPUPKI II pada 11 Juli 1945.
Mr. Muhammad Yamin mengusulkan terkait urusan agama Islam harus diurus oleh kementerian yang istimewa, yaitu yang akan dinamai Kementerian Agama. Di saat yang sama, BPUPKI tengah menghadapi protes terkait sila pertama dari Pancasila yang ditetapkan sehari sebelumnya.
Alhasil, secara aklamasi sidang KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) menerima dan menyetujui usulan pembentukan Kementerian Agama. Melalui Penetapan Pemerintah No 1/S.D. tanggal 3 Januari 1946 (29 Muharram 1365 H) Indonesia resmi memiliki Kementerian Agama.
Presiden Sukarno pun mengangkat Haji Muhammad Rasjidi yang merupakan seorang tokoh dari Muhammadiyah sebagai Menteri Agama yang pertama.
Maka melihat bagaimana cikal bakal berdirinya kementerian agama, merupakan respon dari kompromi kepada orang Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia usai dikecewakan atas perubahan terkait dasar negara yang tertuang pada Piagam Jakarta, yang juga merupakan cikal bakal dari konstitusi Indonesia, di mana Indonesia sendiri merupakan kumpulan dari masyarakat majemuk tidak hanya satu agama.
Untuk itu dengan peran NU yang sulit dipastikan dalam pembentukan kementerian agama. Sebab tokoh yang terlihat menonjol dalam perjuangan dari pembentukan Kementerian Agama justru berasal dari Muhammadiyah dan tokoh-tokoh nasionalis itu sendiri, seperti Mr. Muhammad Yamin.
Mungkinkah lebih cocok dan bijak kementerian agama merupakan wadah dari perjuangan NU, di mana NU sendiri dalam sejarah berdirinya kementerian agama banyak mengisi kementerian agama itu sendiri?
Mendefinisi Kemenag Wadah Perjuangan NU
Meski, Gus Yaqut sendiri telah mengklarifikasi ucapannya tentang Kemenag hadiah untuk NU yang pada dasarnya untuk semua agama. Salah satu alasannya karena kementerian agama mengafirmasi semua agama yang ada di Indonesia.
Kata-kata kementerian agama hadiah untuk NU tidak lain memotivasi para santri dan pesantren NU, yang cakupan dari pembicaraannya sendiri berskala internal menurut Gus Yaqut, dalam keterangan tertulisnya, Senin (25/10/2021).
Tetapi melihat kiprah NU sendiri dalam berjalannya kementerian agama di Indonesia, di mana banyak tokoh NU yang terlibat dalam kementerian agama tersebut pasca Reformasi 1998.
Seharusnya kalimat “hadiah”, itu diganti atau lebih dimaknai dan memiliki kecondongan pada kementrian agama sebagai wadah dari perjuangan NU dalam membela agama-agama yang ada di Indonesia, untuk itu peran NU menjadi penting dalam kementerian agama.
Seperti diketahui bersama, NU merupakan ormas islam terbesar di Indonesia yang mengakui dirinya sebagai islam moderat, dan menjunjung gagasan islam nusantara yang toleran pada keberagaman masyarakatnya tidak terkecuali perbedaan suku, agama, dan ras di Indonesia.
Tokoh seperti Abdurrahman Wahid, Gus Dur yang juga pernah menjabat sebagai presiden ke-4, sekaligus mantan ketua umum PBNU itu memiliki nilai-nilai pluralisme yang kuat seperti mengakui Konghucu atau konfusianisme sebagai agama resmi di Indonesia.
Bukankah sampai saat ini cermin dari langkah Gus Dur melindungi minoritas yang juga merupakan warga Negara, dijadikan gerakan NU dalam mengakomodir dan melindungi minoritas; bahwa sesuatu kelompok kecil harus dilindungi kelompok besar seperti NU?
Maka, definisi kementerian agama sendiri menjadi garis perjuangan NU, yang dijadikan kendaraan supaya keberagamaan di Indonesia dapat berjalan dengan baik patut menjadi catatan bersama atas kepentingan semangat kebernegaraan Indonesia yang moderat dan toleran.
Untuk itu menjadi tidak penting NU tercatat atau tidak dalam dalam narasi pembentukan kementerian agama pasca kemerdekaan Indonesia.
Sebab NU sendiri pada praktiknya yang turut dalam membangun kementrian agama menjadi suatu yang dapat mengakomodir semua agama tidak hanya “islam”, yang dapat ternaungi dengan sebaik-baiknya atas nama Undang-Undang negara masih diperjuangkan oleh orang NU.
Selian itu tokoh NU, Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahid Hasyim perannya tidak bisa dilepaskan dalam sejarah awal lahirnya Kementerian Agama RI pra kemerdekaan Indoneisa.
Kiai Hasyim Asy’ari ditunjuk oleh Jepang untuk memimpin Shumubu yang dibentuk Jepang pada Mei 1942. Tetapi Hadhratussyekh menyerahkan kepemimpinan Shumubu kepada Kiai Wahid Hasyim. Selanjutnya, Kiai Wahid berupaya mendirikan Kantor Jawatan Agama yang berlokasi di daerah-daerah (Shumuka) yang dipimpin oleh seorang Shumuka-cho.
Catatan Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010) menjelaskan bahwa visi Kiai Wahid Hasyim membentuk Shumuka-cho tidak lain untuk memperkuat konsolidasi urusan-urusan agama di daerah bagi keperluan perjuangan bangsa Indonesia secara umum.
Selain itu, dalam Sejarah Hidup KH A. Wahid Hasyim (Mizan, 2011) H Aboebakar mencatat, salah satu jasa besar KH Wahid Hasyim di Kementerian Agama setelah Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) terbentuk pada 20 Desember 1949 adalah mengadakan Konferensi Besar di Yogyakarta.
Kegiatan yang berlangsung pada 14-18 April 1950 itu dilakukan Kiai Wahid Hasyim untuk mempersatukan kembali Kementerian, Departemen, dan Jawatan-Jawatan Agama, serta Negara-Negara Bagian yang didirikan oleh Belanda di seluruh daerah di Indonesia.
Meskipun Kementerian Agama RI sebenarnya Kementerian Agama Bagian, yang sama dengan Negara-Negara Bagian yang lain, tetapi KH Wahid Hasyim mendorong Kementerian Agama ke depan sebagai modal dan pimpinan sehingga sentimen yang ada pada waktu itu dapat diperkecil sekecil-kecilnya.
Penulis: Toto Priyono
Editor: Munawar A.M.