Haji Riang Gembira 2023 Part 13; Sah sebagai Haji dan Hajah
NU Cilacap Online – Sah sudah sebagai haji dan hajah, plong rasanya, karena hari ini kami, kloter SOC 70 khususnya telah menyelesaikan thawaf Ifadah, sa’i, dan tahallul tsani. Di bukit Marwah, kami saling cukur lagi sebagai tanda tahallul tsani.
Berhubung di antara kami sudah pada gundul, maka prosesi cukur dilakukan sekedar meletakkan gunting di kepala seolah-olah sedang bercukur. Lha, mau bagaimana lagi, wong rambut sudah habis, yang tersisa tinggal rambut yang lain. Usai cukur kami sujud syukur, di atas bukit Marwah dengan menghadap Ka’bah, lillahi ta’alaa. Sah sudah sebagai haji dan hajah.
Haji Mabrur?
Apakah hajinya mabrur? Apakah kemudian orang-orang akan menyebut kami pak haji atau bu hajjah ? Apakah hajinya diterima oleh Allah swt ? Ya, tidak tahu, itu bukan domain kami. Tetapi yang jelas, syarat, rukun, dan wajib haji secara formal sudah dipenuhi.
Ketika ada muharramatil ihram yang dilanggar atau ada salah satu wajib haji yang tertinggal, kami sudah bayar dam (denda), rukun haji Insya Allah sudah terpenuhi semua. Syarat haji apalagi, ia mendahului rukun dan wajib haji. Jadi, ya sudah, terserah Gusti Allah.
Terlepas dari itu semua, saya ingin memotret perjalanan thawaf Ifadah hingga tahallul tsani selesai berdasarkan laporan pandangan mata dan cerita teman-teman yang saya kira cukup dramatis.
Perjalanan dari hotel menuju haram sudah diatur sedemikian rupa oleh pemimpin kloter mas Amrul Mukmin dan pembimbing KBIHUNU mas Arif Himawan. Semua petugas haji berkewajiban mendampingi rombongan yang ditunjuk.
Untuk memudahkan, delapan rombongan di kloter SOC 70 dikelompokkan menjadi 4 kelompok yang masing-masing dipimpin oleh dua ketua rombongan dibantu ketua-ketua regu. Petugas haji yang jumlahnya ada delapan didistribusikan ke setiap kelompok yang terdiri dari dua rombongan itu. Saya dan bu dokter kebagian mendampingi kelompok tiga yang terdiri dari rombongan Lima dan enam.
Jam keberangkatan diatur mulai jam 07.00 untuk kelompok satu (rombongan 1 dan 2), 10 menit kemudian kelompok dua. Begitu seterusnya hingga kelompok keempat yang terdiri dari rombongan 7 dan 8. Perjalanan sampai haram lancar. Mereka pun dipastikan sudah dalam kondisi suci semuanya, karena thawaf itu seperti shalat, harus suci dan menutup aurat.
Sesampai di haram, masing- masing kelompok masih utuh, belum terpencar. Tetapi ketika memasuki pintu gerbang Masjidil Haram, kelompok-kelompok yang lebih kecil mulai terbentuk dengan sendirinya secara otomatis.
Putaran Thawaf
Kelompok kami memilih thawaf di lantai dasar, lantai asli yang radius putarannya lebih pendek dan bisa selalu berdampingan dengan Ka’bah. Kami terus bergerak maju dan terus maju menuju mathaf (tempat thawaf).
Ketika Ka’bah terlihat, terdengar doa jamaah, allahumma zid hadzal baita….dst hingga selesai. Memang tidak sehisteris waktu pertama kali melihat Ka’bah pada saat thawaf qudum, tetapi air mata jamaah tetap saja berdleweran.
Jamaah pada mewek, dleweran air mata semakin deras membasahi pipi, terus turun ke mulut bercampur keringat hingga terasa asin. Desakan tidak dapat dihindari. Dan kami terus merangsek maju, mencari titik awal thawaf yang ditandai dengan posisi sejajar di antara lampu hijau dan hajar aswad.
Kami memulai thawaf ketika sudah berada pas di antara hajar aswad dan lampu hijau…Suara doa masing-masing orang tetapi bersama terdengar nyaring, “bismillahi Allahu akbar…”. Saya menengok ke belakang, karena terasa berat lengan saya, ternyata tali tas saya dipegang kuat oleh orang di belakang saya yang berseragam KBIHUNU.
Ada lima orang seluruhnya. Seharusnya total berjumlah 80an orang. Mereka sudah mencar sendiri-sendiri. Tetapi saya memastikan bahwa mereka berada di lingkaran mathaf.
Putaran pertama selesai. Dilanjutkan ke putaran kedua. Di titik permulaan thawaf yang disebut juga sebagai rukun Yamani memang selalu penuh sesak jamaah, sehingga pergerakan orang berjalan pelan, sementara keringat mengucur deras membasahi seluruh badan. Di sinilah kami memulai thawaf putaran kedua.
Saya menengok ke belakang, dengan posisi pundak kiri sejajar dengan Ka’bah. Lima orang masih utuh bertahan. Alhamdulillah. Kompak. Kami terus berjalan mengikuti arus thawaf, kadang ngleyang saja, tidak bertahan, juga tidak menabrak, ikuti arus, berjalan karena terdorong dari belakang. Karena mandeg untuk beristirahat itu tidak mungkin, ya sudah, jalan saja. Yang kami pertahankan adalah radius dari Ka’bah agar tetap seimbang. Ini dimaksudkan agar prosesi thawaf lebih cepat rampung.
Putaran kedua selesai. Terus ke putaran ketiga, keempat, kelima, keenam, dan terakhir putaran ketujuh. Prosesnya sama. Pundak kiri selalu sejajar dengan Ka’bah, makanya kalau mau noleh-noleh harus hati-hati. Putaran ketujuh pun akhirnya selesai. Ayem sekali rasanya.
Menangis di Dinding Ka’bah
Ketika putaran ketujuh selesai, saya mengajak teman-teman untuk nambahi satu putaran lagi dengan semakin mendekat ke Ka’bah. Jalanan masih penuh orang yang berdesakan. Dua orang bermata sipit (mungkin orang Taiwan, Hongkong, atau Krorea) mencoba mendekat dengan melawan arus. Wajahnya sumringah. Mereka berusaha menggapai hajar aswad, sebagaimana semua orang menginginkannya.
Saya tetap memantau dua orang teman saya. Saat mereka sudah dekat ke hajar aswad, dan berhasil menyentuh dinding Ka’bah, persis di bawah pintu Ka’bah, saya melihat dua orang berseragam KBIHUNU itu nggembor, meluapkan kebahagiaannya, menangis senangis-nangisnya. Tak henti-hentinya mereka sentuhkan semua bagian badannya, sebisanya.
Mereka puas-puasin berada di dinding Ka’bah. Sadar dirinya berperawakan kecil, mereka membiarkan dirinya terdesak, tetapi tetap bertahan di dinding Ka’bah. Mereka berkomunikasi dengan dzat yang selama ini dirindui, dengan Ka’bah sebagai wasilahnya.
Mereka seperti wushul dengan Tuhannya. Mereka bertemu Tuhan. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana isi hatinya. Saya hanya melihat, begitu banyak air mata tumpah, tetapi saya tidak menghitungnya.
Menolak Berfoto
Akhirnya, mereka keluar dari dinding Ka’bah. Pelan tapi pasti, keluar menjauh dari kerumunan yang berdesakan. Ketika berhasil sampai di lokasi yang agak longgar, mereka langsung menuju ke lokasi air zam-zam, lalu minum sepuasnya, dan membawakan segelas buat saya. Saya melihat ke wajahnya, berseri, puas bahagia. Jejak-jejak air matanya masih terlihat jelas, membekas di wajahnya.
Lalu, mereka shalat dua rakaat, berdoa sepuasnya, menatap tajam ke Ka’bah, bermunajat dan berkomunikasi dengan Tuhannya. Di sini, kembali air mata tumpah….innalillahi wainna ilaihi raji’un…. Mereka pasrah sepasrah-pasrahnya kepada pemilik segala.
Usai sudah prosesi thawaf Ifadah. Kami tinggal bertahan tiga orang, yang dua orang entah di mana. Mungkin masih di dinding Ka’bah. Kami terus melanjutkan ke mas’a (tempat sa’i). Namun, sebelum kami benar-benar meninggalkan Ka’bah, saya menawari mereka: ‘Bu, pingin photo yang dekat Ka’bah’ ? Jawabnya cukup mencengangkan, “…biar malaikat yang mengabadikannya…”.
Masya Allah. Saya melirik ke pak Kiai Fakhruddin. Beliau pun sama, mengiyakan untuk tidak mengambil photo. Masya Allah…
Selanjutnya adalah prosesi sa’i dan tahallul sebagaimana yang di awal sudah saya sampaikan…(Bersambung ke part 14).