Tradisi Lebaran, Halal Bihalal, Maaf Memaafkan

NU CILACAP ONLINE – Perayaan hari raya Idul Fitri diramaikan dengan aktivitas orang-orang saling kunjung mengunjungi dari rumah ke rumah, anak kepada orang tua, sanak saudara dan kerabat untuk saling bersilaturahmi. Demikian disebutkan sebagai Tradisi Lebaran, Halal Bihalal, mereka saling maaf memaafkan.

Di dalam kegiatan silaturahmi itu memuat berbagai kegiatan seperti sungkeman, makan bersama, dan bahkan bagi-bagi THR atau ampao lebaran.

Uniknya tradisi lebaran hanya ada Indonesia, dan meskipun istilah halal bihalal berasal dari serapan bahasa Arab hasil pribumisasi ajaran Islam di tanah Indonesia sebab ternyata di negara Arab tidak ada tradisi ini.

Pengertian Halal Bihalal dari segi bahasa (linguistik) berasal dari bahasa Arab “Halla atau Halala”. Kata ini memiliki banyak arti seperti menyelesaikan masalah, meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku, dan atau melepaskan ikatan yang membelenggu.

Kata ini kemudian dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam KBBI, halal bihalal merujuk pada hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan.

Halal bihalal adalah kegiatan saling bermaaf-maafan atas kesalahan atau kekhilafan di masa lalu karenanya istilah dalam tradisi ini jamak disebut lebaran. Baca Melestarikan Tradisi Halal Bi Halal

Dengan menjaga silaturahmi ini, dapat mengubah hubungan sesama manusia dari benci menjadi senang, sombong menjadi rendah hati dan terbebas dari dosa sesama.

Dalam kaidah hukum Islam (Fiqih) halal adalah lawan dari kata haram. Halal adalah sesuatu perbuatan yang diperbolehkan. Sedangkan haram adalah perbuatan yang harus ditinggalkan dan jika dilakukan akan melahirkan dosa dan siksaan.

Dengan demikian, secara hukum makna halal bihalal adalah perbuatan yang mengubah kondisi yang tadinya haram atau berdosa akibat saling membenci menjadi halal dan tidak berdosa lagi setelah bermaaf-maafan.

Kegiatan yang ditandai dengan saling bersalaman dan mengucapkan mohon maaf lahir bathin ini menjadi momentum penting untuk merajut kembali tali persaudaraan dan mempererat hubungan antar individu.

Semangat saling maaf-memaafkan dan saling mengasihi menjadi landasan utama dalam merayakan tradisi khas Islam Nusantara ini, sebagai khazanah nilai dan bentuk penghargaan atas nikmat kebersamaan dan persaudaraan di tengah-tengah kehidupan dengan harapan merajut ampunan, rahmat, dan berkah Allah SWT.

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا

“Tidaklah dua orang muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah.” (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi)

Konon, kegiatan sungkeman atau lebaran ini sudah ada sejak masa Mangkunegara I, lahir 08 April 1725, atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. Kala itu usai shalat Idul Fitri, Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan dengan para raja, punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana.

Pada pertemuan tersebut dilakukan pula tradisi sungkeman dan saling bermaaf-maafan satu sama lain. Semua punggawa dan prajurit melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri sebagai bentuk penghormatan dan permohonan maaf. Baca Halal Bihalal JRA Adipala Eratkan Silaturahim

Tradisi halal bihalal juga disebutkan oleh pedagang martabak asal India di Taman Sriwedari Solo 1935-1936. Kala itu promosi ‘martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal’ sebagai makanan baru, sejak itu masyarakat Solo dan sekitarnya mulai gunakan istilah tersebut silaturahmi di hari lebaran.

Selanjutnya kata halal bihalal yang paling masyhur diperkenalkan oleh KH Abdul Wahab Hasbullah pada tahun 1948. Ia adalah seorang ulama pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU).

KH Wahab memperkenalkan istilah halal bihalal kepada Bung Karno sebagai bentuk silaturahmi antar-pemimpin politik. Hal ini karena pada masa itu kondisi nasional masih dalam konflik dengan Belanda.

Atas saran KH Wahab, Presiden Soekarno kemudian mengundang seluruh tokoh politik untuk datang ke Istana Negara pada hari raya Idul Fitri tahun 1948. Pertemuan itu pun diberi judul “Halal Bihalal”.

Di dalam acara tersebut, para tokoh politik duduk bersama dalam satu meja untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa ke depannya. Baca juga Merenungkan Kembali Lebaran di Masa Pandemi

Setelahnya, berbagai instansi pemerintah pun menyelenggarakan acara halal bihalal. Tradisi halal bihalal pun akhirnya menjadi tradisi yang dilakukan masyarakat Indonesia secara luas.

Hingga kini acara halal bihalal rutin dilakukan. Tak cuma di kalangan keluarga, tapi bahkan hingga sekolah dan organisasi.

Kegiatan positif ini tak lain dalam rangka untuk menyambung silaturahmi yang tadinya putus menjadi terikat kembali. Hal ini sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa ingin lapangkan pintu rizqi untuknya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali silaturahmi.” (HR Bukhari)

Melestarikan tradisi lebaran, halal bihalal, dengan saling maaf memaafkan dapat mempererat hubungan persaudaraan dengan sesama. Hal itu juga dapat memperkuat hubungan agar selalu harmonis. Halal bihalal dapat semakin mendekatkan hubungan antar sesama. Sehingga yang tadinya jauh menjadi lebih dekat.

Akhirul kalam, kami suguhkan ‘Pantun Lebaran’;

Jangan lupa baca bismillah.
Lalu akhiri dengan hamdalah.
Telah hadir hari yang fitrah.
Mohon maaf segala khilaf dan salah.

Di hari raya idul fitri yang istimewa ini kami seluruh awak media NU CILACAP ONLINE dan kerabat kerja mengucapkan :

ﺗَﻘَﺒَّﻞَ ﺍﻟﻠّﻪُ ﻣِﻨَّﺎ ﻭَ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺻِﻴَﻤَﻨَﺎ ﻭَ ﺻِﻴَﻤَﻜُﻢْ ﻛُﻞُّ ﻋَﺎﻡٍ ﻭَ ﺃَﻧْﺘُﻢْ ﺑِﺨَﻴْﺮ

SELAMAT IDUL FITRI 1 SYAWAL 1445 H – MOHON MAAF LAHIR dan BATIN.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button