Haji Riang Gembira 2023 Part 14: Thariq Ya Hajj, Taksi Negosiasi

NU Cilacap Online – Di Arab Saudi, banyak ungkapan-ungkapan  seperti Thariq Ya Hajj  yang bagi orang Arab mungkin hal biasa, sementara bagi saya yang jarang mendengar ungkapan itu menjadi sesuatu yang luar biasa; juga ada lagi kebiasaan lain yang terasa janggal, yaitu taksi-taksi yang beroperasi tanpa argo, tetapi menggunakan model tawar-menawar dan negosiasi, kalau deal ya jalan, kalau nggak deal ya tinggal.

Askar Masjidil Haram

Soal ungkapan, misalnya yang saya sering dengar di Masjidil Haram : “Thariq ya hajj, thariq ya hajj…”. Secara harfiah, ungkapan itu bermakna: “jalan ya haji, jalan ya haji”. Ini adalah ungkapan askar atau polisi Arab Saudi di Masjidil Haram dan sekitarnya untuk menghalau jamaah yang bertahan di jalan. Baik jalan di luar masjid maupun jalan di dalam masjid yang menuju ke arah depan atau sebaliknya.

Ungkapan lain yang senada adalah : “hajji, hajji, hajji“. Itu juga merupakan ungkapan untuk meminta akses jalan karena seseorang atau beberapa orang mau lewat. Biasanya mereka adalah para pendorong kursi roda profesional di sekitar Masjidil Haram.

Saya tidak tahu asal muasal dan sejarah ungkapan itu muncul. Sebagai sebuah ungkapan, tentu sah-sah saja ungkapan itu eksis. Ungkapan itu sangat komunikatif. Di space yang terbatas ini, saya tidak akan mengungkap dari sisi gramatika bahasa Arabnya.

Saya hanya akan mengungkap dari sisi fungsi secara komunikasi. Sejauh mana ungkapan itu bisa dipahami oleh mukhatab dan lalu mukhatab ‘mengamalkan’ apa yang disampaikan oleh mutakallim.

Sebagaimana tradisi kita dalam berbahasa, ungkapan-ungkapan yang secara fungsi sangat komukatif itu banyak sekali, walaupun secara gramatika tidak dapat dibenarkan. Misalnya, “Ayam Bakar Kampung”.

Kalau dipanjangkan, kalimat dalam ungkapan itu sebenarnya adalah “Ayam membakar kampung”. Mana ada ayam membakar kampung? Tetapi semua orang paham dengan makna ungkapan itu. Maknanya adalah, sebuah warung makan atau restoran yang menyediakan menu ayam dengan cara dibakar, dan ayam itu termasuk jenis ayam kampung.

Sama halnya dengan ungkapan “thariq ya hajj“. Ungkapan itu bermakna agar orang-orang yang ada di sekitar itu memberi akses jalan kepada orang yang teriak-teriak itu. Ungkapan itu juga bisa bermakna agar orang-orang jangan duduk atau shalat di situ karena tempat itu adalah akses jalan menuju ke atau dari lokasi lain.

Kok ruwet ya…lagian, ngapain kita bahas soal-soal gituan… Ya sudah, kita tinggalkan saja pembahasannya. Yang penting kita paham dengan makna ungkapan itu. Baca juga Lempar Jumrah, Rapat di Mina

Taksi Tanpa Argo

Mari kita bahas topik yang lain, yaitu soal taksi. Seperti di awal sudah saya ungkap sedikit, taksi di Arab Saudi modelnya adalah tawar menawar. Mungkin tidak semua kota di Arab Saudi berlaku taksi seperti itu. Tapi paling tidak, yang saya alami di Makkah.

Beberapa kali saya bepergian naik taksi di kota Makkah untuk suatu keperluan. Baik bepergian sendirian atau bareng-bareng teman-teman secara beramai-ramai. Namanya juga bareng-bareng teman ya pasti beramai-ramai.

Ada beberapa macam taksi. Yang saya tahu ada tiga. Pertama, taksi resmi bertuliskan ‘Taxi’ berlampu di atas atap seperti yang sering kita lihat di Indonesia. Kedua, taksi Uber. Taksi uber itu seperti Gojek dan Grab di Indonesia. Ketiga, taksi tanpa logo taksi. Taksi model ini sama dengan mobil pribadi yang beroperasi sebagai taksi untuk mencari penumpang agar mendapatkan cuan.

Taksi jenis pertama dan ketiga memiliki karakter yang sama. Keduanya sama-sama berkeliaran di jalanan dan kadang ngetem (mangkal) di dekat hotel. Keduanya juga sama-sama bisa dinego harganya.

Taksi Negosiasi di Arab Saudi

Dan ini yang menarik, karena menyangkut karakter manusia yang berprofesi sebagai sopir. Bisa jadi mereka sedang mencari nafkah, menghibur diri, atau sedang menjalani tugas sehari-hari sebagai sopir taksi dari mobil perusahaan atau majikannya.

Seperti Selasa siang tadi, saya janjian dengan teman pergi ke suatu daerah di kawasan Syisyah untuk ketemu saudara dan teman yang merupakan jamaah kloter Sapujagad. Tepatnya di hotel Al Hasan Nomor 411.

Kami pergi berlima. Nyegat taksi di jalanan. Taksinya jenis ketiga, yakni taksi tanpa tulisan ‘taksi’. Taksi berhenti, kami nego, harga deal. Lalu kami masuk. Saya duduk di jok depan, teman-teman empat orang di belakang.

Sebenarnya ada dua shaf jok di belakang sopir, karena mobilnya Innova. Tetapi mereka memilih umpel-umpelan di belakang sopir. Saya tidak tahu kenapa memilih berempat jadi satu. Dari suaranya saya dengar, “cukup ikih”. Sopir juga tidak marah. Mobilnya nyaman. Ac-nya dingin, meski di luar panasnya sekitar 43⁰C.

Sopir Taksi dari Ethiopia

Rupanya sopir taksi tak paham jalan, padahal ganteng lho. Jadi cukup lumayan muter-muter agak lama mencari titik tujuan. Ketika ketemu titik tujuan, dia agak ngeluh, kira-kira begini, ‘ini bukan Syisyah’. Tapi ujungnya, dia minta nambah 10 SAR. Kami nggak mau ribut, ya sudah, dikasihlah tambahan 10 SAR. Yach, itung-itung sedekah di tanah Haram.

Kami langsung masuk hôtel tujuan. Alhamdulillah orang yang dituju pas ada di hôtel. Kami lalu ngobrol ngalor ngidul, ini itu, dan lain-lain. Rasanya senang sekali mereka dikunjungi oleh orang berlima dari kampung yang sama. Raut wajahnya mencerminkan kebahagiaan yang sangat. Alhamdulillah.

Ketika kami pamit, ada cipika cipiki, seperti tidak mau ditinggalkan. Tetapi kami tetap harus pergi karena kami tinggal di hotel yang berbeda.

Kami keluar, nyegat taksi yang lewat. Mungkin sekitar 10 menitan kami baru dapat taksi. Kami lalu nego, hargapun deal. Kami masuk. Lagi-lagi, saya duduk di jok depan, dekat sopir, teman-teman yang berempat itu duduk di belakang sopir, mereka umpel-umpelan lagi. Joknya pas-pasan, tapi dipaksa diisi empat orang. Sopir juga tidak marah, mempersilakan dengan senang hati.

Baru beberapa menit mobil bergerak, ada suara perempuan dari belakang, ‘panas’. Saya langsung merespon dengan bilang ke sopir sambil tangannya bergerak ke tombol AC, ‘zid air condition’. Sopir paham, saya ternyata memutar tombol yang salah.

Sopir segera mengembalikan putaran tombol dan memutar tombol yang lain, sambil senyum-senyum bilang yang kira-kira artinya begini, ‘tambah AC berarti tambah ongkos. Saya bilang tegas, ‘La, la’. Tapi sopir tetap saja menambah AC.

Di jalanan kami ngobrol ngalor ngidul, sekedar say halo. Ternyata beliau orang Éthiopia, dan di menjadi supir taksi Arab Saudi sudah cukup lama. Saya bilang, ‘habasyah ?’. Dia jawab na’am. Lalu dia bercerita tentang Bilal, si Muadzin Rasulullah yang juga orang Habsyi, dan menyebut lagi beberapa orang hebat dari Habsyi. Saya mantuk-mantuk saja.

Dia sepertinya sangat paham jalan. Dia nyupirnya kenceng, tapi halus. Penumpang agak khawatir karena kalau ngerem berhentinya dekat sekali dengan mobil di depannya. Dia santai saja, tak mempedulikan kekhawatiran penumpang. Dia pasti sudah menghitungnya. Akhirnya, ya sudah, pasrah. Saat itu sopir yang pegang kendali. Penumpang tinggal mengikuti.

Ongkos Taksi: Hadza Halal

Di tengah perjalanan, ndilalah beberapa ruas jalan ditutup oleh polisi untuk menghindari macet menjelang shalat ‘asar. Sopir berkulit hitam ini langsung mengikuti arahan polisi. GPS di google map dihidupkan, tetapi selalu diabaikan kalau ternyata jalanan ditutup pak polisi. Dan, perjalanan menjadi lebih jauh dan lama. Dia seperti mengeluh, tetapi tetap santai dengan senyum mengembang di atas jenggotnya yang memutih.

Ketika sudah sampai di tujuan, dia meminta tambahan ongkos (sepertinya tidak sungguhan) karena ada perubahan arus jalan dan waktu tempuh, sehingga konsumsi bahan bakar bertambah. Lagi-lagi, saya bilang, ‘la, la’. Lalu, kami turun semua, tetapi kami memberikan uang ongkos lebih dan tidak meminta kembalian.

Mobil tetap berhenti, belum bergerak. Saya menduga dia memang minta tambahan lagi. Ketika kami sudah berada di depan pintu hotel, si sopir mengundang kami. Saya yakin, dugaan saya benar, dia minta tambahan ongkos lagi.

Ternyata, setelah saya mendekat, dia bilang, yang kira-kira artinya begini: “Ongkosnya sekian, kenapa kamu mbayar lebih, hadza halal ?”. Saya kaget dan seperti tertampar. Lalu saya jawab, ‘Yes, halal laka‘. Kembali dia menyunggingkan senyumnya sembari berucap ikhlas, “Syukran, Jazakallah ya hajj”. Saya tersentak. Rupanya dia tidak mau memakan harta yang tidak halal. Masya Allah.

Kulitnya memang hitam, tapi hatinya putih bening dan bersih, sebagaimana sahabat Bilal yang sudah dijanjikan surga oleh Nabi kita, Nabi Muhammad saw. Sayang, saya tidak sempat menanyakan namanya… (Bersambung ke part 15)

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Fahrur Rozi, ketua Lakpesdam PCNU Cilacap, kepala LP2M Universitas Nahdlatul Ulama Al-Ghazali (UNUGHA) Cilacap. (Makkah al Mukarramah, 4 Juli 2023)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button